DARK WATERS (2019)
Rasyidharry
November 29, 2019
Anne Hathaway
,
Bagus
,
Bill Camp
,
Edward Lachman
,
Mario Correa
,
Mark Ruffalo
,
Matthew Michael Carnahan
,
REVIEW
,
Thriller
,
Todd Haynes
12 komentar
Dark Waters lebih menyeramkan
dibanding horror soal iblis, monster,
atau pembunuh berantai mana pun. Dibuat berdasarkan artikel The Lawyer Who Became DuPont's Worst
Nightmare tulisan Nathaniel Rich yang dipublikasikan di The New York Times
Magazine, film ini memunculkan kengerian dari hal terdekat di keseharian kita
semua. Apa jadinya jika perabot di rumah—yang mestinya menghadirkan keamanan
serta kenyamanan—berpotensi merenggut nyawamu? Apa jadinya jika ketamakan
korporasi mengancam keselamatan 99% makhluk di muka Bumi?
Terdengar seperti premis
fiksi-ilmiah yang terwujud jadi realita memang. Semua berawal dari tahun 1998,
saat Wilbur Tennant (Bill Camp), petani dari Parkersburg, meminta bantuan
pengacara Robert Bilott (Mark Ruffalo), setelah meyakini bahwa kematian tak
wajar 190 ekor sapi-sapi ternaknya merupakan akibat pembuangan limbah berbahaya
DuPont, perusahaan kimia terbesar di dunia. Masalahnya, seperti para pengacara
dari firma Taft lain, Bilott hanya mengambil klien perusahaan-perusahaan besar.
Awalnya Bilott menolak. Selain
bukan “lahannya”, kasus tersebut berpotensi merusak karir cemerlang yang baru
dirintis. Kehancuran karir dapat berbahaya bagi kondisi finansial keluarga
Bilott, sebab sang istri, Sarah (Anne Hathaway) yang dahulu juga sempat bekerja
di Taft, kini telah menjadi ibu rumah tangga. Tapi setelah melewati beberapa
pertimbangan, ia bersedia menemui Tennant, dan di sanalah Bilott (dan penonton)
menyaksikan pemandangan horror.
Sutradara Todd Haynes (Far from Heaven, I’m Not There, Carol),
dibantu sinematografer langganannya, Edward Lachman, mengaplikasikan
gambar-gambar dengan tone warna dingin
nan kelam sebagai pondasi atmosfer, sebelum menguatkan teror lewat deretan
pemandangan “grafik”, seperti kuburan massal sapi-sapi milik Tennant yang
dibakar, hingga saat seekor sapi menggila dan mulai menyerang. Kejadian-kejadian
tersebut bak pemantik kesadaran Bilott (dan sekali lagi, penonton), bahwa
rahasia yang terkubur, mungkin jauh lebih besar dan menyeramkan dari perkiraan.
Benar saja. Semua itu rupanya
sebatas awal dari proses panjang nan berliku yang membentang selama lebih dari
satu dekade (teks penanda bergantinya tahun di sudut kiri layar membuat kita makin
merasakan betapa panjang pertempuran Robert Bilott). Mencengangkan sekaligus
mengerikan, betapa sebuah kasus lokal di suatu
desa kecil kemudian berkembang jadi fenomena global yang mengancam sebagian
besar populasi umat manusia, bahkan makhluk hidup di seluruh dunia. Dan naskah
buatan Matthew Michael Carnahan (World
War Z, Deepwater Horizon) dan Mario Correa mampu secara padat merangkum
kompleksitas proses tersebut ke dalam paparan berdurasi 126 menit.
Dibungkus sebagai legal thriller, Dark Waters banyak menampilkan istilah-istilah kimia, hukum, pula
mempunyai cukup banyak karakter, yang jelas bakal memusingkan, khususnya untuk
penonton awam. Tapi di sini, kerumitan tersebut adalah risiko yang harus
diambil, mengingat presisi serta detail investigasi wajib dimiliki. Kita
sebagai penonton yang mesti mencurahkan perhatian ekstra demi memahami.
Setidaknya, biarpun beberapa detail mungkin terlewat, garis besar sebab-akibatnya
gampan diikuti.
Dituntut bekerja
keras tiap waktu selama bertahun-tahun, wajar ketika ruang personal Billot ikut
terkena dampak. Sang pengacara mulai paranoid, bahkan khawatir sewaktu-waktu
ada bom terpasang di mobilnya. Pun konflik dengan Sarah, yang mengeluhkan
ketiadaan waktu Billot bagi buah hati mereka, serta risiko yang dapat
membahayakan keluarga, tak terelakkan. Di sinilah akting jajaran pemainnya
paling bersinar. Menyaksikan Ruffalo, kita bisa percaya jika Robert Billot
punya nurani, sesosok manusia biasa yang di satu titik bakal dihantam keyakinan
sekaligus psikisnya. Sedangkan Hathaway menjadi istri yang tak ragu mengkritisi
kesalahan Billot, namun di belakang, bersedia pasang badan membela sang suami.
Film seperti Dark Waters dibuat dengan tujuan
menelanjangi rahasia gelap, menyebarkan kebenaran, membuka mata penonton, dan
kalau bisa, mengubah situasi. Begitu filmnya usai, saya terprovokasi, khawatir,
kemudian menjadi lebih was-was dan terdorong mencari tahu lebih lanjut. Saya
berani bertaruh ada banyak penonton lain merasakan hal serupa. Artinya, Dark Waters berhasil mencapai tujuannya.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
12 komentar :
Comment Page:Daripada kesal menunggu Knives Out yang tidak tayang-tayang, sepertinya Dark Waters bisa menjadi penghibur yang pas. Makasih reviewnya 👌
Mas rasyid.. The Irishman tdk di review kah??
Knives Out sabtu besok midnight. Kemungkinan reguler 2 minggu lagi, seminggu setelah Jumanji
Soon....semoga
film paling "berhasil" 2019
Tayang dimana ya kalau boleh tau
Wah ga pernah midnight sendirian 😅 Fix nonton Dark Waters dulu kalo gitu
Pengen nonton tapi cuma diputer di 1 bioskop CGV yg jauh bingit, sebel
Mark Ruffalo memang cocok untuk peran detektif, seperti film sebelumnya Shuter Island & Spotlight peformanya on fire
Jenis film yang abis lo tonton, pandangan lo terhadap suatu obyek akan sama sekali berbeda.
Cocok lah peran ini buat Rufallo ya, secara dia adalah aktivis lingkungan hidup... #OOT
Teplon bangsat!!!
Posting Komentar