DUMBO (2019)
Rasyidharry
Maret 28, 2019
Colin Farrell
,
Danny DeVito
,
Danny Elfman
,
Ehren Kruger
,
Eva Green
,
Fantasy
,
Finley Hobbins
,
Kurang
,
Michael Keaton
,
Nico Parker
,
REVIEW
,
Tim Burton
17 komentar
Di atas kertas, pilihan menunjuk
Tim Burton sebagai sutradara adaptasi live
action dari animasi berjudul sama rilisan tahun 1941—yang juga adaptasi
novel karya Helen Aberson dan Harold Pearl—ini adalah pilihan masuk akal.
Berlatar sirkus penuh anggota unik, menampilkan Colin Farrell sebagai ayah
berlengan satu, dan punya protagonis seekor gajah terbang yang dianggap hina
karena telinga lebarnya. Sepanjang karirnya, Burton terbukti ahli menangani
sosok-sosok eksentrik yang diremehkan karena dipandang aneh.
Tapi sentuhan sang sutradara
kentara memudar belakangan ini. Ketika Miss
Peregrine’s Home for Peculiar Children (2016)—film dengan materi yang
seolah ditakdirkan khusus untuk Burton—berakhir selaku tontonan ala kadarnya,
saya yakin “Burton lama” telah hilang. Setidaknya sampai ia bersedia menepi
sejenak dari dunia film studio berbujet besar yang menghalangi keleluasaannya.
Tapi rasanya itu takkan terjadi dalam waktu dekat.
Dumbo pun serupa, tatkala Burton kesulitan memadupadankan keanehan
dengan drama manis. Sayangnya, “manis” dan “Tim Burton” bukan dua hal yang
serasi. Alhasil, sekali lagi kita disuguhi identitas khas karya modern sang
sutradara: tontonan mudah dilupakan penuh latar CGI yang tak seberapa cantik,
kreatif, apalagi menghadirkan terobosan visual.
Padahal kisahnya memiliki materi
memadahi guna melahirkan drama keluarga menyentuh. Sepulangnya dari Perang
Dunia I, Holt Farrier (Colin Farrell), kembali ke sirkus milik Max Medici
(Danny DeVito), tempatnya dahulu angkat nama sebagai penunggang kuda. Tapi bukan
saja mendapati kudanya telah dijual untuk menutup kesulitan ekonomi, Holt turut
kelabakan menjalin hubungan dengan kedua anaknya, Milly (Nico Parker) dan Joe
(Finley Hobbins). Tidak seperti mendiang istrinya, Holt tak tahu cara
berkomunikasi dengan mereka.
Saya tidak menyalahkan Holt, sebab
anak-anaknya, terlebih sang puteri yang bermimpi menjadi ilmuwan (elemen yang
urung mendapat pengembangan maupunn payoff
layak), bicara layaknya orang dewasa. Naskah tulisan Ehren Kruger (Transformers 2-4, Scream 3, The Ring)
memaksa Milly bertutur terlampau bijak, yang acap kali menyulitkan si aktris
cilik memberi penampilan maksimal.
Tanpa kudanya, Holt ditugasi
merawat gajah bernama Jumbo yang tengah mengandung. Bayi Jumbo diharapkan dapat
menarik pengunjung. Tapi begitu Dumbo (awalnya bernama Baby Jumbo) lahir dengan
telinga super lebar, harapan itu perlahan sirna. Kelainan fisik Dumbo dianggap
bencana, hingga Milly dan Joe mengetahui bahwa kepakan telinga itu mampu
menerbangkan si gajah kecil ke angkasa.
Tentu orang-orang dewasa tak
seketika mempercayai pengakuan dua bocah itu, memberi tantangan bagi mereka
untuk membuktikan bahwa alih-alih kegagalan, Dumbo merupakan keajaiban. Pun
merupakan tantangan bagi Burton mengeksekusi debut Dumbo terbang di hadapan
penonton, yang patut disebut momen “make
it or break it” filmnya, dan menentukan apakah atensi penonton bakal
terjaga atau tidak. Beruntung, dibantu orkestra menggugah garapan Danny Elfman (Good Will Hunting, Big Fish, Spider-Man) Burton mampu menciptakan pemandangan uplifting agar Dumbo punya cukup tenaga melangkah ke fase berikutnya.
Fase tersebut memperkenalkan kita
kepada V. A. Vandevere (Michael Keaton), pengusaha dunia hiburan yang berhasrat
menjadikan Dumbo bagian pertunjukkan taman bermain Dreamland miliknya. Eva
Green pun turut serta memerankan pemain trapeze
dengan julukan “Queen of the Heaven”
lewat aura menghipnotis seperti biasa. Mereka berdua mendatangi sirkus milik
Max, menawarkan kerja sama bagi seluruh penampil, meski kita tahu betul ia
hanya ingin merebut Dumbo.
Lalu apa yang terjadi pasca
bergabungnya sirkus dengan kemeriahan Dreamland? Latihan dan atraksi terbang
tentu saja. Dumbo berlatih lalu tampil di pertunjukan yang senantiasa
menghasilkan masalah. Terus demikian, sampai membuat film ini bagai 112 menit
kombilasi latihan terbang tanpa dibantu narasi memadahi. Saya dibuat
bertanya-tanya, apa yang naskahnya coba sampaikan? Nilai kekeluargaan? Larangan
menilai orang hanya lewat penampilan luarnya? Ajakan untuk berbuat baik? Semua
ada dan dicampur paksa. Dampaknya, konklusi Dumbo
gagal mengaduk perasaan, sebab proses yang karakternya lalui tak pernah jelas.
Klimaksnya melibatkan misi
penyelamatan, tatkala para anggota sirkus berkesempatan unjuk gigi kemampuan
masing-masing (Butuh waktu lebih dari 90 menit sampai mereka menjadi lebih dari
sebatas pajangan). Momen tersebut bisa terasa menghibur sekaligus rewarding andai (A) Bukan cuma numpang
lewat; dan (B) Bersedia mengeksplorasi unsur soal orang-orang (dan hewan) “aneh”
yang senantiasa dicemooh. Mungkin naskahnya menghindari kesan eksploitatif,
lalu memutuskan bermain aman dengan menyajikan kisah setengah matang.
Filmnya begitu datar dan dingin,
hanya menyisakan mata serta senyum Dumbo sebagai satu-satunya hal yang
memancarkan hati. Sebuah adegan berpotensi tampil magis, ketika
gelembung-gelembung sabun raksasa membentuk wujud cantik gajah-gajah merah
muda. Sayang, keajaibannya seketika memudar kala Burton menyusunnya sebagai
sekuen konyol dan cartoonish. Sama
seperti keseluruhan Dumbo, yang
menjadi salah satu adaptasi live action modern
Disney terburuk akibat kehilangan sihir sumber adaptasinya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
17 komentar :
Comment Page:Kalau saya sih puas dan suka nontonnya
Emosi bener2 campur aduk waktu nontonnya
Dan sama sekali ga tau cerita versi asli nya
Cerita aslinya sangat jauh lebih menyayat2 hati, recommended banget
akhirnya sekuel Batman Returns rilis juga setelah sekian lama
Setuju. Gue terpukau sama aksi Dumbo, tapi filmnya hampa. Mungkin yang bagus buat gue cuma lagu Baby Mine versi Arcade Fire, meskipun lagunya kalah bagus sama lagu Arcade Fire yang lain kayak Dimensions, Some Other Place, Song On The Beach, Photograph dan Loneliness #3
Setuju banget sama kak rasyid,sentuhan ala burton nya menghilang sudah :(
@Jackman, iya bagi saya film Dumbo juga sudah dapat nilai bagus, wkwkwkwk..
Istilahnya, selama 2 jam saya nggk melihat jam tangan sama sekali.. walaupun durasi panjang, tp nggk bosen..
Penilaian Mas Rasyid itu memang tinggi, jadi bener² selera kritikus film yg nggk hanya butuh kata "manghibur" saja, harus ada nilai lebih lain..
Pokoknya klo dapet bintang 5 dari Mas Rasyid, udah pasti film bagus, wkwkkwkwk.. mantul Mas!!!
Udah dari lama kali menghilangnya
Tinggi bagemane? Saya mah kalau bisa nangis udah cukup (and I easily cried). Tapi Dumbo kagak terharu apalagi nangis, soalnya bingung, ini proses yang mau ditangisin apaan? 😅
Betul. Alasan kenapa Disney masuk era keemasannya dulu
Boleh lah lagunya. Apalagi pas malem-malem
Efek CGI nya tidak lebih baik dari Marry Poppins apalagi ALITA: BATTLE ANGEL. Tp Dumbo cute bgt, gemesinnn..
Sudah tdk berharap byk dgn tim burton sejak dark shadow.
Mungkin kurang johnny deep yang telah jadi partner setia Burton di film yg ngandung unsur karakter 'aneh' jadi ide gila nya kurg tersalurkan
Sejak era 2010-an, film Burton yang bener-bener bagus emang cuma Frankenweenie
Duh, ada Depp makin ancur lagi ini macam Dark Shadows. Makin jadi karikatur buat dirinya sendiri si Depp itu
Eva Green sekarang udah jarang ya tampil buka-bukaan. Then live action gini ampe kapan ya?
Sampai stoknya bis dan nggak laku haha. But that's fine. Di antara yang kurang oke macam Dumbo & Nutcracker (plus mungkin Aladdin), ada emas kayak Beauty and the Beast, Cinderella, The Jungle Book. Lion King juga menjanjikan.
Posting Komentar