SPIES IN DISGUISE (2019)

2 komentar
Spies in Disguise mengusung tema anti-kekerasan yang terlalu naif jika diterapkan di realita. Menurutnya, guna menumpas teroris, sebaiknya kita tidak menyakiti mereka. Tapi mengingat filmnya ditujukan bagi penonton usia muda, nilai berbunyi “jangan membalas kekerasan dengan kekerasan” memang perlu diajarkan. Sedangkan bagi kalangan dewasa, secara filmis, animasi yang menandai kembalinya Will Smith mengisi suara sejak Shark Tale 15 tahun lalu ini, di luar dugaan menawarkan lebih dari sekadar tontonan kekanak-kanakkan sebagaimana disiratkan trailer-nya.

Selepas sekuen animasi pembuka ala seri James Bond, film yang kisahnya bersifat adaptasi lepas dari film pendek Pigeon: Impossible (2009) ini memperkenalkan kita pada dua tokoh utamanya: Lance Sterling (Will Smith) si agen rahasia terbaik dan Walter Beckett (Tom Holland) si jenius yang kerap dianggap aneh. Kehebatan Lance menjadikannya begitu dipuja. Saat tiba di markas, orang-orang menyambutnya bak megabintang. Hingga dalam suatu misi, ia dijebak oleh  teroris bernama Killian (Ben Mendelsohn), kemudian dituduh membelot dan jadi buronan.

Jika Lance merupakan James Bond, maka Walter adalah Q yang bertugas mendesain peralatan-peralatan canggih. Tapi prinsip anti-kekerasan Walter, yang kerap melahirkan senjata aneh (ia mengganti peledak dengan pelontar glitter berisi endorphin), sehingga dipandang remeh juga dijauhi. Sikap tersebut bukan tanpa sebab. Ibu Walter yang berprofesi sebagai polisi tewas di tengah tugas kala ia masih kecil. Sekarang Walter muncul bersama penemuan yang mampu menghilangkan tubuh seseorang, dan itulah harapan Lance untuk menghentikan rencana Killian sekaligus membersihkan namanya.

Hanya saja temuan itu belum sempurna, dan alih-alih tak terlihat, tubuh Lance berubah jadi seekor merpati. Pengembangan dari premis “merpati dalam koper agen rahasia” milik film pendeknya ke arah “agen rahasia yang menjadi merpati” menjanjikan keunikan. Tantangan berikutnya tinggal sejauh mana naskahnya kreatif bereksplorasi. Setidaknya di konteks hiburan, duo penulis Brad Copeland dan Lloyd Taylor mampu memproduksi komedi yang efektif. Memanfaatkan karkateristik fisik merpati (mata kosong, tampang bodoh), layaknya ayam (ingat Heihei di Moana?), hewan satu ini terbukti ampuh sebagai amunisi humor absurd, yang menyuntikkan banyak warna di tengah perjuangan Lance beradaptasi melangsungkan misi dengan tubuh barunya.

Terkait alur, Spies in Disguise tidaklah spesial, tetap berpijak pada formula. Ada potensi misteri seputar “Benarkah Killian yang menjebak Lance? Bagaimana caranya?”, namun para penulis memilih mengesampingkannya. Keputusan itu sebenarnya dapat dipahami, karena jika tak dibarengi modifikasi, lalu memaksa menyimpan rahasia yang jawabannya bisa penonton raba sejak awal, hasilnya bakal mengecewakan. Sedangkan pesan selaku pondasi kisahnya disampaikan secara solid. Walter dan Killian sama-sama menyimpan alasan atas pilihan mereka, yang tertaut pada pemikiran “kekerasan menyebabkan kematian, kematian melahirkan dendam, dendam memicu kematian lain”. Penonton jadi bisa melihat dua kutub berlawanan mengenai proses menyikapi kekerasan, di mana Lance berada di tengah-tengah.

Jajaran pengisi suara merupakan kekuatan lain Spies in Disguise. Sesosok pria tampan, necis, berkarisma, penuh kepercayaan diri, idola banyak orang. Sulit dipastikan bukan, apakah saya sedang mendeskripsikan Will Smith atau Lance Sterling? Itulah alasan The Fresh Prince sempurna menyuarakan sang agen rahasia. Demikian pula jika saya menyebut “pemuda canggung banyak omong”. Tom Holland atau Walter Beckett? Ditambah kesan intimidatif yang dibawakan oleh Ben Mendelsohn, tampak betul ketepatan filmnya dalam menentukan pengisi suara.

Spies in Disguise sekadar animasi layak tonton sebelum klimaks tiba. Apakah perspektif Walter bisa menciptakan perdamaian dunia? Entahlah. Pastinya itu membuat sekuen aksi puncaknya jauh lebih menarik tatkala senjata-senjata tidak lazim miliknya menggantikan senapan konvensional dan granat. Ketimbang ledakan api bombastis, semburan asap warni-warni justru menghiasi layar. Pun di kursi penyutradaraan, duet Troy Quane-Nick Bruno tidak asal menjalin aksi bertempo cepat, tapi turut memperhatikan intensitas dan urgensi. Cukup menegangkan bagi penonton dewasa melihat nyawa ratusan orang terancam sementara para jagoan didesak sampai ke batas kemampuan mereka, namun tak sampai terlalu kelam apalagi menakutkan untuk anak sebab selipan humor masih setia menemani. Presisi yang tidak selalu ada di film animasi semua umur.

2 komentar :

Comment Page:
Yolana mengatakan...

Barusan melihat film ini, dan kami bahagia sekeluarga. Anak anak apalagi, puas pokoknya. Dan benar mas, sepanjang film saya kayak liat Will Smith dan Tom Holland yang lagi akting 😁

Satria wibawa mengatakan...

Mas rasyid ga nonton 'Hati di seoul' mas?

Ngakak 🤣