THE HOLE IN THE GROUND (2019)
Rasyidharry
Maret 28, 2019
horror
,
James Quinn
,
Kati Outinen
,
Kurang
,
Lee Cronin
,
REVIEW
,
Seána Kerslake
,
Stephen McKeon
,
Stephen Shields
1 komentar
The Hole in the Ground melangkah di garis batas antara “horor
hipster” yang identik dengan atmosfer, studi karakter, serta tempo lambat,
dengan teror arus utama yang mengutamakan hiburan sarat jump scare. Sayang, alih-alih berhasil menyeimbangkan tiap sisi,
film garapan Lee Cronin (segmen Ghost
Train di antologi Minutes Past
Midnight) ini justru berakhir campur aduk, gagal memenuhi potensi di kedua
pendekatan beda gaya tersebut.
Lubang raksasa misterius di tengah
hutan, makhluk berkemampuan alih wujud, anak kecil menyeramkan, hingga kematian
tak wajar dalam posisi mengerikan. Menyaksikan film ini membuat saya terbayang
apa jadinya bila komikus Junji Ito menekan kegilaannya untuk membuat film
hibrida antara The Thing dan The Omen. Sungguh. The Hole in the Ground bisa sebagus itu, bahkan berpotensi menjadi “Penerus Hereditary” bila penggarapannya
maksimal.
Sarah (Seána Kerslake) bersama
puteranya, Chris (James Quinn), baru saja pindah rumah ke suatu daerah
pinggiran di sebelah hutan. Disiratkan bahwa kepindahan tersebut didorong
perilaku abusive sang suami terhadap
Sarah. Sementara Chris adalah bocah pendiam yang kurang menyukai sosialiasi dan
memilih menghabiskan waktu bermain action
figure. Tapi niat Sarah memulai hidup baru nan bahagia tampak takkan
berjalan mulus pasca bertemu wanita tua misterius bernama Noreen (Kati Outinen).
Konon kabarnya, Noreen melindas anaknya setelah meyakini bocah itu merupakan makhluk
yang menyerupai wujud sang putera.
Awalnya Sarah percaya akan anggapan
warga setempat bahwa Noreen hanya wanita gila, namun tak lama kemudian, hal
serupa turut menimpa dirinya. Di suatu malam, saat tengah mencari Chris yang
berlari ke hutan, Sarah menemukan lubang berukuran masif menganga di tanah. Mungkin
lubang itu disebabkan sebuah benda bak meteor yang sesaat sebelumnya dapat kita
saksikan dari kejauhan sedang melintasi langit.
Sarah berhasil menemukan Chris.
Bocah itu baik-baik saja, tapi sang ibu merasakan perbedaan. Dia berperilaku
manis, patuh, dan aktif bergaul di sekolah, yang mana merupakan sikap-sikap
yang sejatinya didambakan Sarah. Ketimbang bahagia, Sarah justru dilanda
kecemasan. Dari sinilah naskah buatan Lee Cronin bersama Stephen Shields
memunculkan ironi yang secara subtil mempertanyakan, “Apakah seorang anak
memang lebih baik menjadi sebagaimana keinginan orang tua?”. Serupa Hereditary atau The Babadook,
The Hole in the Ground menyentuh area
seputar sisi gelap parenting. Pun
konklusinya yang cenderung suram mampu menampar selaku penggambaran mengerikan
tentang bagaimana pengalaman traumatis memancing sikap posesif orang tua
terhadap anak.
Tapi The Hole in the Ground terlampau berkonsentrasi mengumpulkan
subteks hingga melupakan jalinan alur permukaan yang solid. Sarah mulai
mencurigai, apakah Chris sekadar melewati fase perubahan layaknya anak-anak
kebayakan atau benar-benar telah digatikan oleh makhluk alih wujud. Lee dan
Stephen membuat segalanya terlalu jelas, urung bermain-main dengan ambiguitas
untuk melahirkan misteri menarik. Sederhananya, seluruh elemen film ini mudah
ditebak, yang mana bukan sebuah dosa selama fase prosesnya menyimpan daya
tarik. Masalahnya, selain ketiadaan misteri, The Hole in the Ground pun kekurangan pemandangan mencekam.
Bukan berarti tiada pengadeganan
solid, sebab saya masih menemukan beberapa pertanda talenta mumpuni di penyutradaraan
Cronin, seperti saat ia cerdik membangun intensitas kala nyanyian Chris tiba-tiba
bertransisi menuju gemuruh tepuk tangan. Problema terletak di inkonsistensi.
Beberapa imageries memancarkan
kengerian, namun banyak pula yang jatuh ke ranah teror generik. Usaha memuaskan
penonton umum lewat jump scare pun
jauh dari impresif, akibat eksekusi medioker dibarengi keklisean musik berisik karya
Stephen McKeon (The Tiger’s Tail, Blind Fight).
Klimaks yang berpeluang jadi juru selamat justru minim energi, kreativitas,
maupun tensi. Patut disayangkan, mengingat Seána Kerslake menghadirkan performa
kuat sebagai ibu yang menghadapi teror berujung masalah psikologis.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Sebenarnya sudah lama sih saya download di torrent film ini (Jangan ditiru ya! :X), tapi sampai sekarang filmnya baru setengah aku tonton karena selalu ketiduran di pertengahan, mungkin karena efek saya nonton sambil rebahan atau filmnya yang cukup membosankan!! Atau efek karma buat saya karena nonton film bajakan! Hahahaha
Posting Komentar