GEMINI MAN (2019)
Rasyidharry
Oktober 06, 2019
Action
,
Ang Lee
,
Benedict Wong
,
Billy Ray
,
Clive Owen
,
Darren Lemke
,
David Benioff
,
Dion Beebe
,
Lumayan
,
Mary Elizabeth Winstead
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Will Smith
1 komentar
Gemini Man membuat saya makin menghormati Ang Lee. Tidak banyak
sutradara berstatus “auteur” menjajal
blockbuster, gagal total, lalu
kembali untuk kedua kali. Hulk 16
tahun lalu adalah bencana, kala Lee enggan mengalah pada hasrat membuat blockbuster kontemplatif ala arthouse. Dan di percobaan keduanya, Ang
Lee berhasil. Bukan berarti ia mengorbankan ideologi. Justru ini bukti
kematangan, ketika sineas mampu beradaptasi sesuai kebutuhan.
Film ini terjebak dalam development hell selama hampir 20 tahun,
diawali proses di bawah naungan Walt Disney, namun berujung pembatalan akibat
teknologi dianggap belum memadai. Teknologi tersebut diperlukan untuk memudakan
wajah aktor, sebab di Gemini Man, ada
dua Will Smith, di mana salah satunya merupakan versi sang aktor di usia 20an.
Sang aktor memerankan Henry Brogan,
pembunuh bayaran yang dipekerjakan pemerintah untuk menghabisi nyawa para
teroris berbahaya. Henry disebut sebagai pembunuh tanpa tanding. Bukan sebutan
omong kosong, sebab ia sanggup menembak mati seseorang di dalam kereta yang
sedang melacu dengan kecepatan maksimal. Tapi pilihan karir itu membuatnya
kesepian, didera mimpi buruk, serta rasa bersalah telah merenggut 72 nyawa
manusia. Henry memutuskan pensiun.
Tapi serupa protagonis film aksi
lain, masa pensiun Henry takkan berlangsung mulus. Pemerintah mengirimkan
seorang agen, Danny Zakarweski (Mary Elizabeth Winstead) guna memata-matainya.
Bahkan setelah Henry mengetahui rahasia di balik misi terakhirnya, pihak
pemerintah mulai memburunya. Sampai Clay Varris (Clive Owen), kepala proyek
GEMINI, mengutus kloning Henry yang berusia 30 tahun lebih muda, yang selama
ini diam-diam ia rawat bak anak sendiri.
Naskahnya—ditulis pertama kali oleh
Darren Lemke (Shrek Forever After,
Goosebumps) sebelum ditulis ulang oleh banyak nama termasuk David Benioff (Troy, X-Men Origins: Wolverine) dan
Billy Ray (The Hunger Games, Captain
Phillips, Overlord) , di mana ketiganya mendapatkan kredit penulisan—tampil
sederhana, dibumbui drama soal kemelut batin melalui sederet obrolan antar
tokoh, yang jadi sarana Ang Lee menerapkan nuansa kontemplatif khasnya.
Kali ini penempatannya tepat guna.
Di tangan Ang Lee, obrolan di tengah film aksi yang biasanya sekadar obligasi,
jadi mengandung bobot. Henry mengaku tak mampu menatap sosoknya di cermin, tapi
ironisnya, dia malah bertatap muka dengan sosoknya sendiri secara nyata.
Kalimat yang Henry lontarkan kepada versi mudanya di katakomba terdengar bak
luapan katarsis. Kelemahan naskah yang juga gagal diperbaiki Ang Lee adalah
soal humor, yang seperti ditulis kemudian divisualisasikan oleh orang-orang
kaku. Dingin, garing. Bahkan Benedict Wong pun tak kuasa menyelamatkannya.
Walau versi HFR (High Frame Rate) urung dirilis di
Indonesia, permainan visual bergaya Ang Lee dan sinematografer Dion Beebe (Chicago, Memoirs of a Geisha, Mary Poppins
Returns) masih terasa, baik yang (agak) substansial seperti lanskap-lanskap
cantik, hingga yang patut dipertanyakan (penggunaan fisheye beberapa detik untuk menangkap gerakan kereta). Setidaknya,
kolaborasi mereka berhasil melahirkan barisan aksi seru.
Awalnya saya ragu. Perkelahian
tangan kosong di paruh awal kala Gemini
Man menerapkan teknik quick cuts layaknya
suguhan laga medioker kebanyakan. Bahkan lebih buruk, akibat buruknya detail kontinuitas
pada potongan-potongan singkat baku hantamnya, yang menciptakan disorientasi.
Sampai tiba saatnya dua Will Smith beradu, dan sepeda motor pun disulap bukan
saja sebagai sarana kebut-kebutan, pula senjata untuk menghajar seseorang. Klimaksnya
pun sukses memaksimalkan konsep “double
team”, melalui threesome memukau
dibungkus pergerakan kamera dinamis, meski di beberapa titik, lemahnya CGI agak
mengganggu.
Kualitas CGI Gemini Man memang inkonsisten, termasuk perihal wajah muda Will
Smith, yang sepenuhnya hasil kreasi CGI, bukan teknologi de-aging sebagaimana mulai menjamur belakangan ini. Pencapaian
terbaiknya adalah saat Junior (begitu versi muda Henry dipanggil) terlibat perdebatan
dengan Clay. Akting emosional Will Smith mampu tersaji sepenuhnya, tanpa berkurang
dampaknya akibat polesan digital. Tapi jelang film usai, saat Ang Lee memakai close-up di siang bolong, efeknya
mencapai titik nadir. Wajah Junior bagai karakter kartun. Ejekan Junior
mengenai wajah Henry jadi terdengar seperti self-mocking. Beruntung kekurangan itu dapat termaafkan, karena sebelumnya Gemini Man tampil memuaskan lewat banyak aksi yang memfasilitasi kharisma Smith, serta memberi kesempatan Mary Elizabeth Winstead agar tidak berakhir sebagai pemanis belaka.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Akhirnya memutuskan nonton ini,setelah baca review disini. Dan menurutku ga jelek2 amat. Untuk yang hanya sekedar having fun tanpa crita berat...film ini recommended.
Hanya saja pas adegan kuliah,efek mukanya jadi lucu hahaha.ada yg aneh.tapi beruntung film ini diperankan will smith
Posting Komentar