ABOMINABLE (2019)
Rasyidharry
Oktober 06, 2019
Albert Tsai
,
Animated
,
Bagus
,
Chloe Bennet
,
Eddie Izzard
,
Jill Culton
,
REVIEW
,
Robert Edward Crawford
,
Rupert Gregson-Williams
,
Sarah Paulson
,
Tening Norgay Trainor
1 komentar
“Kan dia punya kekuatan. Kenapa
nggak dipake?”. Saya yakin protes semacam itu sering anda dengar (bahkan
mungkin lontarkan sendiri) saat menonton film dengan karakter pemilik kekuatan
super, yang demi memfasilitasi progres cerita, tidak digunakan secara maksimal.
Abominable, film yang telah
dikembangkan sejak 2010, berani mengambil risiko membuat rintangan yang
karakternya hadapi terlalu mudah dilalui, demi melahirkan salah satu tontonan
paling ajaib produksi DreamWorks dalam beberapa tahun terakhir.
Sang pemilik adalah seekor yeti
muda (Rupert Gregson-Williams), yang kabur dari fasilitas milik Dr. Zara (Sarah
Paulson), sebelum sempat dipamerkan ke publik atas permintaan Burnish (Eddie
Izzard), mantan penjelajah yang dicemooh akibat meyakini eksistensi yeti.
Makhluk tersebut bersembunyi di atap apartemen Yi (Chloe Bennet), gadis remaja
yang menjauh dari keluarganya selepas kematian sang ayah.
Persahabatan unik pun terjalin di
antara mereka. Yeti itu diberi nama Everest oleh Yi, mengacu pada gunung tertinggi
di dunia tempatnya tinggal. Dibantu dua tetangganya, Peng (Albert Tsai) dan Jin
(Tenzing Norgay Trainor) si pria populer, tanpa memedulikan ancaman dari
Burnish dan pasukannya, Yi nekat membantu Everest pulang dalam sebuah
perjalanan yang turut mengantarkan Yi mencari makna di balik kata “pulang”.
Ditulis sendiri oleh sang
sutradara, Jill Culton (sutradara wanita pertama pembuat animasi komputer
berbujet besar lewat Open Season), di
permukaan, mayoritas alur Abominable terasa
generik, mengikuti pola petualangan ringan kegemaran penonton anak, dengan
karakter yeti berbulu menggemaskan dengan tingkah serupa target pasar utamanya.
Tapi bila dicermati, seperti telah disinggung di atas, Culton berani
memanfaatkan kemampuan ajaib yang Everest miliki, yakni mengontrol alam.
Kelaparan di tengah hutan? Everet
bisa menumbuhkan buah berry. Terjebak di pinggir jurang? Jangan khawatir, Everest
akan menyulap sebatang dandelion jadi berukuran raksasa sebagai alat bantu
terbang. Kapalmu akan meluncur keluar dari air? Perkara mudah bagi Everest
mengubah padang bunga layaknya gulungan ombak. Hampir seluruh masalah dapat
diselesaikan dengan kekuatannya, lalu apa perlunya bahaya?
Pertama, Culton paham betul dia
sedang mengerjakan film anak. Apa yang ditampilkan Abominable sudah cukup intens bagi mereka (bocah di samping saya
berkali-kali menghela napas begitu adegan kejar-kejaran berakhir). Kedua, bagi
penonton dewasa, kesan “simplifikasi” tadi dibayar lunas dengan menjadikan
pameran kekuatan Everest sumber keindahan. Menyaksikan Yi dan kawan-kawan
berlayar menembus ombak bunga adalah pengalaman yang menggetarkan hati.
Pemandangan magis, bukti kekayaan imajinasi Culton serta Robert Edward Crawford
sang sinematografer.
Bisa ditebak, Abominable pun menyimpan subteks perihal hubungan dengan alam.
Kekuatan Everest menyimbolkan proses “menyatu dengan alam”. Dia tidak berusaha
memiliki alam, berkebalikan dengan Burnish, yang diperlihatkan oleh sebuah
momen satir menggelitik, sewaktu pria tua ini jatuh cinta pada bunga-bunga di
suatu pohon, kemudian memerintahkan anak buahnya menebang pohon itu supaya bisa
dipajang di kediamannya.
Tapi kehebatan naskah sekaligus
penyutradaraan Culton sesungguhnya terletak pada keberhasilan mengaduk-aduk
emosi. Tema keluarga tentu paling utama, namun penyampaiannya elegan, subtil
tanpa terlalu menekan luapan rasa, dan tersaji melalui beragam cara. Bisa lewat
pemilihan lagu (Fix You jadi yang
terbaik) didukung visual cantik, atau bahkan sekadar gambar sederhana tanpa
tuturan verbal (clue: foto). Guratan emosi
juga muncul dari sumber tidak terduga saat salah satu karakter mengalami
perubahan sikap, menegaskan posisi Abominable
sebagai kisah mengenai kepulangan. Pulang ke rumah, pulang menemui
keluarga, pulang kembali menuju kemanusiaan. Lights will guide you home...
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Wah, harus nonton kalo review nya bagus gini.
Btw, kalo dilihat sekilas, agak mirip dengan Totoro yah, hehe
Posting Komentar