SPIES IN DISGUISE (2019)
Rasyidharry
Desember 26, 2019
Animated
,
Ben Mendelsohn
,
Brad Copeland
,
Lloyd Taylor
,
Lumayan
,
Nick Bruno
,
REVIEW
,
Tom Holland
,
Troy Quane
,
Will Smith
2 komentar
Spies in Disguise mengusung tema anti-kekerasan yang terlalu naif jika
diterapkan di realita. Menurutnya, guna menumpas teroris, sebaiknya kita tidak
menyakiti mereka. Tapi mengingat filmnya ditujukan bagi penonton usia muda,
nilai berbunyi “jangan membalas kekerasan dengan kekerasan” memang perlu
diajarkan. Sedangkan bagi kalangan dewasa, secara filmis, animasi yang menandai
kembalinya Will Smith mengisi suara sejak Shark
Tale 15 tahun lalu ini, di luar dugaan menawarkan lebih dari sekadar
tontonan kekanak-kanakkan sebagaimana disiratkan trailer-nya.
Selepas sekuen animasi pembuka ala
seri James Bond, film yang kisahnya
bersifat adaptasi lepas dari film pendek Pigeon:
Impossible (2009) ini memperkenalkan kita pada dua tokoh utamanya: Lance
Sterling (Will Smith) si agen rahasia terbaik dan Walter Beckett (Tom Holland)
si jenius yang kerap dianggap aneh. Kehebatan Lance menjadikannya begitu
dipuja. Saat tiba di markas, orang-orang menyambutnya bak megabintang. Hingga
dalam suatu misi, ia dijebak oleh
teroris bernama Killian (Ben Mendelsohn), kemudian dituduh membelot dan
jadi buronan.
Jika Lance merupakan James Bond,
maka Walter adalah Q yang bertugas mendesain peralatan-peralatan canggih. Tapi
prinsip anti-kekerasan Walter, yang kerap melahirkan senjata aneh (ia mengganti
peledak dengan pelontar glitter berisi
endorphin), sehingga dipandang remeh juga dijauhi. Sikap tersebut bukan tanpa
sebab. Ibu Walter yang berprofesi sebagai polisi tewas di tengah tugas kala ia
masih kecil. Sekarang Walter muncul bersama penemuan yang mampu menghilangkan
tubuh seseorang, dan itulah harapan Lance untuk menghentikan rencana Killian
sekaligus membersihkan namanya.
Hanya saja temuan itu belum
sempurna, dan alih-alih tak terlihat, tubuh Lance berubah jadi seekor merpati. Pengembangan
dari premis “merpati dalam koper agen rahasia” milik film pendeknya ke arah “agen
rahasia yang menjadi merpati” menjanjikan keunikan. Tantangan berikutnya
tinggal sejauh mana naskahnya kreatif bereksplorasi. Setidaknya di konteks
hiburan, duo penulis Brad Copeland dan Lloyd Taylor mampu memproduksi komedi
yang efektif. Memanfaatkan karkateristik fisik merpati (mata kosong, tampang
bodoh), layaknya ayam (ingat Heihei di Moana?),
hewan satu ini terbukti ampuh sebagai amunisi humor absurd, yang menyuntikkan
banyak warna di tengah perjuangan Lance beradaptasi melangsungkan misi dengan
tubuh barunya.
Terkait alur, Spies in Disguise tidaklah spesial, tetap berpijak pada formula.
Ada potensi misteri seputar “Benarkah Killian yang menjebak Lance? Bagaimana
caranya?”, namun para penulis memilih mengesampingkannya. Keputusan itu
sebenarnya dapat dipahami, karena jika tak dibarengi modifikasi, lalu memaksa
menyimpan rahasia yang jawabannya bisa penonton raba sejak awal, hasilnya bakal
mengecewakan. Sedangkan pesan selaku pondasi kisahnya disampaikan secara solid.
Walter dan Killian sama-sama menyimpan alasan atas pilihan mereka, yang tertaut
pada pemikiran “kekerasan menyebabkan kematian, kematian melahirkan dendam,
dendam memicu kematian lain”. Penonton jadi bisa melihat dua kutub berlawanan
mengenai proses menyikapi kekerasan, di mana Lance berada di tengah-tengah.
Jajaran pengisi suara merupakan
kekuatan lain Spies in Disguise.
Sesosok pria tampan, necis, berkarisma, penuh kepercayaan diri, idola banyak
orang. Sulit dipastikan bukan, apakah saya sedang mendeskripsikan Will Smith
atau Lance Sterling? Itulah alasan The Fresh Prince sempurna menyuarakan sang
agen rahasia. Demikian pula jika saya menyebut “pemuda canggung banyak omong”. Tom
Holland atau Walter Beckett? Ditambah kesan intimidatif yang dibawakan oleh Ben
Mendelsohn, tampak betul ketepatan filmnya dalam menentukan pengisi suara.
Spies in Disguise sekadar animasi layak tonton sebelum klimaks tiba.
Apakah perspektif Walter bisa menciptakan perdamaian dunia? Entahlah. Pastinya
itu membuat sekuen aksi puncaknya jauh lebih menarik tatkala senjata-senjata
tidak lazim miliknya menggantikan senapan konvensional dan granat. Ketimbang ledakan
api bombastis, semburan asap warni-warni justru menghiasi layar. Pun di kursi
penyutradaraan, duet Troy Quane-Nick Bruno tidak asal menjalin aksi bertempo
cepat, tapi turut memperhatikan intensitas dan urgensi. Cukup menegangkan bagi
penonton dewasa melihat nyawa ratusan orang terancam sementara para jagoan
didesak sampai ke batas kemampuan mereka, namun tak sampai terlalu kelam
apalagi menakutkan untuk anak sebab selipan humor masih setia menemani. Presisi
yang tidak selalu ada di film animasi semua umur.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:Barusan melihat film ini, dan kami bahagia sekeluarga. Anak anak apalagi, puas pokoknya. Dan benar mas, sepanjang film saya kayak liat Will Smith dan Tom Holland yang lagi akting 😁
Mas rasyid ga nonton 'Hati di seoul' mas?
Ngakak 🤣
Posting Komentar