BALI: BEATS OF PARADISE (2019)

18 komentar

Bali: Beats of Paradise memberi saya salah satu pengalaman gala premiere paling sureal. Pertama mesti dipahami dulu, dokumenter ini merupakan karya Livi Zheng, sineas yang memperoleh popularitas di Indonesia berkat Brush with Danger (2014), yang akibat kemalasan media serta masyarakat menggali info ditambah pembiaran dari Livi, digembar-gemborkan sebagai peraih nominasi Oscar.

Saya pun terkejut ketika sebelum pemutaran, ia tak menyampaikan sambutan. “Apakah Livi sudah berubah, mulai merendah, dan membiarkan karya yang bicara?”, begitu pikir saya. Sungguh saya salah mengira. Sang sutradara telah mempersiapkan absurditas lain. Dimainkanlah video gelaran premiere di Amerika Serikat, rekaman konferensi pers bersama beberapa Menteri termasuk Sri Mulyani, deretan pesan video himbauan menonton dari figur-figur “pembesar” negara, liputan-liputan media soal “kesuksesan” Livi “menembus Hollywood”, hingga trailer film-filmnya yang lain, dari Brush with Danger hingga Insight yang dibintangi Tony Todd.

Tidak berlebihan jika Livi disebut narsis pula haus popularitas, sebab kesan itu pun begitu kentara dalam hasil akhir Bali: Beats of Paradise, walau sejatinya, tuturan di paruh awal membuka kisah secara meyakinkan. Kita diajak melihat bagaimana musik gamelan amat dikagumi, berpengaruh, dan diperdalam oleh masyarakat luar negeri, termasuk Amerika. Biarpun singkat, setidaknya penuturan para narasumber sedikit menjelaskan alasan kekaguman mereka kepada gamelan.

Lalu diperkenalkanlah para tokoh sentral, pasangan suami istri Nyoman Wenten dan Naniek Wenten, dua musisi sekaligus penari Bali yang sudah 40 tahun tinggal di Amerika, guna mengajar di departemen Etnomusikologi di UCLA, juga CalArts. Pak Nyoman dikenal ramah, kenyamanan bukan hanya dirasakan murid-muridnya, begitu pula saya selaku penonton. Ada kehangatan kala mendengarkannya bercerita tentang karir sampai hubungan dengan sang istri.

Timbul juga kekaguman menyaksikan pasangan ini berkesenian di satu panggung, menunjukkan talenta yang sudah membuat ribuan (bahkan sepertinya lebih) manusia terpesona. Livi tidak perlu berbuat macam-macam, Bali: Beats of Paradise sudah terkatrol kualitasnya berkat subyek luar biasa miliknya. Tapi bukan Livi Zheng namanya kalau tidak macam-macam.

Titik balik filmnya terjadi kala Pak Nyoman mengutarakan niat mengunggah video tentang gamelan ke YouTube, dengan target sejuta penonton. Harapannya, masyarakat khususnya generasi muda lebih mengenal kesenian tradisional ini. Beliau pun merasa “sutradara kita, Livi Zheng, pasti bisa membantu”. Dimulailah acara pamer CV sutradara internasional peraih nominasi Oscar kebanggaan tanah air proses produksi video tersebut. Jangan kaget saat rekaman acara televisi plus kutipan berita layaknya kliping tentang “prestasi” Livi Zheng kembali bermunculan di layar.

Saya bakal diam, membiarkan yang bersangkutan pamer sesuka hati, bila filmnya sungguh berkualitas. Masalahnya, Livi tampak tidak tahu apa-apa, baik terkait tata cara bercerita maupun proses produksi. Alkisah, terjadilah kolaborasi antara Pak Nyoman dan Bu Naniek dengan Judith Hill, musisi funk yang pernah menjadi penyanyi latar bagi Michael Jackson, Stevie Wonder, hingga Josh Groban. Kisah Hill sendiri pernah diangkat dalam dokumenter 20 Feet from Stardom (2013), di mana ia turut mengisi suara untuk lagu berjudul sama yang memenangkan Grammy Awards di kategori Best Music Film.

Rencananya, Livi bakal menyutradarai video klip lagu kolaborasi mereka yang berjudul Queen of the Hill. Sewaktu ditanya perihal kesulitan proyek ini, Livi menjawab kurang lebih demikian, “Kesulitannya adalah harus merekam lagu, membuat koreografi, dan merekam video”. Jawaban tersebut mengesankan ketidaktahuan sang sutradara akan proyek yang dikerjakannya.

Livi pun tergagap dalam bertutur. Terdapat banyak modal cerita, dari perjalanan karir Pak Nyoman, proyek bersama Judith Hill, dan tentunya perkembangan gamelan itu sendiri. Tapi dari modal sebanyak itu, tak satupun sempat dieksplorasi. Durasi 56 menit (termasuk 3 menit 43 detik video Queen of the Hill sebelum kredit) sudah menyiratkan itu. Livi sebatas melontarkan gagasan-gagasan yang makin lama makin bertumpuk, membuatnya kerepotan mengatur aliran cerita yang terus melompat secara acak dari satu tema ke tema berikutnya.

Anda bakal sering mempertanyakan esensi dimunculkannya sesuatu. Mengapa Balawan sering tiba-tiba datang lalu pergi? Menjelang akhir, sempat muncul narasi singkat mengenai pemakaian gamelan di karya-karya besar seperti Avatar, Fellini Satyricon, Akira, hingga Star Trek. Mengapa tak memperdalam bahasan itu, yang pastinya lebih menarik ketimbang satu jam aktivitas di balik layar pembuatan video klip? Livi pun tak mengeksplorasi proses kreatif yang terjadi, baik di antara tiga seniman hebat itu maupun dirinya sendiri. Kita cuma melihatnya memegang clapperboard alih-alih menyutradarai.

Selain dangkal, Bali: Beats of Paradise adalah dokumenter canggung. Tentu dalam dokumenter tetap ada momen rekayasa. Tugas sutradara adalah menjadikannya nampak alami. Livi tidak mampu. Diskusi awal antara Pak Nyoman dengan Judith contohnya, dikemas bak variety show kacangan khas televisi kita. Singkatnya, Bali: Beats of Paradise merupakan salah satu dokumenter paling buruk yang pernah saya saksikan.

18 komentar :

Comment Page:
Chan hadinata mengatakan...

Saingan ratna sarumpaet ini mah si livi
Oscar winner best hoax category

Vian mengatakan...

Livi ini setipe dg Damien dematra ya? Sutradara yang sprti punya dunia sendiri. Tidak FFI oriented.

Dimas mengatakan...

saya butuh review RITUAL...

Unknown mengatakan...

Review midsommar mana?

Rasyidharry mengatakan...

Lebih gila sih mainnya Livi ini. Serem.

Rasyidharry mengatakan...

Lewat. Seminggu ini belum sempet ke bioskop soalnya

Unknown mengatakan...

Durasi film nya hanya satu jam yak?

Mas Rasyid, review MoveOnAja doonk..

Dimas mengatakan...

yah satu-satunya harapan review "kocak" tinggal Cinecrib kayaknya..

Unknown mengatakan...

Bang Rasyid ikut komentarin film Gundala yakk.

Rizki mengatakan...

Bang nanti review gundala colab sama cine crib

Rasyidharry mengatakan...

Sayangnya eps bahas Jagat Sinema Bumi Langit kemarin itu jadi perpisahan. Saya udah nggak di Jakarta. Mungkin nanti reuni collab pas bahas rapor horor lokal akhir tahun plus JAFF (baru rencana)

diditpray mengatakan...

Midsommar review juga bang...

Erlanggahari88@gmail.com mengatakan...

Setelah tahu Livi Zheng dan cerita mumbo jumbonya tentang prestasi yang bersangkutan, saya jadi yakin kalo Tommy Wiseau itu gak buruk-buruk amat.

Luqman mengatakan...

Orang kayak Livi ini bisa bahaya kalo dibiarin kang rasyid, bisa bikin rusak nama perfilman Indonesia khususnya dan bisa bikin rusak nama Indonesia pada umumnya karena bisa2 orang Indonesia dicap sebagai tukang tipu

Zha93 mengatakan...

Bang keren kau bang masuk metro tv gegara review nih film ngakak banget lah. Kayaknya nih film bakal lebih ada isinya kalau fokus aja sama pak nyoman wenten dan eksistensinya terhadap gamelan bali. Tapi jadi endorsment livi zheng jadi pengen nyinyir kan. Mending livi jd produser aja kali yaa kan banyak duit mending danain filmmaker biar bisa produksi film sekeren avenger, dan real bersaing di "oscar" 😆

Unknown mengatakan...

livi, vicky prasetyonya perempuan :')

Anonim mengatakan...

Namanya review film ya review isi, cerita, presentasi, cinematography, kreativitas, sound design, dan banyak hal lain. Tapi anda membahas kontroversi dan sifat produser yang tak berhubungan dengan isi film. Memang tak ada standar untuk isi review yang baik, tapi review ini sudah jauh di luar batas dan tak representatif

koshkamira mengatakan...

Kalau dipikir2 pendapat anda benar juga.. tapi.. kelihatannya reviewernya juga berharap agar bisa mengomentari isi filmnya.. masalahnya kn isinya itu ngga ada..