0.0 MHZ (2019)
Rasyidharry
Juli 14, 2019
horror
,
Jung Eun-ji
,
Korean Movie
,
Kurang
,
Lee Seung-yeol
,
REVIEW
,
Yoo Sung-dong
10 komentar
Premis segar dan mengerikan tentang
frekuensi yang dapat memanggil makhluk halus, sudah cukup untuk menjual 0.0MHz, selain tentunya debut akting
layar lebar Jung Eun-ji “Apink”. Rasa penasaran muncul karena saya tidak tahu
ke arah mana ide dasar tersebut dapat dikembangkan. Tapi ternyata, sutradara
sekaligus penulis naskah Yoo Sung-dong (Mr.
Housewife, Death Bell 2: Bloody Camp) pun tidak lebih banyak tahu.
Struktur alurnya mengikuti formula
film-film “cabin in the woods”, yakni
soal sekumpulan remaja, berbekal keingintahuan (plus kebodohan) mendatangi rumah
tua angker. Mereka, termasuk So-hee (Jung Eun-ji) dan sang pengagum rahasia,
Sang-yeob (Lee Seung-yeol, anggota boy
group INFINITE), tergabung dalam klub horor bernama 0.0MHz, yang berambisi
membuktikan (atau membantah?) keberadaan hantu.
Adegan pembukanya brutal nan
menjanjikan, menampilkan seorang dukun melakukan ritual guna mengusir hantu
penghuni rumah itu hanya untuk berakhir tewas mengenaskan. Begitu pula sekuen
berikutnya, ketika So-hee dan Sang-yeob berjalan beriringan, sementara di
belakang keduanya, samar-samar nampak dua hantu berwujud nenek-nenek dan anak
kecil, diam-diam mengikuti.
Momen yang turut berfungsi menyiratkan
kemampuan supernatural So-hee tersebut, bertempat di siang hari bolong. Tanpa jump scare, tanpa makhluk bertampang seram,
hanya situasi normal sehari-hari, namun tak berapa lama, terasa ada yang tidak
beres dari dua sosok tersebut. Yoo Sung-dong membawa kengerian dengan cara menggiring
penonton membayangkan bahwa detik ini, di belakang kita, mungkin saja sesuatu
sedang mengikuti.
Sayagnya, dengan penuh penyesalan
saya mesti mengatakan jika 10 menit pertama itu adalah bagian terbaik 0.0MHz. Setelahnya, Sung-dong seolah
kebingungan mengolah bahan baku yang dimiliki. Sesampainya di rumah angker yang
dituju, karakternya mulai memanggil hantu memakai metode yang menggabungkan
unsur sains dan klenik. Namun di luar ritual itu, naskahnya kehabisan akal, tak
tahu harus membawa ide menariknya ke mana.
Sung-dong menyerah, lalu memilih
menerapkan taktik malas, di mana si hantu berambut panjang penghuni rumah—yang merasuki
seorang karakter pasca pelaksanaan ritual—akan muncul tiap kali sang medium
tertidur. 0.0MHz berubah menjadi
horor klise berisi aksi sesosok hantu memburu dan membunuh para remaja satu per
satu.
Selepas pembuka, saya mengira
filmnya bakal menerapkan kekerasan tingkat tinggi dalam menghabisi korban,
hanya untuk dikecewakan, karena yang menanti di depan adalah pembantaian tanpa taji,
tanpa memperlihatkan satu pun kematian secara langsung. Bahkan bodycount-nya begitu rendah bagi film
yang mengusung tagline “It only ends with a death” dan “You are all dead”.
Terkait penyutradaraan, Yoo
Sung-dong sejatinya berani menjalani tantangan untuk mengandalkan gambar-gambar
bernuansa tidak nyaman ketimbang jump
scare generik, sayang, eksekusinya murahan. Bagian mana yang mengerikan
dari repetisi orang-orang tercekik rambut? Dan sewaktu rupa hantu akhirnya diungkap,
yang nampak justru pemandangan memalukan akibat CGI berkualitas rendah.
Babak ketiganya sempat memantik
sedikit harapan, saat pengaturan tempo solid, penyuntingan dinamis, ditambah
penempatan tepat musik elektroniknya, berhasil membangun jembatan menegangkan
menuju klimaks. Tapi lagi-lagi, ketika klimaks itu tiba, cuma kekecewaan yang
tertinggal, disebabkan konten adegan tak menarik (salah satu karakter
mencambuki karakter lain), dan tentu saja, hantu CGI memalukan tadi.
Klimaksnya turut berpotensi
menghadirkan puncak emosi dengan menyinggung perihal hubungan kompleks keluarga
So-hee, namun gagal mendapat hasil sesuai harapan akibat elemen drama yang
datang tiba-tiba, tidak didahului pembangunan yang layak. Itu masalah akut lain
naskahnya, yang berkali-kali melemparkan rahasia dan/atau dosa masa lalu
karakternya secara mendadak. Bahkan hubungan So-hee dan Sang-yeob pun ambigu.
Apakah mereka teman lama? Bagaimana pertemuan keduanya terjadi?
0.0MHz merekrut dua idol sebagai
protagonis, dan mereka melakukan pekerjaannya dengan baik meski jauh dari
spesial. Seung-yeol hanya berakting mengikuti pola pria pemalu canggung yang
sudah kita temui ribuan kali di film lain, sedangkan kapasitas Eun-ji ditekan
oleh tuntutan peran, yang memaksanya lebih banyak diam dan memasang tampang
misterius. Biar demikian, secercah talentanya masih dapat kita saksikan. Beberapa
gerak tubuh maupun ekspresinya niscaya sempurna diterapkan dalam drama remaja quirky, sementara adegan penutup film
ini menyiratkan kemampuannya menangani komedi-romantis ringan.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
10 komentar :
Comment Page:Jadi, skip aja nih ya mas? Untung belum semeton jauh2 maen ke CGV buat nongton. Beda sama ikut aku ke neraka kemaren yg sempet buat ane khilaf jd pengen nonton, film ini kebalikan. Liat trailer malah jijique..
Nonton avengers end game yg extended version gak bang?
Skip aja kecuali fans dua idolnya.
Nope. Udah males lihat adegan tambahan yang Hulk. Harus nyisihin duit buat film lain juga
Extendednya bnyk di yutub sih..
Kira2 misinya bisa berhasil ngelewatin avatar gk??
Tinggal masalah waktu. Cuma selisih 7 juta, bisa dalam 1-2 minggu ke depan. Kalau masih gagal juga, rerelease di tahun-tahun ke depan juga masih bisa.
Trus kalo pendapatan di luar bisokop kyk rilis streaming/blu-ray kehitung jg gak??
Itu masuknya ke perhitungan keuangan total studio. Buat internal nentuin untung/rugi. Kalau yang selalu dipublikasikan itu cuma gross dari bioskop.
Sampai sekarang aku masih bingung, kok bisa-bisanya Avatar jadi film terlaris. Kalo Endgame jadi terlaris sih wajar, film yg dibangun dari belasan tahun dengan puluhan judul film yg nendahului. Sedangkan Avatar itu cuma stand alone aja.
Seenggaknya dari zaman Star Wars jadi film terlaris, kuncinya selalu sama: revolusioner. Hype tinggi karena dijual sebagai "revolusi teknologi". Akhirnya jadi event, bukan cuma rilis film biasa. Di masanya kan kita belum pernah lihat pemaksimalan CGI + 3D macam Avatar.
Posting Komentar