THE QUAKE (2018)
Rasyidharry
Maret 21, 2019
Action
,
Ane Dahl Torp
,
Bagus
,
Edith Haagenrud-Sande
,
Harald Rosenløw-Eeg
,
John Andreas Andersen
,
John Kåre Raake
,
Jonas Hoff Oftebro
,
Kathrine Thorborg Johansen
,
Kristoffer Joner
,
REVIEW
,
Thriller
3 komentar
Sewaktu protagonis dalam sekuel
untuk The Wave (2015) ini meluncur
menuruni reruntuhan gedung landai banyak penonton berteriak. Kenapa penonton
(termasuk saya) bisa setegang itu menyaksikan pemandangan yang sebenarnya sama
sekali tidak baru? Karena, The Quake
tak memiliki Dwayne Johnson atau jagoan lain yang membuat aksi bergelantungan
di ketinggian puluhan meter dari tanah tampak seperti kegiatan senang-senang di
taman hiburan.
Karakter film ini, meski
dielu-elukan sebagai pahlawan, tak punya kapasitas fisik sekelas superhero. Kristian Eikjord (Kristoffer
Joner) hanya pakar geologi paruh baya biasa, yang tiga tahun selepas peristiwa
tsunami film pertama, memilih hidup terisolasi, dikuasai rasa bersalah karena ia
merasa semestinya dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa. Akibatnya, sang
istri, Idun (Ane Dahl Torp), menceraikannya, membuat Kristian terpisah dari
kedua anaknya, Sondre (Jonas Hoff Oftebro) dan Julia (Edith Haagenrud-Sande).
Kristian berusaha menebus dosanya
dengan terlibat membangun Geiranger lagi, dan membuat sebuah kamar untuk
mengenang 250 korban tsunami di sana. Sampai suatu hari, kematian seorang rekan
menggiringnya pada kesimpulan bahwa Oslo bakal segera diguncang gempa masif
berkekuatan 8,5 skala richter. Dibantu Marit (Kathrine Thorborg Johansen),
puteri mendiang rekannya itu, Kristian coba memperingatkan pihak berwenang akan
gempa yang segera menerjang. Tentu, seperti film pertama, peringatannya tak
digubris.
Kejanggalan apabila sekuel film
bencana menampilkan tokoh yang sama adalah, kesan bahwa ia sungguh sial harus
menghadapi bencana lagi. Naskah buatan John Kåre Raake (The Wave, Ragnarok) dan Harald Rosenløw-Eeg (The Wave, The King’s Choice) memastikan ada alasan logis di balik
kembali terseretnya Kristian daripada sekadar “diikuti nasib buruk”. Tentu
masih ada unsur kebetulan, contohnya fakta jika keluarga Kristian kini menetap
di Oslo, tapi tanpa itu pun, Kristian tetap akan menyatroni pusat gempa di mana
pun letaknya.
The Quake praktis dibagi menjadi dua babak, di mana seperti
selalu kita temukan dalam film serupa, babak pertama bertugas membangun
pengetahuan penonton soal bencana seperti apa yang siap menyerang. Getaran-getaran
kecil, listrik yang padam, saluran air yang terganggu, hingga keluarnya
tikus-tikus dari sarang jadi beberapa pemandangan yang menghiasi layar sebelum
gempa menggembur di separuh akhir.
Dibungkus dalam tempo medium oleh
sutradara John Andreas Andersen yang sebelumnya dikenal selaku sinematografer (Headhunters, King of Devil’s Island), The Quake memang awalnya tampil bagai uji
kesabaran bagi penonton. Meski Kristoffer Joner menampilkan gestur meyakinkan
sebagai pria pengidap gangguan kecemasan, eksplorasi akan unsur itu tak
seberapa mendalam, ditutupi oleh investigasi Kristian yang jarang menyuguhkan
fakta menarik, kecuali saat ia mengungkap banyaknya gempa “bersembunyi” di
balik aktivitas proyek pembangunan di seantero Oslo.
Pelan-pelan intensitas merambat
naik seiring karakternya mulai merasakan kejanggalan aktivitas alam yang
menandakan bencana makin dekat. Dan tatkala John Andreas Andersen akhirnya
menghantamkan kehancuran ke tiap sudut Oslo, percayalah, kesabaran anda menanti
seketika terbayar lunas. Bisa dipastikan filmnya membutuhkan bantuan CGI,
tetapi The Quake bukan film bencana
ala Hollywood yang semata mengandalkan skala kehancuran.
Walau cuma bermodalkan biaya tak sampai
$6 juta, efek visualnya tampil meyakinkan, sebab pemakaian CGI bersifat ekstensif
hanya dilakukan sesekali, saat wide shot dipakai
untuk memberitahu penonton sejauh apa gempa sudah mengobrak-abrik Oslo, atau
setiap gempa susulan terjadi. Sisanya, film ini cenderung menghabiskan waktu di
dalam ruangan, memperlihatkan perjuangan empat tokoh utamanya bertahan hidup.
The Quake menolak melepaskan cengkeramannya terhadap penonton
dengan membagi karakternya menjadi dua kelompok yang selalu menghadapi
rintangan yang ditampilkan secara simultan. Tidak ada kesempatan bagi kita
bernapas. Ketika satu kelompok berhasil menyelamatkan diri dari gedung yang
mulai runtuh, kelompok lainnya mesti berurusan dengan lift yang segera jatuh. John
Andreas Andersen menangkap segala perjuangan karakternya lewat perspektif yang menekankan
bahwa mereka adalah manusia biasa yang butuh satu sama lain (plus keberuntungan)
agar selamat, dan bahwa satu kesalahan kecil bisa membawa maut.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
3 komentar :
Comment Page:pas liat label diatas kok nama pemerannya kaya di film the wave
pas baca ternyata emang beneran sekuel
the wave menurut gue keren sih, terutama ane dahl torp
masuk list gue deh ini
karena the wave juga dibikin tegang, bahkan jauh lebih tegang dibanding film 2012, yang bencananya lebih masif malah gak tegang sama sekali
Jangan ekspektasi tinggi sama si Ane di sini pokoknya 😁
Si jonas juga porsinya dikit bgt
Posting Komentar