Tampilkan postingan dengan label Todd Haynes. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Todd Haynes. Tampilkan semua postingan
DARK WATERS (2019)
Rasyidharry
Dark Waters lebih menyeramkan
dibanding horror soal iblis, monster,
atau pembunuh berantai mana pun. Dibuat berdasarkan artikel The Lawyer Who Became DuPont's Worst
Nightmare tulisan Nathaniel Rich yang dipublikasikan di The New York Times
Magazine, film ini memunculkan kengerian dari hal terdekat di keseharian kita
semua. Apa jadinya jika perabot di rumah—yang mestinya menghadirkan keamanan
serta kenyamanan—berpotensi merenggut nyawamu? Apa jadinya jika ketamakan
korporasi mengancam keselamatan 99% makhluk di muka Bumi?
Terdengar seperti premis
fiksi-ilmiah yang terwujud jadi realita memang. Semua berawal dari tahun 1998,
saat Wilbur Tennant (Bill Camp), petani dari Parkersburg, meminta bantuan
pengacara Robert Bilott (Mark Ruffalo), setelah meyakini bahwa kematian tak
wajar 190 ekor sapi-sapi ternaknya merupakan akibat pembuangan limbah berbahaya
DuPont, perusahaan kimia terbesar di dunia. Masalahnya, seperti para pengacara
dari firma Taft lain, Bilott hanya mengambil klien perusahaan-perusahaan besar.
Awalnya Bilott menolak. Selain
bukan “lahannya”, kasus tersebut berpotensi merusak karir cemerlang yang baru
dirintis. Kehancuran karir dapat berbahaya bagi kondisi finansial keluarga
Bilott, sebab sang istri, Sarah (Anne Hathaway) yang dahulu juga sempat bekerja
di Taft, kini telah menjadi ibu rumah tangga. Tapi setelah melewati beberapa
pertimbangan, ia bersedia menemui Tennant, dan di sanalah Bilott (dan penonton)
menyaksikan pemandangan horror.
Sutradara Todd Haynes (Far from Heaven, I’m Not There, Carol),
dibantu sinematografer langganannya, Edward Lachman, mengaplikasikan
gambar-gambar dengan tone warna dingin
nan kelam sebagai pondasi atmosfer, sebelum menguatkan teror lewat deretan
pemandangan “grafik”, seperti kuburan massal sapi-sapi milik Tennant yang
dibakar, hingga saat seekor sapi menggila dan mulai menyerang. Kejadian-kejadian
tersebut bak pemantik kesadaran Bilott (dan sekali lagi, penonton), bahwa
rahasia yang terkubur, mungkin jauh lebih besar dan menyeramkan dari perkiraan.
Benar saja. Semua itu rupanya
sebatas awal dari proses panjang nan berliku yang membentang selama lebih dari
satu dekade (teks penanda bergantinya tahun di sudut kiri layar membuat kita makin
merasakan betapa panjang pertempuran Robert Bilott). Mencengangkan sekaligus
mengerikan, betapa sebuah kasus lokal di suatu
desa kecil kemudian berkembang jadi fenomena global yang mengancam sebagian
besar populasi umat manusia, bahkan makhluk hidup di seluruh dunia. Dan naskah
buatan Matthew Michael Carnahan (World
War Z, Deepwater Horizon) dan Mario Correa mampu secara padat merangkum
kompleksitas proses tersebut ke dalam paparan berdurasi 126 menit.
Dibungkus sebagai legal thriller, Dark Waters banyak menampilkan istilah-istilah kimia, hukum, pula
mempunyai cukup banyak karakter, yang jelas bakal memusingkan, khususnya untuk
penonton awam. Tapi di sini, kerumitan tersebut adalah risiko yang harus
diambil, mengingat presisi serta detail investigasi wajib dimiliki. Kita
sebagai penonton yang mesti mencurahkan perhatian ekstra demi memahami.
Setidaknya, biarpun beberapa detail mungkin terlewat, garis besar sebab-akibatnya
gampan diikuti.
Dituntut bekerja
keras tiap waktu selama bertahun-tahun, wajar ketika ruang personal Billot ikut
terkena dampak. Sang pengacara mulai paranoid, bahkan khawatir sewaktu-waktu
ada bom terpasang di mobilnya. Pun konflik dengan Sarah, yang mengeluhkan
ketiadaan waktu Billot bagi buah hati mereka, serta risiko yang dapat
membahayakan keluarga, tak terelakkan. Di sinilah akting jajaran pemainnya
paling bersinar. Menyaksikan Ruffalo, kita bisa percaya jika Robert Billot
punya nurani, sesosok manusia biasa yang di satu titik bakal dihantam keyakinan
sekaligus psikisnya. Sedangkan Hathaway menjadi istri yang tak ragu mengkritisi
kesalahan Billot, namun di belakang, bersedia pasang badan membela sang suami.
Film seperti Dark Waters dibuat dengan tujuan
menelanjangi rahasia gelap, menyebarkan kebenaran, membuka mata penonton, dan
kalau bisa, mengubah situasi. Begitu filmnya usai, saya terprovokasi, khawatir,
kemudian menjadi lebih was-was dan terdorong mencari tahu lebih lanjut. Saya
berani bertaruh ada banyak penonton lain merasakan hal serupa. Artinya, Dark Waters berhasil mencapai tujuannya.
November 29, 2019
Anne Hathaway
,
Bagus
,
Bill Camp
,
Edward Lachman
,
Mario Correa
,
Mark Ruffalo
,
Matthew Michael Carnahan
,
REVIEW
,
Thriller
,
Todd Haynes
WONDERSTRUCK (2017)
Rasyidharry
Metode non-linier yang melompat seketika dari satu titik ke titik lain
secara bergantian lebih efektik sekaligus mudah dinikmati dalam medium tulisan.
Pada novel misalnya, pace cerita
tergantung masing-masing pembaca. Terdapat kebebasan mempercepat atau
memperlambat tempo, berhenti sejenak, atau bahkan mengulang untuk mencerna
kisahnya. Sebaliknya, film memaksa penonton mengikuti sutradara. Resiko
membesar bila membicarakan drama yang bertujuan merenggut perasaan.
Meleset sedikit saja, peluang menggaet hati bisa hilang. Hal ini
dialami Wonderstruck.
Ada dua setting waktu: 1927 dan 1977. Tahun 1927
berkisah tentang Rose (Millicent Simmonds), gadis tuna rungu yang kabur dari
“tangan besi” ayahnya demi mencari idolanya, Lillian Mayhew (Julianne Moore),
aktris yang karirnya memudar seiring transisi film bisu ke film suara. Sebagai
penyesuaian, periode ini pun dikemas bak film bisu. Todd Haynes (Far from Heaven, Carol) selaku sutradara
menghadirkan harmoni efek suara dengan visual yang menarik, mengutamakan kesan
artistik ketimbang otentik.
Sedangkan
tahun 1977 memiliki Ben (Oakes Fegley) sebagai tokoh sentral dibalut sinematografi Edward Lachman yang mencerminkan nuansa warna film 70-an ber-setting urban. Pasca kecelakaan
yang merenggut pendengarannya, Ben nekat kabur dari rumah sakit untuk mencari
sang ayah, setelah selama ini, mendiang ibunya, Elaine (Michelle Williams)
menolak bercerita tentangnya. Rose dan Ben sama-sama tuna rungu, kabur dari rumah dengan tujuan mencari sosok tercinta yang
berjarak, serta beragam kesamaan lain termasuk tempat yang disinggahi di tengah
perjalanan. Takdir penuh keajaiban (baca: kebetulan) mengaitkan hidup kedua
bocah tersebut.
Butuh waktu
sebelum benar-benar mampu dihanyutkan oleh alurnya. Bukan sepenuhnya kesalahan
Haynes. Kelemahan justru condong ke arah skenario buatan Brian Selznick, yang
juga penulis novel sumber adaptasinya. Selznick mentah-mentah memindahkan gaya
tutur novel ke naskah, memunculkan transisi kasar antara dua periode. Sebelum
benar-benar terikat oleh salah satu kisah, Wonderstruck sudah berlari menuju kisah lain, begitu seterusnya. Sulit berkonsentrasi pada salah satu. Alirannya baru lancar seiring
makin jelasnya paralel dua cerita.
Haynes
menyebut Wonderstruck sebagai misteri klasik
di mana “mengapa” serta “bagaimana” dua kisah saling bertautan jadi daya tarik.
Tapi misterinya sendiri kurang mengikat di paruh awal. Filmnya kekurangan
alasan kenapa kita perlu peduli dan mau mencari tahu jawabannya. Suratan
takdir dua karakter yang terpisah 50 tahun ini tampak bersinggungan. Yeah, so? Itu saja belum cukup membuat misterinya menghanyutkan. Barulah
memasuki third act, saat jalinan teka-tekinya menampakkan wajah aslinya, intensitas meningkat. Walau akhirnya antisipasi
tinggi yang dibangun tak sebanding dengan jawaban yang ditawarkan, beberapa
kejutan hadir mengisi ulang energi Wonderstruck.
Penampilan Millicent Simmonds dan Oakes Fegley cukup solid namun keduanya
belum mampu memanggul beban sendirian. Cengkeraman emosi terkuat selalu terjadi saat Simmons
dan Fegley berbagi layar dengan orang lain, entah Julianne Moore yang matanya
seolah mampu mengungkapkan jutaan kata maupun Michelle Williams yang walau
muncul sekilas tetap memperhatikan detail ekspresi dalam berakting. Andai filmnya lebih mengikat di setengah
awal perjalanan, babak pamungkas berisi claymation dalam miniatur luar biasa New York bakal dengan mudah
memancing kucuran air mata.
Januari 27, 2018
Cukup
,
Drama
,
Edward Lachman
,
Julianne Moore
,
Michelle Williams
,
Oakes Felgey
,
REVIEW
,
Todd Haynes
Langganan:
Postingan
(
Atom
)