Tampilkan postingan dengan label Mark Ruffalo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mark Ruffalo. Tampilkan semua postingan

REVIEW - THE ADAM PROJECT

Mungkin karir penyutradaraan Shawn Levy adalah salah satu yang paling underrated. Namanya jarang dielu-elukan. Padahal sebelum The Adam Project, total ia menyutradarai 13 judul, dan hampir semuanya meraup untung, dengan sembilan di antaranya menembus angka 100 juta dollar. Ada kata "hampir", karena data terkait debutnya, Just in Time (1997) sulit ditemukan, termasuk apakah film ini dirilis di bioskop atau langsung ke DVD. 

Dia bukan Spielberg, Nolan, atau Cameron, yang bisa mendatangkan penonton hanya bermodalkan nama. Sebuah pertanda kalau Levy paham keinginan penonton luas. Di luar trilogi Night at the Museum, beberapa waktu terakhir Levy mulai melebarkan sayap dari komedi berskala kecil ke blockbuster seperti Real Steel (2011) dan Free Guy (2021). Pemahaman Levy nampak betul di kedua film tersebut. Pemahaman bahwa penonton menggandrungi "paket lengkap", yang dapat menghadirkan keseruan, tawa, pula air mata. 

The Adam Project berjalan di trek serupa. Sebuah fiksi ilmiah dengan elemen perjalanan waktu sebagai media menuturkan drama keluarga. Adam (Walker Scobell) adalah bocah 12 tahun yang jadi korban bully di sekolah, sedangkan di rumah, hubungannya dengan sang ibu, Ellie (Jennifer Garner), kurang baik. Adam kesulitan beradaptasi selepas ayahnya, Louis (Mark Ruffalo), meninggal dunia.

Sampai terjadilah pertemuan antara Adam dengan dirinya dari tahun 2050 (Ryan Reynolds), yang mencari kebenaran terkait istrinya, Laura (Zoe Saldana), yang dikabarkan tewas saat menjalankan misi di tahun 2018. Naskah buatan Jonathan Tropper berdasarkan draft awal hasil tulisan T.S. Nowlin, Jennifer Flackett, dan Mark Levin, muncul dengan aturannya soal paradoks perjalanan waktu melalui gagasan bernama "fixed time", yang bertujuan menyederhanakan. Lebih tepatnya, naskahnya berkata, "Jangan terlalu dipikirkan, bukan itu poin utama filmnya".

Memang benar. Elemen perjalanan waktu hanya alat untuk memfasilitasi pemakaian teknologi canggih dalam adegan aksi walau berlatar masa kini, juga menyampaikan kisah mengenai penyesalan seorang anak. Kalimat "Boys always come back to their mamas" yang diucapkan Adam dewasa jadi kunci. 

Adam kecil kerap mengeluarkan kalimat-kalimat ketus yang menyakiti hati ibunya. Tapi karena Ellie berusaha tegar, rasa sakit itu tak pernah muncul ke permukaan. Adam kecil tentu belum menyadarinya, namun lain halnya dengan Adam dewasa. Lalu di suatu bar, dalam momen paling menyentuh filmnya, tercipta interaksi intim antara Ellie dengan puteranya dari masa depan, yang mungkin mewakili kegundahan, juga penyesalan banyak penonton. 

Momen di atas memberi makna lebih bagi perjalanan waktunya. Rasanya konsep perjalanan waktu begitu diharapkan bisa terjadi di dunia nyata, karena kita, manusia, dapat memperbaiki masa lalu. Tidak melulu soal hal-hal besar. Bisa juga tindakan sederhana seperti ungkapan cinta kasih yang dahulu amat sulit terucap hingga melahirkan penyesalan.

Interaksi ibu-anak itu berhasil, salah satunya berkat akting Reynolds. Dia dan Levy ibarat pasangan sempurna. Serupa sang sutradara, Reynolds pun merupakan "paket lengkap". Comic timing Reynolds memaksimalkan materi humor naskahnya, sosoknya meyakinkan sebagai action hero, dan paling penting, akting dramatiknya mampu menjembatani ikatan emosi penonton dengan film. Kapasitas terbesar Reynolds adalah, walau memiliki fisik ala megabintang Hollywood (wajah tampan, badan kekar), ia terasa dekat (setidaknya terkesan demikian). Karismanya mampu membuat penonton berujar, "I can see me in him". 

Hebatnya, Scobell si aktor cilik sukses mengimbangi seniornya. Celotehan-celotehan tajam sekaligus pintar, keseimbangannya menangani drama dan komedi, menjadikan Scobell tandem sepadan, sekaligus versi muda yang meyakinkan bagi Reynolds.

Aksinya pun memuaskan berkat pengarahan Levy yang sarat kreativitas, juga ketepatan dalam memilih shot. Sekuen aksi di tengah hutan, yang turut jadi perkenalan kita dengan Laura, adalah contoh terbaik. Bahkan sewaktu penceritaan The Adam Project cenderung generik dan klise pasca melewati babak kedua pun, gelaran aksi Levy sukses menjaga filmnya tetap menghibur. Sekali lagi, kombinasi "duo paket lengkap" Levy dan Reynolds terbukti ampuh menghantarkan winning formula. Tidak heran keduanya kembali berkolaborasi di film ketiga Deadpool. 

(Netflix)

DARK WATERS (2019)

Dark Waters lebih menyeramkan dibanding horror soal iblis, monster, atau pembunuh berantai mana pun. Dibuat berdasarkan artikel The Lawyer Who Became DuPont's Worst Nightmare tulisan Nathaniel Rich yang dipublikasikan di The New York Times Magazine, film ini memunculkan kengerian dari hal terdekat di keseharian kita semua. Apa jadinya jika perabot di rumah—yang mestinya menghadirkan keamanan serta kenyamanan—berpotensi merenggut nyawamu? Apa jadinya jika ketamakan korporasi mengancam keselamatan 99% makhluk di muka Bumi?

Terdengar seperti premis fiksi-ilmiah yang terwujud jadi realita memang. Semua berawal dari tahun 1998, saat Wilbur Tennant (Bill Camp), petani dari Parkersburg, meminta bantuan pengacara Robert Bilott (Mark Ruffalo), setelah meyakini bahwa kematian tak wajar 190 ekor sapi-sapi ternaknya merupakan akibat pembuangan limbah berbahaya DuPont, perusahaan kimia terbesar di dunia. Masalahnya, seperti para pengacara dari firma Taft lain, Bilott hanya mengambil klien perusahaan-perusahaan besar.

Awalnya Bilott menolak. Selain bukan “lahannya”, kasus tersebut berpotensi merusak karir cemerlang yang baru dirintis. Kehancuran karir dapat berbahaya bagi kondisi finansial keluarga Bilott, sebab sang istri, Sarah (Anne Hathaway) yang dahulu juga sempat bekerja di Taft, kini telah menjadi ibu rumah tangga. Tapi setelah melewati beberapa pertimbangan, ia bersedia menemui Tennant, dan di sanalah Bilott (dan penonton) menyaksikan pemandangan horror.  

Sutradara Todd Haynes (Far from Heaven, I’m Not There, Carol), dibantu sinematografer langganannya, Edward Lachman, mengaplikasikan gambar-gambar dengan tone warna dingin nan kelam sebagai pondasi atmosfer, sebelum menguatkan teror lewat deretan pemandangan “grafik”, seperti kuburan massal sapi-sapi milik Tennant yang dibakar, hingga saat seekor sapi menggila dan mulai menyerang. Kejadian-kejadian tersebut bak pemantik kesadaran Bilott (dan sekali lagi, penonton), bahwa rahasia yang terkubur, mungkin jauh lebih besar dan menyeramkan dari perkiraan.

Benar saja. Semua itu rupanya sebatas awal dari proses panjang nan berliku yang membentang selama lebih dari satu dekade (teks penanda bergantinya tahun di sudut kiri layar membuat kita makin merasakan betapa panjang pertempuran Robert Bilott). Mencengangkan sekaligus mengerikan, betapa sebuah kasus lokal di suatu desa kecil kemudian berkembang jadi fenomena global yang mengancam sebagian besar populasi umat manusia, bahkan makhluk hidup di seluruh dunia. Dan naskah buatan Matthew Michael Carnahan (World War Z, Deepwater Horizon) dan Mario Correa mampu secara padat merangkum kompleksitas proses tersebut ke dalam paparan berdurasi 126 menit.

Dibungkus sebagai legal thriller, Dark Waters banyak menampilkan istilah-istilah kimia, hukum, pula mempunyai cukup banyak karakter, yang jelas bakal memusingkan, khususnya untuk penonton awam. Tapi di sini, kerumitan tersebut adalah risiko yang harus diambil, mengingat presisi serta detail investigasi wajib dimiliki. Kita sebagai penonton yang mesti mencurahkan perhatian ekstra demi memahami. Setidaknya, biarpun beberapa detail mungkin terlewat, garis besar sebab-akibatnya gampan diikuti.

Dituntut bekerja keras tiap waktu selama bertahun-tahun, wajar ketika ruang personal Billot ikut terkena dampak. Sang pengacara mulai paranoid, bahkan khawatir sewaktu-waktu ada bom terpasang di mobilnya. Pun konflik dengan Sarah, yang mengeluhkan ketiadaan waktu Billot bagi buah hati mereka, serta risiko yang dapat membahayakan keluarga, tak terelakkan. Di sinilah akting jajaran pemainnya paling bersinar. Menyaksikan Ruffalo, kita bisa percaya jika Robert Billot punya nurani, sesosok manusia biasa yang di satu titik bakal dihantam keyakinan sekaligus psikisnya. Sedangkan Hathaway menjadi istri yang tak ragu mengkritisi kesalahan Billot, namun di belakang, bersedia pasang badan membela sang suami.

Film seperti Dark Waters dibuat dengan tujuan menelanjangi rahasia gelap, menyebarkan kebenaran, membuka mata penonton, dan kalau bisa, mengubah situasi. Begitu filmnya usai, saya terprovokasi, khawatir, kemudian menjadi lebih was-was dan terdorong mencari tahu lebih lanjut. Saya berani bertaruh ada banyak penonton lain merasakan hal serupa. Artinya, Dark Waters berhasil mencapai tujuannya.

AVENGERS: ENDGAME (2019)

(JANGAN MEMBUKA KOLOM KOMENTAR KALAU BELUM MENONTON. 
IT'S A WILD JUNGLE FULL OF SPOILERS THERE!)
Merasa Infinity War merupakan keberhasilan mengeksekusi kemustahilan? Tunggu sampai anda menyaksikan sekuelnya. Marvel Cinematic Universe (MCU) adalah soal kesabaran dalam perencanaan. Total 21 film selama hampir 11 tahun dihabiskan demi membangun kisah, yang dibayar lunas lewat kulminasi epik bernama Avengers: Endgame. Hampir seluruh guratan emosi maupun pertarungan masif miliknya, berpijak pada pondasi yang disusun sekian lama. Begitu film usai (kali ini tanpa post-credits scene) wajar saat penonton bertepuk tangan melihat jajaran kredit, khususnya enam anggota “asli” Avengers.

Karena seperti telah dikonfirmasi, salah satu tujuan Endgame adalah memberi penghormatan bagi perjalanan yang telah dilalui Tony Stark (Robert Downey Jr.), Steve Rogers (Chris Evans), Thor (Chris Hemsworth), Bruce Banner (Mark Ruffalo), Natasha Romanoff (Scarlett Johansson), dan Clint Barton (Jeremy Renner). Saya takkan membocorkan sedikit pun poin plot, kecuali bahwa bersama nama-nama lain yang tidak menjadi debu, mereka berusaha memulihkan akibat perbuatan Thanos (Josh Brolin).

Melanjutkan atmosfer konklusi Infinity War, film ini dibuka dengan melankoli. Bahkan dibanding judul keluaran Marvel Studios lain, selama 181 menit durasinya, Endgame punya proporsi drama terbesar, tatkala duo penulis naskah, Christopher Markus dan Stephen McFeely (The Winter Soldier, Civil War, Infinity War), memilih banyak menggulirkan studi karakter, khususnya proses coping jagoan-jagoan kita pasca tragedi jentikkan jari Thanos. Beberapa menolak menyerah, beberapa tenggelam dalam amarah, ada pula yang coba meneruskan langkah.

Hal di atas bukan sebatas pernak-pernik. Di sinilah penanaman benih selama satu dekade menuai hasil. Kita mengenal karakternya, terikat pada mereka, sehingga memahami keputusan serta respon emosional yang muncul. Berkatnya, paparan dramatik Endgame pun menyentuh ranah detail, di mana tiap gestur, ekspresi, juga baris kalimat pendek, menyimpan makna kaya rasa, yang seringkali merujuk pada peristiwa film-film sebelumnya. Dan semuanya mustahil diraih tanpa kegemilangan jajaran pemain.

Chris Evans, Scarlett Johansson, Jeremy Renner, Mark Ruffalo, hingga Karen Gillan membuktikan diri telah melebur dengan sosok peranan masing-masing, sementara kepiawaian memadukan talenta komedi dan dramatik dipamerkan oleh Chris Hemsworth dan Paul Rudd (that “running scene” is really heartbreaking). Tapi bintang utamanya tetap sang maskot: Robert Downey Jr. Melalui performa yang layak diganjar nominasi Oscar, secara meyakinkan ia tunjukkan konflik batin seorang pahlawan yang dihantui kegagalan dan kehilangan. Apabila Infinity War menggiring Tony menuju tantangan fisik dalam pertarungan satu lawan satu menghadapi Thanos, maka Endgame memberinya ujian psikis terberat.

Ini memang cerita di mana status “pahlawan” para jagoannya diuji, kala pengorbanan mesti dilakukan dan egoisme bukan pilihan. Ketimbang melawan Thanos, Endgame cenderung menonjolkan pertarungan Avengers melawan musuh lain: diri mereka sendiri. Terdengar kelam, namun tak pernah depresif, mengingat jalinan humor tetap dapat ditemukan, yang penempatannya memperhatikan presisi, sehingga alih-alih mendistraksi, kita justru bakal dibuat tertawa sembari meneteskan air mata atau terpaku dalam cengkeraman ketegangan. Menyenangkan pula menyaksikan tokoh-tokoh yang baru bertemu seperti Nebula (Karen Gillan), Rhodey (Don Cheadle) dan Scott Lang (Paul Rudd) saling bertukar interaksi kasual.

Di samping deretan drama humanis, spektakel utama Endgame tetaplah soal mencari jalan “membatalkan” perbuatan Thanos. Beragam teori membanjiri internet. Beberapa jadi kenyataan, namun banyak kejutan masih tersimpan rapat. Akan sulit mempersiapkan hati menyaksikan kecerdikan Markus dan McFeely menyulap petualangan Avengers menjadi penghormatan bagi mereka, dengan membawa kita mengunjungi kumpulan momen (plus sosok) familiar, sementara karakternya coba berdamai dengan permasalahan silam yang belum usai.

Puncaknya adalah pertempuran epik yang menebus perencanaan jangka panjang Marvel Studios. Semua shared universe, tidak peduli dalam media apa pun, bermimpi mencapai titik ini. Russo Bersaudara mengangkangi pencapaian di Infinity War lewat kesuksesan memproduksi salah satu set piece terbesar dan tergila penuh momen fan service, yang berkat tangkapan kamera sang sinematografer langganan, Trent Opaloch, banyak menampilkan heroic money shot. Alhasil, tiap individu memperoleh kesempatan bersinar meski hanya sejenak, termasuk jajaran jagoan wanita. Walau mengharapkan porsi lebih bagi Captain Marvel (Brie Larson), saya bisa memaklumi mengingat Endgame mengutamakan pemberian spotlight untuk keenam anggota asli Avengers.

Belum cukup mendengar pujian? Tunggu sampai anda mendapati keberhasilan Endgame memberi konklusi yang pantas terhadap seluruh konflik personal menahun yang karakternya hadapi, sembari tak lupa menebar petunjuk terkait masa depan. Mungkin anda tak menganggap Avengers: Endgame sempurna, namun jika pulang tanpa merasakan kepuasan, mungkin film blockbuster memang bukan untuk anda.

THOR: RAGNAROK (2017)

Plot-wise, Thor: Ragnarok punya cerita tipis. Ini bukan intrik politik layaknya The Winter Soldier, bukan drama transformasi karakter serupa Iron Man, bukan pula shakesperian soal perebutan tahta kerajaan macam Thor pertama meski hal itu memegang peranan penting dalam konflik utama. Ragnarok adalah komedi yang bersembunyi di balik spectacle seharga $180 juta. Kelompok oposisi MCU akan senang hati mencaci bersenjatakan pernyataan "tiada kesan mengancam di filmnya". Karena di Ragnarok yang sejatinya mengandung kisah kelam, canda tawa selalu dikedepankan.

Kali ini Thor (Chris Hemsworth) mesti menghentikan Ragnarok, yakni "akhir segalanya", serta menghadapi Hela (Cate Blanchett), Dewi Kematian yang berusaha merebut tahta Asgard. Tentu perjalanan sang Dewa Petir tak mudah. Selain Mjolnir-nya dihancurkan oleh Hela, dia juga terdampar di Planet Sakaar yang dikuasai The Grandmaster (Jeff Goldblum), dan terpaksa mengikuti kontes ala Gladiator melawan Hulk (Mark Ruffalo). Lagi-lagi tipu daya Loki (Tom Hiddleston) pun ikut menghalangi. Di antaranya, sutradara Taika Waititi masih sempat menghadirkan adegan Thor melihat penis Hulk sampai istilah "devil's anus" bagi suatu portal antar dimensi.
Fakta bahwa Thor: Ragnarok setia bercanda walau diisi hancurnya senjata si jagoan, tokoh Dewi Kematian yang melakukan pembantaian, dan kiamat, justru membuatnya spesial. Perlu disadari, dunia tempat kita tinggal sekarang tak lagi asing dengan semua itu, dan Waititi bersama Eric Pearson selaku penulis naskah seolah menyediakan penonton tempat berlindung berupa dunia fantasi di mana sederet masalah tadi bisa diselesaikan, bahkan ditertawakan. Meski sulit disangkal keputusan tersebut melucuti bobot Hela, sebatas menjadikannya villain menghibur berkat pesona Blanchett daripada sosok penebar ancaman dahsyat.

Komedinya memang pantas jadi menu utama. Alasan mengapa alumni sinema independen macam Waititi maupun James Gunn cocok menahkodai film Marvel tak lain kreativitas mereka melontarkan lelucon. Di tangan Waititi, nyaris segala situasi dan karakter punya kebodohan, tak terkecuali wanita setangguh Valkyrie (disokong penampilan gemilang Tessa Thompson) yang kegemaran mabuknya kerap menghasilkan tingkah jenaka. Sisanya adalah gelaran slapstick tepat waktu sampai anomali berupa sifat kekanakan Hulk, atau Korg (diperankan Waititi sendiri) dengan tubuh besar nan kokoh dari batu tetapi baik hati pula bersuara "lembut". Beberapa cameo pun dimanfaatkan sebaik mungkin, mulai Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) yang ilmu sihirnya merepotkan Thor dan Loki, hingga sosok kejutan pada suatu drama panggung di Asgard.
Chris Hemsworth yang selama ini bagai terkekang, terkubur daya tarik Loki di dua film pertama kini terfasilitasi potensi komikalnya. Hemsworth akhirnya bersinar di filmnya sendiri, menghadirkan Thor yang di satu waktu perkasa menghantam ratusan anak buah Surtur, tapi di kesempatan lain memancing tawa saat memohon-mohon supaya rambutnya tak dipangkas. Hebatnya, Thor tidak berakhir sebagai produsen tawa saja, sebab Ragnarok sukses melakukan hal penting yang gagal dicapai pendahulunya termasuk dua installment Avengers, yaitu mematenkan Thor sebagai "Dewa Petir" alih-alih "Dewa Martil". Sesuai hakikat babak pamungkas sebuah trilogi, Ragnarok menyempurnakan perjalanan protagonisnya.

Terdapat kekhawatiran Ragnarok berusaha terlampau keras meniru Guardians of the Galaxy. Benar warna mencolok tampil dominan namun penggunaannya berbeda. Dibantu sinematografi Javier Aguirresarobe, warna vibrant plus tata artistik out-of-this-world Waititi pakai demi mengolah nuansa fantasi bercampur sci-fi 80-an ala Flash Gordon di mana pemandangan naga terbang di langit jingga (dan ungu) jadi hal biasa. Waititi bersenang-senang menggarap adegan berbalut musik synth catchy garapan Mark Mothersbaugh (sebenarnya bisa lebih ditonjolkan) juga Immigrant Song-nya Led Zeppelin yang tak ubahnya cue bagi aksi keren yang segera menghentak. Alangkah bijaknya, kita selaku penonton turut tenggelam dalam kesenangan serupa tanpa menagih keseriusan maupun kekelaman yang tidak wajib ada.