NOTEBOOK (2019)
Rasyidharry
Maret 31, 2019
Drama
,
Hindi Movie
,
Kurang
,
Nitin Kakkar
,
Pranutan Bahl
,
REVIEW
,
Romance
,
Shabbir Hashmi
,
Zaheer Iqbal
2 komentar
“Sekolah harus menjangkau muridnya”.
Itulah alasan ayah Kabir (Zaheer Iqbal) membangun sekolah apung di tengah danau
di Kashmir, supaya anak-anak di area terisolasi tetap berkesempatan mengenyam
pendidikan. Selepas kredit bergulir di akhir, saya hanya bisa menyesalkan
mengapa prinsip tersebut urung dipertahankan sebagai jantung Notebook, yang tak pernah mengeksplorasi
sisi pendidikannya secara layak.
Film garapan Nitin Kakkar (Filmistaan, Mitron) ini merupakan remake resmi dari drama-romansa Teacher’s Diary, yang menjadi perwakilan
Thailand di ajang Oscar tahun 2015. Sebagai remake,
tentu perubahan tak bisa ditahan, termasuk beberapa penyesuaian terkait kultur.
Pun sejak momen pertamanya, tatkala seorang bocah tewas akibat ledakan ranjau, Notebook telah menegaskan perbedaannya.
Film ini tak “sepolos” pendahulunya.
Adegan pembuka itu bertujuan
memberi latar belakang bagi Kabir, yang setelah keluar dari militer, memutuskan
mengajar di sekolah apung sang ayah yang kini dikelola pemerintah. Posisi guru
di sana kosong pasca kepergian Firdaus (Pranutan Bahl). Setibanya di sekolah,
Kabir menemukan buku catatan milik Firdaus, yang berujung memotivasinya, sebab
tanpa pengalaman mengajar, ia seringkali kerepotan. Bukan itu saja, Kabir pun
mulai mencintai Firdaus.
Teacher’s Diary mencuri hati penonton berkat keluguan kisah cinta
mengenai terpikat pada seseorang yang tak pernah kita temui. Terdengar
terlampau romantis untuk jadi kenyataan, namun itulah mengapa premisnya berhasil.
Secara berlawaan, keputusan memakai Kashmir sebagai latar, menggiring Notebook menuju area lebih serius,
mengingat terdapat beragam isu pelik di sana, seperti represi hingga tumbuhnya
kelompok teroris ekstrimis. Notebook
gagal membuat romansanya sesuai dengan penyesuaian kulturnya.
Begitu pula soal penokohan Kabir.
Dia terjebak rasa bersalah, yang kelak mendorongnya menolong para murid sekolah
apung sebagai usaha menebus dosa. Bukan saja elemen itu kurang mendapat
eksplorasi karena sebatas dipresentasikan lewat flashback di antara flashback,
menjadikan Kabir sosok (lebih) serius dengan masa lalu kelam membuat beberapa
situasi menggelitik yang dicomot dari film aslinya terasa janggal.
Contohnya, dalam Teacher’s Diary, merupakan kelucuan yang
wajar sewaktu sang guru bersikap konyol menyikapi menyusupnya seekor ular ke
dalam kelas. Sementara dalam Notebook,
pemandangan itu justru mengganggu, mengingat Kabir adalah mantan militer,
ditambah cara Zaheer Iqbal menangani karakternya. Itu pula alasan romansanya
tidak bekerja dengan baik.
Terdapat risiko tinggi pada
premisnya, karena penonton mesti terpikat oleh romansa dua manusia yang tak
pernah bersama di layar sebelum babak terakhir (atau adegan terakhir di Teacher’s Diary). Tapi, saat si
protagonis pria tak memancing impresi yang impresif, mencuri hati penonton pun
makin berat. Ditambah lagi, naskah buatan Shabbir Hashmi terburu-buru
memaparkan proses Kabir membaca tulisan Firdaus. Dia telah jatuh cinta sebelum
penonton sempat menyelami pengalaman-pengalaman yang Firdaus tuangkan.
Firdaus sendiri terjebak berbagai
hal seputar pengekangan atas kebebasan. Dia dianggap sebagai guru tercela akibat
tato bintang di tangan serta cara mengajar inkonvensional. Belum lagi kegemaran
sang kekasih (Muazzam Bhat) mengatur hidupnya. Penonton diharapkan mendukung kemerdekaan
Firdaus, tapi porsi minim yang diberikan menghalangi itu. Pun kembali, masalah
timbul akibat modifikasi yang Notebook lakukan.
Kali ini seputar penemuan mayat di bawah jamban sekolah, di mana bukan Firdaus
yang mengangkatnya dari air. Terdengar remeh, tapi efeknya besar, sebab momen ini
berperan penting menggambarkan pertumbuhan karakternya.
Di pertengahan, kita bertemu Imran,
murid tercerdas yang berhenti sekolah akibat larangan ayahnya. Latar Kashmir
memfasilitasi filmnya membahas terorisme dalam konflik tersebut, guna
menyuarakan pesan anti-peperangan dan anti-kekerasan. Bukan masalah, malah bisa
menambah bobot narasi sekaligus memperkuat aspek identitas budaya. Masalahnya,
hal di atas justru menjauhkan konklusi Notebook
dari tuturan tentang edukasi dan kegiatan mengajar. Ya, terdapat
pertentangan mengenai “Perlukah Imran bersekolah?”, namun paparannya tenggelam
oleh isu-isu tadi.
Apalagi, sepanjang durasi kita tak
banyak menyaksikan aktivitas kelas berisi teknik mengajar unik selaku kritik
untuk metode konvensional (Teacher’s
Diary mempunyai “adegan kereta api”). Bukan soal bila filmnya memang tak
berniat menyentuh problematika itu, namun faktannya tidak demikian, sehingga
terciptalah penceritaan setengah matang.
Saya sadar banyak membandingkan Notebook dengan film aslinya. Bukankah remake berhak dipandang sebagai karya
yang berdiri sendiri? Benar, tapi secara bersamaan, wajib pula mewarisi
semangat pendahulunya. Notebook gagal
mempertahankan semangat Teacher’s Diary,
walau bagi mereka yang belum menonton versi Thailand tersebut, mungkin takkan banyak
terganggu. Setidaknya deretan humornya cukup efektif memancing tawa, sementara alam
Kashmir terhampar indah berkat penataan kamera Manoj Kumar Khatoi (Budhia Singh: Born to Run, Mitron).
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Bang ternyata five feet part ga sekedar porn disease kbanyakan yg abang kira, ekspektasi rendah tapi pas nonton enjoy aja ga sampe annoy gitu ke lift up mgkin sama dua pemain utama nya yg bagus pas cek tomatoes rating juga lumayan, lebi bagus dri ini kaya nya
Baca judulnya yang ngeganti "six feet" jadi "five feet" aja udah males 😂
Posting Komentar