THE GOOD LIAR (2019)
Rasyidharry
November 28, 2019
Bill Condon
,
Carter Burwell
,
Crime
,
Helen Mirren
,
Ian McKellen
,
Jeffrey Hatcher
,
Jim Carter
,
Kurang
,
REVIEW
,
Russell Tovey
,
Thriller
Tidak ada komentar
Helen Mirren (74
tahun) dan Ian McKellen (80 tahun) sama-sama legenda yang telah berkarir di industri
perfilman selama lebih dari setengah abad. Beragam jenis film dengan kualitas bervariasi pernah dicicipi, tapi baru sekarang mereka berkolaborasi. Andai saja peristiwa monumental itu
tidak terjadi dalam The Good Liar. Sebab
kini sejarah akan mencatat bahwa dua pelakon legendaris asal Inggris ini
pertama kali berjumpa di layar lewat thriller
yang tak punya cukup daya memancing ketegangan dan terasa jauh lebih tak
bertenaga, lebih tua ketimbang keduanya.
Mengadaptasi novel
berjudul sama karya Nicholas Searle, filmnya bersentral pada aksi Roy Courtnay
(Ian McKellen), yang bersama partnernya, Vincent (Jim Carter), kerap melakukan
penipuan berkedok investasi. Selain itu, Roy juga kerap menipu wanita-wanita
yang ia temui melalui aplikasi kencan online.
Target terbarunya adalah Betty McLeish (Helen Mirren), yang setahun lalu
ditinggal mati sang suami.
Tapi sedari adegan
pembuka pun kita tahu Betty tidak jujur. Dia berbohong soal kebiasaan minum
alkohol, juga namanya, sebagaimana Roy yang awalnya memakai nama palsu juga
menyembunyikan kegemarannya merokok. Toh The
Good Liar terus berusaha meyakinkan penonton, betapa pensiunan dosen Oxford
ini merupakan wanita polos nan baik hati yang bersedia mengajak pria yang baru
ia kenal tinggal bersama, meski Steven (Russell Tovey), cucunya, bersikeras
menentang.
Melibatkan penulis
naskah Jeffrey Hatcher yang sebelumnya menulis Stage Beauty (2004), The
Duchess (2008), dan Mr. Holmes (2015),
tak mengherankan saat filmnya menyisakan aroma period drama dengan nuansa berkelas, sophisticated, yang langsung nampak sejak obrolan di tatap muka
perdana Roy dan Betty. Apalagi ditambah pengadeganan dari sutradara Bill Condon
(Dreamgirls, The Twilight Saga: Breaking
Dawn – Part 1 & 2, Beauty and the Beast) yang membuat filmnya bak
seorang aristokrat penuh tata krama.
Gaya di atas bisa
jadi keunikan tersendiri. Alfred Hitchcock gemar membangun kesan serupa,
sebelum pelan-pelan menyiratkan bahwa di balik kesopanan “sang aristokrat”, ada
bayangan kelam senantiasa mengintai. The
Good Liar tidak punya bayangan itu. Alurnya menampilkan praktek tipu-menipu
familiar yang dijabarkan begitu saja, tanpa ada tanda tanya besar menghantui
benak penonton, kecuali sesosok pria pengendara mobil abu-abu yang sesekali menyatroni
rumah Betty. Tapi elemen tersebut hanya pemanis sekilas, yang tak mampu
memancing antusiasme maupun intensitas.
Serupa scoring gubahan komposer langganan Coen
Brothers, Carter Burwell, The Good Liar bergerak
bagai gelaran waltz. Sebuah waltz yang berkat pengalaman Condon bercerita,
tampil elegan dan rapi, namun monoton, minim hentakan, walau di penghujung
durasi sempat melemparkan twist.
Bukan suatu twist yang menyoroti “apa”
(poin ini sudah bisa ditebak sejak dini), namun soal “mengapa” dan “bagaimana”.
Sayangnya, kejutan
itu dibangun dengan cara mencurangi penonton, melalui lemparan fakta yang
muncul tiba-tiba (beberapa petunjuk yang ditebarkan terlalu samar), pun semakin
semakin dipaparkan, twist tersebut
semakin menegaskan jika film ini tidak sepintar dan seelegan itu. Kebodohan The Good Liar sesungguhnya sudah nampak
sejak kita diperlihatkan modus operandi investasi palsu Roy yang terlalu banyak
menyimpan kecacatan dan risiko yang semestinya tak dilakukan oleh seseorang
dengan pengalaman puluhan tahun sepertinya.
The Good Liar ingin menggiring
penonton berpikir kalau seiring waktu, Roy mulai bersimpati, atau malah jatuh
cinta pada Betty. Tapi alurnya kurang fokus, terlalu sering keluar jalur untuk
memaparkan subplot terkait aksi penipuan lain Roy, sehingga tidak cukup punya
waktu menggambarkan dilema batin karakternya. Padahal lewat elemen itu, The Good Liar berpotensi menawarkan
lebih dari sekadar thriller, pula
drama humanis solid yang disokong performa apik dua penampil seniornya.
McKellen memerankan
dua sisi Roy: pria tua menawan yang ringkih dengan lutut bermasalah dan seorang
penipu licik penuh semangat. Sisi kedua
Roy lah yang memancing kekaguman saya. Di usia menginjak delapan dekade,
McKellen masih begitu bertenaga, bagai 20 tahun lebih muda. Sementara Mirren
tidak kalah playful, sebagai wanita
lanjut usia pencari hubungan platonik, yang dari luar nampak lemah dan naif,
namun sesungguhnya menyembunyikan
kekuatan untuk meruntuhkan misogini.....sayangnya tidak dalam film yang tepat.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar