Tampilkan postingan dengan label Mary Elizabeth Winstead. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mary Elizabeth Winstead. Tampilkan semua postingan

REVIEW - KATE

Seorang pembunuh wanita dengan masa lalu tragis, menumpahkan darah dalam aksi balas dendam brutal nan stylish terhadap organisasi musuh, sambil melindungi bocah yang anggota keluarganya ia bunuh, sementara sang mentor/bos berusaha membujuknya agar menahan diri selaku wujud kepedulian, namun kita tahu ada rahasia yang disembunyikan. 

Begitulah garis besar alur Kate.....dan deretan judul lain yang belakangan makin sering kita temui. Tapi saya selalu memandang film bertema di atas seperti slasher. Plot formulaik setipis kertas bukan masalah, asal karakter yang berstatus "si pembantai" tampil memukau, dan punya segudang ide kreatif perihal menghabisi nyawa target. 

Mary Elizabeth Winstead memerankan Kate, penembak jitu yang selalu berhasil mengenai target. Identitas targetnya ditentukan oleh Varrick (Woody Harrelson), mentor sekaligus figur ayah, yang membesarkan Kate sejak orang tuanya meninggal. Semua berjalan mulus, sampai Kate mengutarakan niat pensiun. Dia akan berhenti setelah menyelesaikan misi terakhir, dengan Kijima (Jun Kunimura), seorang bos yakuza, sebagai target. 

Sebelum menarik picu, Kate merasa pusing. Tembakannya meleset, misi pun gagal. Rupanya ia diracuni, dan cuma punya waktu hidup 24 jam. Diduga pelakunya adalah Kijima, sebagai bentuk pembalasan karena kematian adiknya. Kate mulai mencari keberadaan si bos yakuza yang belakangan menghilang, guna melancarkan balas dendam sebelum ajal menjemput.

Ya, Kate bukan soal berpacu dengan waktu demi mencari penawar. Jagoan kita sudah menerima fakta nyawanya tak tertolong lagi, tapi tidak terima jika si pelaku lolos begitu saja. Sebuah premis badass, meski tentu saja perjalanan ini juga membawa Kate menemukan kembali hatinya, lewat pertemuan dengan Ani (Miku Martineau), keponakan Kijima. 

Jangan harap kondisi ACS (acute radiation syndrome) memberi handicap berarti. Kate berulang kali muntah, jalannya sempoyongan, tubuhnya penuh ruam, ditambah luka-luka akibat perkelahian, namun itu hanya nampak di sela-sela aksi. Sewaktu tiba waktunya menghajar musuh, Kate ibarat manusia super. "Keracunan" cuma alat yang dipakai naskah buatan Umair Aleem untuk membuka dan mengakhiri cerita. Ubah itu dengan terbunuhnya kekasih, penculikan anak, atau kematiaan anjing, dan takkan ada perbedaan. 

Kenapa Jepang? Kenapa repot-repot mengambil risiko mendapat tuduhan (konyol) akibat mengangkat soal wanita kulit putih membantai orang Asia? Saya yakin, entah Aleem atau sang sutradara, Cedric Nicolas-Troyan (The Huntsman: Winter's War), terobsesi pada budaya populer Negeri Sakura. Kate berlarian di atap sambil melewati layar raksasa yang memutar anime Tokyo Ghoul, mengendarai mobil berhiaskan lampu LED, mengunjungi kelab tempat band rock wanita tampil, merupakan beberapa contoh ekspresi obsesi tersebut. 

Hal-hal di atas menambah sentuhan gaya, walau belum cukup memberi Kate warna menonjol tersendiri (visual, desain karakter, teknik penuturan, koreografi, dll.) supaya memiliki kekhasan di antara film-film bertema serupa lainnya (Atomic Blonde, Hanna, Everly, Gunpowder Milkshake, memilikinya). Bahkan kala para yakuza mengerahkan seluruh kekuatan di klimaks, Kate tetap tak memaksimalkan potensi kegilaan yang bisa dicapainya. 

Tapi mari kembali ke pernyataan di awal tulisan. Apakah protagonis film ini memukau? Tentu saja. Mary Elisabeth Winstead tampak meyakinkan sebagai jagoan yang menolak ambruk dan mampu mengalahkan puluhan yakuza biarpun dalam kondisi sekarat. Apakah caranya menumpas musuh sadis sekaligus kreatif? Lumayan. Tentang kreativitas mungkin masih menyisakan ruang eksplorasi, namun menyaksikan Kate menumpahkan darah di tengah ruangan berwarna putih, di mana kita bisa melihat jelas segala luka dan tusukan, pun dibarengi koreografi yang tertata rapi pula tata kamera dinamis, Kate sudah pantas dinyatakan "lulus ujian", walau gagal memperoleh nilai A. 


Available on NETFLIX

BIRDS OF PREY (AND THE FANTABULOUS EMANCIPATION OF ONE HARLEY QUINN) (2020)

Menilik cara bertuturnya, Birds of Prey (and the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn) bukan film tim pahlawan super tradisional. Bukan karena narasi non-linear, pemakaian teknik breaking the fourth wall, atau eksplorasi gaya-gaya unik lain. Faktor pembedanya adalah keterlibatan Harley Quinn (Margot Robbie), karakter yang—meski sempat beberapa kali bersinggungan—sejatinya tidak termasuk anggota tim Birds of Prey. Bukankan itu sebatas alasan finansial mengingat sejak Suicide Squad empat tahun lalu, sosoknya jadi bankable?

Jelas ada unsur tersebut, tapi berbeda dengan Joker di Suicide Squad, Christina Hodson (Bumblebee) selaku penulis naskah mampu membuat keberadaan Harleen Quinzel faktor integral dalam terbentuknya Birds of Prey.  Sebagaimana judulnya, terdapat dua kisah, dengan bersatunya para jagoan wanita berkat “the fantabulous emancipation of one Harley Quinn” sebagai poros utama.

Emansipasi yang dimaksud adalah usaha move on Harley setelah putus dari Joker. Di tengah patah hatinya, Harley merasa sudah waktunya membuktikan jika ia bisa hidup tanpa diperbudak siapa pun (namanya berasal dari “Harlequin” yang merupakan karakter pelayan dari drama Eropa abad pertengahan). Kebetulan, ada wanita-wanita lain yang juga mengejar emansipasi masing-masing: Black Canary (Jurnee Smollett-Bell) si penyanyi dengan teriakan hipersonik, Renee Montoya (Rosie Perez) si detektif yang tak pernah dihargai, Huntress (Mary Elizabeth Winstead) si pembunuh misterius bersenjatakan crossbow, dan pencopet bocah bernama Cassandra Cain (Ella Jay Basco).

Singkatnya, mereka bakal bersinggungan dengan Roman Sionis alias Black Mask (Ewan McGregor) si mafia kejam sebagai benang merah. Tapi prosesnya tidak sesederhana itu, sebab Christina Hodson menerapkan alur non-linear yang membawa penonton berpindah-pindah latar waktu secara liar. Bisa mendadak mundur beberapa jam atau bahkan cuma beberapa menit. Keliaran itu pas, karena sesuai dengan kegilaan Harley, yang tingkahnya selalu dipenuhi letupan-letupan tak terduga.

Tapi bila gaya bertutur tersebut dihilangkan, nampaklah wajah asli Birds of Prey, yang di luar kecerdikannya mempermainkan formula film tim superhero sebagaimana telah disebut sebelumnya, sejatinya tidaklah spesial. Medioker, dan bakal membosankan jika dikemas linear. Di sinilah departemen lain turun tangan. Walau lemah di penceritaan, Birds of Prey tetap menghibur. Daya tariknya tidak terletak di storytelling, melainkan peristiwa-peristiwa yang mengisi cerita tersebut.

Sutradara Cathy Yan memakai visual meriah. Ledakan api dan kepulan asap warna-warni, taburan konfeti, hingga tulisan-tulisan neon yang kerap dipakai memperkenalkan karakter secara playful. Sekilas terdengar seperti Suicide Squad, namun ketika karya David Ayer itu hancur akibat ketidakjelasan tone, Birds of Prey jauh lebih konsisten, di mana komedi hitam  digunakan untuk menangani tema-tema serius cenderung kelam seperti abusive relationship, kriminalitas kejam, pembantaian, atau seksisme.

Adanya figur sentral memudahkan para pembuatnya menentukan jalur film. Dan karena figur itu adalah Harley Quinn, mereka bebas bereksplorasi, termasuk menyelipkan gimmick absurd seperti parodi video klip Diamonds Are a Girl’s Best Friend milik Marilyn Monroe. Tentunya jajaran karakter menarik yang diperankan dengan baik juga menjadi kunci. Harley dan Huntress merupakan tokoh paling menonjol. Khususnya terkait presentasi komedi, keduanya ibarat kutub berlawanan yang saling melengkapi. Kalau Harley anarkis dan penuh energi, maka Crossbow Kil.....maksud saya Huntress, diperkuat oleh gaya deadpan Mary Elizabeth Winstead. Begitulah komedi. Semakin variatif dan berlawanan karakter-karakternya, semakin efektif.

Tapi Birds of Prey memang panggungnya Margot Robbie. Pondasi karakter seperti Harley Quinn adalah “unpredictable”. Monotonitas haram hukumnya. Dan dari gestur tubuh, ekspresi, sampai cara penyampaian kalimat, bahkan hingga ke detail terkecil sekali pun, Robbie selalu dipenuhi kejutan. Harley Quinn adalah Margot Robbie. Identifikasi semacam ini merupakan pencapaian tertinggi seorang pelaku seni peran.

Kembali ke perihal “daya tarik Birds of Prey tidak terletak di storytelling, melainkan peristiwa-peristiwa yang mengisi cerita tersebut”, pengarahan adegan aksi Cathy Yan perlu diberi pujian khusus. Biarpun tanpa pahlawan super kelas dewa seperti Superman, Wonder Woman atau Aquaman, sang sutradara tetap mampu mengkreasi momen laga hard-hitting berbekal dentuman lagu-lagu rock, koreografi solid, serta elemen kekerasan secukupnya. Adegan aksi Birds of Prey ibarat pesta meriah. Bahkan kejar-kejaran klimaksnya terasa seperti sedang menonton roller disco.

Semakin meriah pesta itu sewaktu akhirnya para wanita-wanita tangguh film ini bersatu di klimaks, walau susah menghilangkan harapan untuk melihat lebih banyak kebersamaan mereka. Birds of Prey (and the Fantabulous Emancipation of One Harley Quinn) adalah tontonan jujur terkait pemenuhan ekspektasi. Judul serta materi-materi promosinya nyeleneh, demikian pula filmnya.

GEMINI MAN (2019)

Gemini Man membuat saya makin menghormati Ang Lee. Tidak banyak sutradara berstatus “auteur” menjajal blockbuster, gagal total, lalu kembali untuk kedua kali. Hulk 16 tahun lalu adalah bencana, kala Lee enggan mengalah pada hasrat membuat blockbuster kontemplatif ala arthouse. Dan di percobaan keduanya, Ang Lee berhasil. Bukan berarti ia mengorbankan ideologi. Justru ini bukti kematangan, ketika sineas mampu beradaptasi sesuai kebutuhan.

Film ini terjebak dalam development hell selama hampir 20 tahun, diawali proses di bawah naungan Walt Disney, namun berujung pembatalan akibat teknologi dianggap belum memadai. Teknologi tersebut diperlukan untuk memudakan wajah aktor, sebab di Gemini Man, ada dua Will Smith, di mana salah satunya merupakan versi sang aktor di usia 20an.

Sang aktor memerankan Henry Brogan, pembunuh bayaran yang dipekerjakan pemerintah untuk menghabisi nyawa para teroris berbahaya. Henry disebut sebagai pembunuh tanpa tanding. Bukan sebutan omong kosong, sebab ia sanggup menembak mati seseorang di dalam kereta yang sedang melacu dengan kecepatan maksimal. Tapi pilihan karir itu membuatnya kesepian, didera mimpi buruk, serta rasa bersalah telah merenggut 72 nyawa manusia. Henry memutuskan pensiun.

Tapi serupa protagonis film aksi lain, masa pensiun Henry takkan berlangsung mulus. Pemerintah mengirimkan seorang agen, Danny Zakarweski (Mary Elizabeth Winstead) guna memata-matainya. Bahkan setelah Henry mengetahui rahasia di balik misi terakhirnya, pihak pemerintah mulai memburunya. Sampai Clay Varris (Clive Owen), kepala proyek GEMINI, mengutus kloning Henry yang berusia 30 tahun lebih muda, yang selama ini diam-diam ia rawat bak anak sendiri.

Naskahnya—ditulis pertama kali oleh Darren Lemke (Shrek Forever After, Goosebumps) sebelum ditulis ulang oleh banyak nama termasuk David Benioff (Troy, X-Men Origins: Wolverine) dan Billy Ray (The Hunger Games, Captain Phillips, Overlord) , di mana ketiganya mendapatkan kredit penulisan—tampil sederhana, dibumbui drama soal kemelut batin melalui sederet obrolan antar tokoh, yang jadi sarana Ang Lee menerapkan nuansa kontemplatif khasnya.

Kali ini penempatannya tepat guna. Di tangan Ang Lee, obrolan di tengah film aksi yang biasanya sekadar obligasi, jadi mengandung bobot. Henry mengaku tak mampu menatap sosoknya di cermin, tapi ironisnya, dia malah bertatap muka dengan sosoknya sendiri secara nyata. Kalimat yang Henry lontarkan kepada versi mudanya di katakomba terdengar bak luapan katarsis. Kelemahan naskah yang juga gagal diperbaiki Ang Lee adalah soal humor, yang seperti ditulis kemudian divisualisasikan oleh orang-orang kaku. Dingin, garing. Bahkan Benedict Wong pun tak kuasa menyelamatkannya.

Walau versi HFR (High Frame Rate) urung dirilis di Indonesia, permainan visual bergaya Ang Lee dan sinematografer Dion Beebe (Chicago, Memoirs of a Geisha, Mary Poppins Returns) masih terasa, baik yang (agak) substansial seperti lanskap-lanskap cantik, hingga yang patut dipertanyakan (penggunaan fisheye beberapa detik untuk menangkap gerakan kereta). Setidaknya, kolaborasi mereka berhasil melahirkan barisan aksi seru.

Awalnya saya ragu. Perkelahian tangan kosong di paruh awal kala Gemini Man menerapkan teknik quick cuts layaknya suguhan laga medioker kebanyakan. Bahkan lebih buruk, akibat buruknya detail kontinuitas pada potongan-potongan singkat baku hantamnya, yang menciptakan disorientasi. Sampai tiba saatnya dua Will Smith beradu, dan sepeda motor pun disulap bukan saja sebagai sarana kebut-kebutan, pula senjata untuk menghajar seseorang. Klimaksnya pun sukses memaksimalkan konsep “double team”, melalui threesome memukau dibungkus pergerakan kamera dinamis, meski di beberapa titik, lemahnya CGI agak mengganggu.

Kualitas CGI Gemini Man memang inkonsisten, termasuk perihal wajah muda Will Smith, yang sepenuhnya hasil kreasi CGI, bukan teknologi de-aging sebagaimana mulai menjamur belakangan ini. Pencapaian terbaiknya adalah saat Junior (begitu versi muda Henry dipanggil) terlibat perdebatan dengan Clay. Akting emosional Will Smith mampu tersaji sepenuhnya, tanpa berkurang dampaknya akibat polesan digital. Tapi jelang film usai, saat Ang Lee memakai close-up di siang bolong, efeknya mencapai titik nadir. Wajah Junior bagai karakter kartun. Ejekan Junior mengenai wajah Henry jadi terdengar seperti self-mocking. Beruntung kekurangan itu dapat termaafkan, karena sebelumnya Gemini Man tampil memuaskan lewat banyak aksi yang memfasilitasi kharisma Smith, serta memberi kesempatan Mary Elizabeth Winstead agar tidak berakhir sebagai pemanis belaka.