Tampilkan postingan dengan label Tom Holland. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tom Holland. Tampilkan semua postingan

REVIEW - UNCHARTED

Keputusan menunjuk Tom Holland memerankan Nathan Drake versi muda, yang menjadikan Uncharted berstatus prekuel gimnya, tentu didasari star power sang aktor. Begitu melihat hasil akhirnya, rasanya pengalaman Holland melakoni adegan aksi di udara sebagai Spider-Man turut berperan. Ada dua set piece udara di sini. Keduanya digarap sangat baik, sampai terkesan bahwa adaptasi layar lebarnya eksis, semata untuk memfasilitasi lahirnya dua set piece itu, sementara elemen lain cenderung medioker. 

Salah satunya langsung kita lihat di menit-menit awal, tatkala Nathan bergelantungan di pesawat yang tengah mengudara. Diambil dari momen ikonik milik Uncharted 3: Drake's Deception (2011), itulah sekuen yang paling berhasil mereplikasi pengalaman memainkan gimnya. Si protagonis melompat dari satu kargo ke kargo berikutnya, seolah digerakkan oleh joystick tak kasat mata. 

Sayangnya keberhasilan replikasi bukanlah sebuah konsistensi. Menyusul berikutnya adalah obligasi untuk bercerita. Nathan terpisah dari kakaknya, Sam (Rudy Pankow), bekerja sebagai bartender merangkap pencopet meski ketertarikannya akan sejarah tidak luntur, kemudian direkrut oleh Sully (Mark Wahlberg) guna mencari harta karun peninggalan ekspedisi Ferdinand Magellan. 

Kenapa saya sebut "obligasi"? Karena naskah buatan duo Art Marcum dan Matt Holloway (Iron Man, Transformers: The Last Knight) bersama Rafe Judkins, cuma memposisikan cerita sebagai alat penambal durasi, tanpa dampak emosi. Setidaknya, kemunculan Santiago Moncada (Antonio Banderas) selaku keturunan terakhir keluarga Moncada yang mendanai ekspedisi Magellan, Jo Braddock (Tati Gabrielle) si prajurit sewaan yang bekerja bagi Santiago, dan pemburu harta karun bernama Chloe Frazer (Sophia Ali) yang membantu dua jagoan kita, memperkaya intensitas alur melalui berbagai intrik sarat pengkhianatan.

Sebagaimana film-film petualangan lain, Uncharted menampilkan upaya karakternya memecahkan teka-teki yang ditinggalkan pemilik harta karun. Apakah menghibur? Ya, namun jika membicarakan replikasi pengalaman bermain gim, hal itu gagal dicapai. Penonton cuma bisa menunggu Nathan dkk. menemukan dan memecahkan petunjuk, tanpa ikut dilibatkan dalam proses berpikir. 

Kita cuma bisa menunggu hingga filmnya memasuki babak puncak, di mana set piece udara nomor dua akhirnya tiba. Sebuah aksi yang bak peleburan Pirates of the Caribbean dengan Fast & Furious. Masih, over-the-top, seru. Hanya ada satu kekurangan, yakni Chloe, yang mencuri perhatian sebagai tandem Nathan, tak terlibat di klimaksnya.

Set piece udaranya membuat Uncharted layak disaksikan di layar lebar. Tapi apakah aksi lainnya buruk? Sebenarnya ada beberapa ide menarik, semisal baku hantam di bar yang seperti berkiblat pada film-film Jackie Chan. Tom Holland pun memiliki kapasitas fisik mumpuni sehingga tampak meyakinkan sebagai jagoan. Tapi pengarahan lemah sang sutradara, Ruben Fleischer (Zombieland, Venom), melucuti intensitas pada deretan aksi yang mengutamakan koreografi, walau ia cukup handal membungkus kemegahan CGI. 

REVIEW - SPIDER-MAN: NO WAY HOME

Selepas Avengers: Endgame, saya berujar, "I've never seen anything like this". Wajar saja, mengingat statusnya sebagai kulminasi perjalanan satu dekade lebih. Tapi bahkan setelah itu, Spider-Man: No Way Home mampu memancing respon serupa. Sekali lagi Marvel Studios mendobrak batas kemustahilan. 

Di berbagai lokasi (termasuk studio tempat saya berada), para penonton bersorak, tertawa, menangis, bertepuk tangan. Pemandangan yang makin asing akibat pandemi. No Way Home melakukannya sebagai fan service bagi penonton multigenerasi. No Way Home ibarat rumah, bukan saja untuk penggemar Spider-Man, pula mereka yang merindukan theatrical experience.  

Ditulis oleh Chris McKenna dan Erik Sommers, kisahnya meneruskan akhir Far from Home (2019), kala identitas Peter Parker (Tom Holland) selaku Spider-Man terungkap, seketika menjadikannya musuh publik. Satu-satunya jalan keluar yang ia temukan adalah, meminta Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) merapal mantra penghapus ingatan orang-orang akan identitasnya. 

Kita tahu akhirnya mantra tersebut kacau akibat interupsi Peter. Kita tahu, karena itu gerbang multiverse terbuka. Kita tahu banyak musuh lama dari versi Raimi dan Webb kembali. Semua telah diungkap di materi promosi, dan lebih baik jika anda tetap tidak "buta" akan hal-hal lain. 

No Way Home merupakan fan service, di mana kata "service" tak berhenti di ranah trivial. Semakin anda mengenal Spider-Man, baik versi komik maupun layar lebar, semakin anda bakal menyadari, bahwa film ini sukses menangkap esensi tokohnya. 

Menyenangkan melihat Otto Octavius / Doctor Octopus (Alfred Molina) dan Norman Osborn / Green Goblin (Willem Dafoe) terlibat banter, Flint Marko / Sandman (Thomas Haden Church) masih mementingkan keluarga, atau bagaimana Max Dillon / Electro (Jamie Foxx) dan Curt Connors / Lizard (Rhys Ifans) memperkenalkan identitas satu sama lain. Tapi tak kalah menyenangkan saat mendapati No Way Home memahami betul siapa Spider-Man. 

Serupa julukan "friendly neighborhood" miliknya, juga kalimat "with great power comes great responsibility", si manusia laba-laba bukan cuma menumpas kejahatan, namun menebar kebaikan. Terdengar serupa, tetapi tak sama. Poin tersebut turut ditekankan filmnya, terutama terkait cara Peter menyikapi kedatangan tamu-tamu tak diundang dari dunia lain. 

Bertugas memperluas cakupan MCU tak membuat film ini lalai mengurus semestanya sendiri. Di antara gejolak multidimensi, No Way Home tetap kisah remaja. Tetap berpusat di Peter dan orang-orang terdekatnya. Apa masalah utama Peter selain menghadapi setumpuk villain? Dia, bersama MJ (Zendaya) dan Ned (Jacob Batalon), dipersulit ketika mendaftar kuliah, selaku dampak terungkapnya identitas Spider-Man. Sementara May (Marissa Tomei) mengesahkan posisi sebagai pemberi motivasi personal Peter dalam aksi heroiknya. 

Spider-Man memang sejatinya cerita coming-of-age. Peter mengalami pendewasaan pasca melewati fase-fase seperti kita, termasuk percintaan. No Way Home mematenkan Peter-MJ sebagai salah satu pasangan terkuat MCU. Lalu di akhir cerita, tampak jelas Peter jauh lebih dewasa dibanding saat muncul pertama kali dalam Captain America: Civil War lima tahun lalu. Jadilah trilogi Homecoming sebuah kisah yang utuh. 

Kebaikan hati dan kepintaran. Begitu filmnya mendefinisikan Peter Parker. Dua aspek tersebut membentuk paruh keduanya, yang mengetengahkan sisi ilmiah Peter ketimbang kemampuan baku hantam (walau di sebuah kesempatan, sisi ini pun dimanfaatkan secara cerdik guna menerapkan kejeniusan Peter di bidang sains ke dalam aksi). Pacing-nya tersendat, namun bisa dimaafkan karena kesesuaiannya menggambarkan esensi penokohan seorang Peter Parker. 

Melewati babak kedua, No Way Home enggan melepas cengkeramannya. Keseruan, kejutan, fan service, campur aduk. Lupakan kekurangan perihal penyuntingan yang ada kalanya tampak tergesa-gesa, sebab di titik itu No Way Home memenuhi hakikatnya sebagai blockbuster: membuat penonton berdecak kagum. 

Aksinya kelas satu. Bukan cuma mengandalkan fan service, Jon Watts terbukti makin matang mengarahkan kemeriahan spektakel, termasuk dengan tidak menjadikan Doctor Strange glorified cameo belaka, juga dipakai menciptakan aksi unik selaku ciri "sang penyihir". Beginilah semestinya crossover. Tidak asal menumpuk karakter, pula menerapkan kekhasan masing-masing. 

Tentu third act-nya tak tertandingi. Di situ segala macam rasa memuncak. Entah dari aksi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dapat tersaji, atau hadirnya konklusi emosional, tidak hanya untuk trilogi Homecoming, pun semua cabang cerita yang membentang selama hampir dua dekade. Ya. Semua. Baik persoalan yang urung dituntaskan, penebusan dosa, proses mengatasi duka serta rasa bersalah, dan lain-lain. 

Sempurna? Mungkin belum. Seperti saya singgung di atas, ada beberapa celah seputar pacing dan penyuntingan. Tapi sepanjang 2021, atau bahkan dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada blockbuster dengan pencapaian setara Spider-Man: No Way Home, yang benar-benar menunjukkan alasan mengapa theatrical experience mustahil tergantikan. Suatu pengalaman komunal, di mana puluhan, bahkan ratusan orang, berbagi rasa tanpa perlu saling mengenal atau berinteraksi langsung, disatukan oleh layar raksasa yang menampilkan keajaiban bernama "sinema". 

REVIEW - THE DEVIL ALL THE TIME

Beberapa saat sebelum film usai, protagonis kita, Arvin Russell (Tom Holland), duduk dalam mobil, kelelahan, lalu menguap bersamaan dengan terdengarnya pidato Presiden Lyndon B. Johnson di radio, perihal ajakan bagi para pemuda untuk terjun ke Perang Vietnam, guna membuktikan pada komunis bahwa Amerika tak terkalahkan. Seolah kalimat bernada patriotisme itu sekadar omong kosong (dan memang demikian). Momen tersebut melemparkan pikiran saya kembali ke awal film, kemudian mempertanyakan, “Siapa iblis sebenarnya?”.

Diangkat dari novel berjudul sama karya Donald Ray Pollock, The Devil All the Time membuka presentasinya dengan memperkenalkan kita pada Sersan Willard Russell (Bill Skarsgård) yang baru kembali dari penugasannya di Kepulauan Solomon selama Perang Dunia II. Dari namanya, bisa ditebak bahwa Willard merupakan ayah Arvin. Willard menikahi pelayan cafe bernama Charlotte (Haley Bennett), dan selepas kelahiran Arvin, memilih tinggal di perbukitan terpencil di Knockemstiff.

Walau tahun demi tahun telah berlalu, Willard masih dihantui peristiwa mengerikan saat salah satu rekannya disalib dan disiksa oleh tentara Jepang. Willard membunuh si rekan demi mengakhiri penderitannya, tak tahu kalau hal itu justru memberinya derita berkepanjangan. Willard pun membuat tempat ibadahnya sendiri di tengah hutan, memasang salib yang membuatnya terus mengingat kejadian traumatis itu, pun mengajak Arvin kecil berdoa di sana. Melihat mata Skarsgård, kita tahu Willard tak pernah sepenuhnya keluar dari neraka dunia, bahkan terperosok semakin dalam.

Tapi bukan itu saja kisah yang filmnya miliki. Ada soal Helen (Mia Wasikowska), gadis religius yang menikahi Roy (Harry Melling), seorang pengkhotbah radikal; Lenora (Eliza Scanlen), puteri Helen dengan religiusitas serupa sang ibu, yang bertemu Preston (Robert Pattinson) si pendeta pedofil; pasangan suami-istri Carl (Jason Clarke) dan Sandy (Riley Keough) yang melakukan pembunuhan berantai sebagai metode spiritual untuk mendekatkan diri pada Tuhan; juga Sheriff Lee (Sebastian Stan) si polisi korup.

Selain paling menjual, duo Holland-Pattinson juga memberi penampilan terbaik di antara jajaran ensemble cast. Bergaya ala James Dean, Holland mengenyahkan citra “remaja baik-baik” yang didapatnya setelah memerankan Peter Parker, sebagai pemuda yang tak ragu menggunakan kekerasan, karena itulah yang diajarkan sang ayah. Sedangkan Pattinson memudahkan penonton mengutuk karakternya, tapi di saat bersamaan, terpaku, betah menatap layar di tiap kemunculannya.

Begitu banyak kisah dengan latar waktu dan tempat berlainan mampu diatasi oleh naskah yang ditulis sutradara Antonio Campos bersama saudaranya, Paulo Campos. Alih-alih berantakan, banyaknya cabang justru membuat tuturannya padat, di mana dinamika selalu terjaga tanpa satu pun titik membosankan. Pemakaian voice over turut membantu mengarahkan penonton memahami detail maupun keterkaitan antar peristiwa yang cukup rumit. Penulis novelnya, Donald Ray Pollock, menjadi narator dengan suara berat nan parau yang memperkuat atmosfer. Kita bak mendengarkan pria tua yang sudah menyaksikan segala kegelapan dunia, bercerita ditemani sebotol wiski.

Dan tak bisa dipungkiri, The Devil All the Time memang gelap. Sangat gelap. Nuansa depresif membungkus cerita yang dipenuhi kematian, baik pembunuhan maupun bunuh diri, yang ketimbang sadisme, lebih mengedepankan dampak psikis. Belum lagi urusan pelecehan, hingga degradasi moral lain. Perlu/tidaknya semua itu sejatinya patut diperdebatkan, namun jelas bukan tanpa maksud. Membaca cuplikan alur di atas, selain beberapa kejutan yang mempertemukan jalan tiap karakter,mungkin anda sudah bisa menangkap satu lagi benang merah, yakni religiusitas.

Mayoritas kegilaan karakternya didasari pengabdian kepada Tuhan. Tapi ini bukan bentuk menyalahkan agama, melainkan gambaran betapa mengerikan kala penerapan agama itu diinterpretasikan oleh manusia-manusia (baca: warga Amerika) yang tak mampu berpikir jernih akibat goncangan di jiwa mereka. Goncangan yang menurut filmnya, bermula dari peperangan. Bahwa satu persoalan mental akibat perang dapat berdampak panjang serta luas. Semakin mengerikan, karena tidak ada tanda-tanda kalau semuanya segera berakhir, kala para penguasa (pimpinan negara, pemuka agama) masih menyalahgunakan kekuatan mereka. The characters act in the name of God, but it was the devil all the time.


Available on NETFLIX

ONWARD (2020)

Melalui Onward, Pixar kembali mengkreasi dunia imajinatif mereka sendiri. Bayangkan Zootopia, tapi ganti para hewan yang berperilaku dan hidup bagai manusia, dengan makhluk-makhluk mitologi. Unicorn berebut makanan di tempat sampah seperti kucing liar, naga menggantikan peran anjing selaku peliharaan, centaur berprofesi sebagai polisi, dan lain-lain. Dan dalam dunia berisi deretan makhluk ajaib tersebut, tidak ada keajaiban berupa sihir sebagaimana selalu kita lihat di berbagai kisah fantasi yang melibatkan mereka.

Lebih tepatnya, sihir sudah menghilang, digantikan oleh teknologi yang penggunaannya lebih praktis. Tidak perlu merapal mantra, tidak perlu melalui latihan intens. Konsep menarik, walau sulit menghilangkan harapan bahwa naskah buatan sutradara Dan Scanlon (Monsters University) bersama Keith Bunin (Horns) dan Jason Headley (A Bad Idea Gone Wrong) lebih mengeksplorasi cara kerja dunianya, sebagaimana selalu jadi keunggulan judul-judul terbaik Pixar.

Di dunia inilah protagonis kita hidup. Namanya Ian (Tom Holland), elf remaja yang canggung dalam bersosialisasi. Kakaknya, Barley (Chris Pratt) terobsesi pada sejarah dunia khususnya ilmu sihir beserta petualangan ajaibnya. Sedangkan sang ibu, Laurel (Julia Louis-Dreyfus), sepeninggal suaminya, tengah menjalin hubungan dengan polisi centaur, Colt Bronco (Mel Rodriguez).

Ian tidak pernah bertemu sang ayah, dan cuma bisa mengenalnya lewat cerita-cerita Barley, beberapa lembar foto, serta sebuah kaset berisi rekaman suaranya. Hati seperti ditusuk-tusuk saat melihat Ian menciptakan obrolan imajiner dengan ayahnya menggunakan rekaman tersebut. Jika momen itu terasa jujur dan intim, mungkin karena ide kisahnya sendiri Scanlon dapat dari pengalaman personal kala sewaktu remaja, ia menerima rekaman suara mendiang ayahnya dari seorang kerabat.

Lalu bertepatan dengan ulang tahun ke-16 Ian, Laurel memberi kejutan. Sebuah kado dari sang ayah. Semakin mengejutkan, karena kado itu adalah tongkat sihir beserta mantra yang dapat membangkitkan orang mati selama sehari. Tapi akibat kurang pengalaman, Ian hanya berhasil mengembalikan kaki ayahnya. Maka, Ian dan Barley harus berpacu dengan waktu, menjalani misi guna mengembalikan ayah mereka secara utuh.

Sepanjang misi yang mempertemukan keduanya dengan berbagai rintangan, mulai dari geng motor fairy, hingga gua rahasia penuh teka-teki dan jebakan, Ian turut melatih kemampuannya sebagai penyihir muda. Keberadaan ilmu sihir (dan elemen fantasi secara umum), membantu Onward tampil lebih segar, biarpun alurnya mengusung pakem standar film road trip. Khususnya perihal spektakel, di mana Scanlon menunjukkan perkembangan pesat sebagai sutradara pasca menjalani debutnya tujuh tahun lalu.

Disokong visual memikat yang membantu menghidupkan dunia imajinatifnya (meski bukan produk visual terbaik Pixar), Scanlon menyuguhkan petualangan mengasyikkan, yang melibatkan aksi seru nan menegangkan dan proses memecahkan teka-teki sederhana. Sihir memang kerap jadi jalan penyelesai masalah, tapi tidak berakhir sebagai jalan keluar yang (terlalu) mudah, sebab Onward memastikan bahwa Ian harus belajar dan bertumbuh lebih dulu. Alhasil, pertarungan besar di klimaks jadi luar biasa memuaskan, sebab di situlah protagonis kita akhirnya membuktikan perkembangannya setelah proses panjang.

Holland dan Pratt tidak kesulitan menghidupkan figur remaja canggung dan pemuda nyeleneh, mengingat peran semacam itu sudah beberapa kali keduanya lakoni. Hal serupa berlaku pada Pixar, yang dikenal sebagai jagonya mengaduk-aduk perasaan penonton. Di sini, bahkan pemandangan kecil seperti sepasang kaki yang saling bersentuhan saja bisa begitu bermakna. Justru momen besarnya, yang diharapkan memberi puncak emosi, mungkin takkan bisa diterima semua penonton.

Pertama, perlu dipahami dahulu, pesan apa yang Onward ingin sampaikan. Seperti judulnya, ini adalah kisah soal melangkah maju. Bukan tentang mengejar masa lalu, melainkan bagaimana masa lalu berguna untuk masa kini dan nanti. Sosok ayah yang telah tiada (masa lalu) membantu Ian menyadari betapa berharganya Barley (masa kini). Ilmu sihir (masa lalu), berkontribusi pada proses tumbuh kembang Ian (masa depan). Sementara di lingkup keluarga, Onward mengajak untuk lebih memperhatikan orang-orang tercinta yang masih berada di samping kita, bukannya tenggelam pada kerinduan terhadap sosok tercinta lain yang telah tiada.

Secara dampak emosi, resolusinya bisa jadi dianggap antiklimaks, atau malah mengkhianati, oleh sebagian penonton, walau sebenarnya, pilihan konklusi itu sesuai dengan tujuan filmnya. Sepertinya Onward juga bentuk terapi pribadi bagi Scanlon sendiri. Bisa dipahami. TAPI, filmnya terlanjur memberondong dengan ekspektasi yang melibatkan hati. Dan setelah semua itu, tidak keliru bila ada penonton yang merasa dicurangi. Meminjam istilah Jawa, apa yang Onward lakukan itu “bener ning ora pener”.

SPIES IN DISGUISE (2019)

Spies in Disguise mengusung tema anti-kekerasan yang terlalu naif jika diterapkan di realita. Menurutnya, guna menumpas teroris, sebaiknya kita tidak menyakiti mereka. Tapi mengingat filmnya ditujukan bagi penonton usia muda, nilai berbunyi “jangan membalas kekerasan dengan kekerasan” memang perlu diajarkan. Sedangkan bagi kalangan dewasa, secara filmis, animasi yang menandai kembalinya Will Smith mengisi suara sejak Shark Tale 15 tahun lalu ini, di luar dugaan menawarkan lebih dari sekadar tontonan kekanak-kanakkan sebagaimana disiratkan trailer-nya.

Selepas sekuen animasi pembuka ala seri James Bond, film yang kisahnya bersifat adaptasi lepas dari film pendek Pigeon: Impossible (2009) ini memperkenalkan kita pada dua tokoh utamanya: Lance Sterling (Will Smith) si agen rahasia terbaik dan Walter Beckett (Tom Holland) si jenius yang kerap dianggap aneh. Kehebatan Lance menjadikannya begitu dipuja. Saat tiba di markas, orang-orang menyambutnya bak megabintang. Hingga dalam suatu misi, ia dijebak oleh  teroris bernama Killian (Ben Mendelsohn), kemudian dituduh membelot dan jadi buronan.

Jika Lance merupakan James Bond, maka Walter adalah Q yang bertugas mendesain peralatan-peralatan canggih. Tapi prinsip anti-kekerasan Walter, yang kerap melahirkan senjata aneh (ia mengganti peledak dengan pelontar glitter berisi endorphin), sehingga dipandang remeh juga dijauhi. Sikap tersebut bukan tanpa sebab. Ibu Walter yang berprofesi sebagai polisi tewas di tengah tugas kala ia masih kecil. Sekarang Walter muncul bersama penemuan yang mampu menghilangkan tubuh seseorang, dan itulah harapan Lance untuk menghentikan rencana Killian sekaligus membersihkan namanya.

Hanya saja temuan itu belum sempurna, dan alih-alih tak terlihat, tubuh Lance berubah jadi seekor merpati. Pengembangan dari premis “merpati dalam koper agen rahasia” milik film pendeknya ke arah “agen rahasia yang menjadi merpati” menjanjikan keunikan. Tantangan berikutnya tinggal sejauh mana naskahnya kreatif bereksplorasi. Setidaknya di konteks hiburan, duo penulis Brad Copeland dan Lloyd Taylor mampu memproduksi komedi yang efektif. Memanfaatkan karkateristik fisik merpati (mata kosong, tampang bodoh), layaknya ayam (ingat Heihei di Moana?), hewan satu ini terbukti ampuh sebagai amunisi humor absurd, yang menyuntikkan banyak warna di tengah perjuangan Lance beradaptasi melangsungkan misi dengan tubuh barunya.

Terkait alur, Spies in Disguise tidaklah spesial, tetap berpijak pada formula. Ada potensi misteri seputar “Benarkah Killian yang menjebak Lance? Bagaimana caranya?”, namun para penulis memilih mengesampingkannya. Keputusan itu sebenarnya dapat dipahami, karena jika tak dibarengi modifikasi, lalu memaksa menyimpan rahasia yang jawabannya bisa penonton raba sejak awal, hasilnya bakal mengecewakan. Sedangkan pesan selaku pondasi kisahnya disampaikan secara solid. Walter dan Killian sama-sama menyimpan alasan atas pilihan mereka, yang tertaut pada pemikiran “kekerasan menyebabkan kematian, kematian melahirkan dendam, dendam memicu kematian lain”. Penonton jadi bisa melihat dua kutub berlawanan mengenai proses menyikapi kekerasan, di mana Lance berada di tengah-tengah.

Jajaran pengisi suara merupakan kekuatan lain Spies in Disguise. Sesosok pria tampan, necis, berkarisma, penuh kepercayaan diri, idola banyak orang. Sulit dipastikan bukan, apakah saya sedang mendeskripsikan Will Smith atau Lance Sterling? Itulah alasan The Fresh Prince sempurna menyuarakan sang agen rahasia. Demikian pula jika saya menyebut “pemuda canggung banyak omong”. Tom Holland atau Walter Beckett? Ditambah kesan intimidatif yang dibawakan oleh Ben Mendelsohn, tampak betul ketepatan filmnya dalam menentukan pengisi suara.

Spies in Disguise sekadar animasi layak tonton sebelum klimaks tiba. Apakah perspektif Walter bisa menciptakan perdamaian dunia? Entahlah. Pastinya itu membuat sekuen aksi puncaknya jauh lebih menarik tatkala senjata-senjata tidak lazim miliknya menggantikan senapan konvensional dan granat. Ketimbang ledakan api bombastis, semburan asap warni-warni justru menghiasi layar. Pun di kursi penyutradaraan, duet Troy Quane-Nick Bruno tidak asal menjalin aksi bertempo cepat, tapi turut memperhatikan intensitas dan urgensi. Cukup menegangkan bagi penonton dewasa melihat nyawa ratusan orang terancam sementara para jagoan didesak sampai ke batas kemampuan mereka, namun tak sampai terlalu kelam apalagi menakutkan untuk anak sebab selipan humor masih setia menemani. Presisi yang tidak selalu ada di film animasi semua umur.

SPIDER-MAN: FAR FROM HOME (2019)

Di Far From Home, Spider-Man (Tom Holland) terbebani untuk membuktikan kepantasannya menyandang status keanggotaan Avengers sekaligus penerus Tony Stark (Robert Downey Jr.). Tapi ini juga film soal fase remaja Peter Parker, khususnya perihal kehidupan cintanya. Dua hal di atas terdengar berlawanan. Poin pertama berskala besar juga menuntut tanggung jawab lebih tinggi, sedangkan yang kedua lebih ringan. Hebatnya, Far From Home sanggup mencampurkannya secara seimbang.

Delapan bulan pasca peristiwa di Avengers: Endgame, dunia masih belum sepenuhnya beranjak dari duka akibat kehilangan beberapa pahlawan, temasuk Tony Stark. Bahkan adegan pembukanya lagsung menawarkan penghormatan, yang meski menggelitik, nyatanya tetap menyentuh. Peter sendiri merasa selalu melihat wajah Tony ke mana saja ia pergi. Merasa perlu rehat, Peter mengesampingkan sejenak kehidupan sebagai pahlawan super selama mengikuti karyawisata ke Eropa, memilih fokus mengejar pujaan hatinya, MJ (Zendaya).

Tentu saja masalah terus mengikuti, kali dalam bentuk monster-monster Elemental yang menebar kehancuran di berbagai belahan dunia. Tapi Elemental bukan satu-satunya figur misterius yang muncul. Berusaha melawan mereka adalah Quentin Beck alis Mysterio (Jake Gyllenhaal), pahlawan super yang mengaku berasal dari semesta lain. Mysterio datang ke semesta ini (seperti komiknya, disebut Earth-616), bersatu dengan Nick Fury (Samuel L. Jackson guna membinasakan para Elemental.

Gyllenhaal menangani perannya secara menghibur, sesekali menampilkan kesan “larger than life” tanpa perlu berlagak berlebihan. Dan kita berkesempatan menyaksikan sisi lembut nan hangat milik Jake, khususnya kala Mysterio mengambil alih peran selaku guru sekaligus mentor bagi Peter.

Tapi Mysterio seorang tak cukup, sehingga Fury merekrut Peter, yang awalnya mengelak karena: (A) Dia belum merasa mampu menangani masalah sebesar itu, ditambah keberadaan Mysterio yang menurutnya lebih dapat diandalkan; (B) Rencana mengungkapkan cinta kepada MJ juga terancam. Spider-Man: Far From Home adalah film pahlawan super di mana sang jagoan bukan cuma meragukan diri, pula kukuh menolak panggilan menyelamatkan dunia karena ia ingin mendapatkan hati seorang gadis.

Apabila terdengar kurang heroik, wajar saja, sebab itulah yang remaja akan lakukan. Naskah buatan duet Erik Sommers dan Chris McKenna (Ant-Man and the Wasp, Jumanji: Welcome to the Jungle, The Lego Batman Movie) bertindak selaku pondasi yang solid, tapi keberhasilan Zendaya dan Tom Holland menghidupkan kecanggungan manis di antara Peter dan MJ adalah alasan terbesar yang menjadikan romansanya bekerja dengan baik.

Terdapat twist sebagai titik balik arah penceritaan. Keberadaannya tak mengejutkan jika anda mengenal lore Spider-Man, tapi tugas utamanya adalah membuka jalan untuk kejutan-kejutan lain. Bahkan dua credits scene-nya menyimpan daya kejut tinggi. Urusan menghibur, Far From Home memang peningkatan pesat dibanding Homecoming. Humornya masih cukup jenaka, sedangkan adegan aksinya (salah satu kelemahan Homecoming) tampil bertenaga, kreatif, dibarengi ragam variasi musik buatan Michael Giacchino (Up, Jurassic World, Spider-Man: Homecoming).

Salah satu sekuen aksinya menandingi suasana trippy milik Ant-Man dan Doctor Strange, yang membuktikan sempurnanya pemilihan antagonis film ini. Dia mempunyai kemampuan mengerikan (anggota Avengers siapa pun bakal kewalahan), pun memfasilitasi sang sutradara, Jon Watts (Cop Car, Spider-Man: Homecoming), membangun pertunjukan penuh kekayaan visual sekaligus jadi musuh yang cocok untuk Spidey hadapi di fase kehidupannya saat ini.

Seperti tertulis di paragraf pembuka, Far From Home menghadapi sukarnya menyeimbangkan dua sisi heroisme Peter Parker. Dituntut membuktikan kepantasan disebut “The Next Tony Stark”, Spider-Man harus melawan sesuatu yang benar-enar mengancam. Tapi di sisi koin lain, Peter masih remaja. Mustahil filmnya menempatkan si manusia laba-laba di pertarungan menghentikan invasi alien seorang diri. Dan kekuatan yang dimiliki sang antagonis memiliki kapasitas merangkum kedua sisi.

Bicara mengenai Peter sebagai penerus Tony, Far From Home menjalankan tugasnya mengoper tongkat estafet sambil mempersembahkan penghormatan bagi si “genius, billionaire, playboy, philanthropist”. Jangan khawatir, sebab film ini tetap milik Peter Parker, dan berkat Tom Holland, elemen di atas terasa lengkap. Baik Tony maupun Peter menghadapi pergulatan serupa, yakni ketakutan akan ketidakmampuan melindungi sosok-sosok tercinta. Setiap pergulatan itu menghampiri, kita bisa merasakannya dari mata Holland, bahwa Peter sungguh memedulikan orang-orang di sekitarnya.

Bahkan di salah satu adegan—yang jadi momen estafet plus penghormatan paling cerdik juga emosional sepanjang film—Holland menampilkan gestur menyerupai sang mentor. Sang aktor melakukan itu tanpa merendahkan aktingnya ke arah impersonasi murahan. Dia masih Peter Parker. Peter Parker yang amat terinspirasi oleh Tony Stark. Demikian pula Spider-Man: Far From Home. Film ini membuat ketiadaan Iron Man 4 tak perlu disesali, sembari tetap menjadi film Spider-Man yang mumpuni.

SPIDER-MAN: HOMECOMING (2017)

Melahirkan inkarnasi layar lebar ketiga sang manusia laba-laba, Spider-Man: Homecoming mengemban satu tugas: menjadi berbeda. Jika versi Sam Raimi mengusung kisah kepahlawanan berasaskan petuah "with great power comes great responsibility", sementara The Amazing Spider-Man tentang percintaan remaja, maka Homecoming membawa penonton mundur lebih jauh kala Peter Parker (Tom Holland) masih pelajar 15 tahun dengan responsibility berupa mewakili sekolahnya dalam lomba decathlon dan hobi merangkai lego Death Star bersama sahabatnya, Ned (Jacob Batalon). Di sisi lain Bibi May (Marisa Tomei) adalah wanita paruh baya menawan idola para pria di Queens.

Sebagai pembeda lain yakni statusnya yang bukan origin movie. Asal kekuatan Peter dituturkan melalui percakapan singkat tanpa deskripsi detail. Civil War telah memberi informasi dasar yang kita perlu tahu, sehingga film pun dibuka oleh perkenalan bagi Adrian Toomes (Michael Keaton). Rasa dendam kepada Tony Stark (Robert Downey Jr.) mendorong pria pekerja biasa ini berubah menjadi penjahat super bernama Vulture. Bersama anak buahnya, ia mencuri beragam teknologi sisa pertempuran Avengers, memodifikasi, lalu menjualnya. Adegan pembuka ini meletakkan batu pijakan, menjelaskan bahwa dia bukan megalomania dengan hasrat menguasai dunia. Murni seseorang yang ingin menyambung hidup. Disokong akting lunatic Michael Keaton yang dapat mengintimidasi lewat seringai belaka, kita mendapat salah satu villain terbaik MCU yang dilengkapi penokohan dalam plus screen presence kuat.
Homecoming memang berusaha sekuat tenaga mengemas karakter beserta konfliknya serupa dunia nyata. Contoh lainnya Peter. Pasca menerima kostum canggih dari Tony, dia terjebak problema remaja yang berhasrat membuktikan diri pula mencuri hati gadis pujaannya, Liz (Laura Harrier). Baginya, mengejar penjahat adalah kegiatan menyenangkan, hingga aksinya justru kerap memancing kekacauan, mulai halaman rusak sampai mengancam nyawa ratusan orang di laut. Memperkenalkan Peter di tengah proses belajar menuju kematangan, membawa Homecoming menyentuh ranah dra-medi bernuansa coming-of-age

Marvel dikenal akan kebolehan memadukan kisah superhero dengan genre lain, alhasil tak mengejutkan kala DNA film remaja ala John Hughes (The Breakfast Club, Ferris Bueller's Day Off) mengalir deras di sini. Bahkan suatu adegan merupakan homage bagi salah satu karyanya. Dan layaknya remaja, semua tentang bersenang-senang. Baik sewaktu menangkap pencuri sepeda atau meringkus perampok ATM, Spidey yang ramah nan gemar bicara selalu hadir, melahirkan versi layar lebar Spider-Man terbaik yang mewakili image "friendly neighborhood". Pun itu didukung performa Tom Holland. Sisi nerd Peter ditampilkan tepat melalui penuturan kecanggungan yang bisa diterima pula mudah dipercaya tak ubahnya orang kebanyakan. He's a likeable guy that looks ecstatic at almost everything and stuttered in a stressful situation. Bertatapan dengan si pujaan hati misalnya.
Naskah yang digarap oleh enam penulis turut memanfaatkan tiap sisi kehidupan remaja untuk menyuntikkan bobot dalam spectacle aksi di mana selalu ada motivasi atau latar mengarah ke sana. Ketika momen di Washington jadi usaha Peter berjuang demi pujaan hati, set-piece di atas kapal ferry menggambarkan puncak gejolak teen angst soal pergulatan pembuktian kapasitas. Barulah pada klimaks, pembuktian Peter menemui hasilnya. Di luar aspek remaja, naskahnya tidak ketinggalan menampilkan beberapa kejutan penambah keseruan, entah yang substansial membangun alur atau bumbu penyedap seputar keberlanjutan franchise dan tie-in terkait MCU secara lebih luas. 

Sayang komedinya tak semulus itu. Berusaha menyesuaikan dengan nuansa film remaja, baris leluconnya urung punya "daya bunuh" maksimal. Keinginan memberi tekstur lain dibanding installment MCU biasanya membawa keenam penulis terjebak keklisean humor teen movie. Hilang keunikan humor Marvel, digantikan usaha melucu yang dipaksakan hadir sesering mungkin hingga mendistraksi narasi utama. Begitu film usai, bentuk lelucon macam kegagalan Spidey menemukan tempat mengaitkan jaring  which is Marvel kind of comedy  justru lebih memorable. Tapi Zendaya jadi penyelamat, bersenjatakan gaya deadpan membawakan celetukan-celetukan pedas menggelitik.

Fokus pada eksplorasi kehidupan remaja mau tidak mau mengurangi kuantitas aksi. Meski menyimpan motivasi, bicara tensi, deretan aksi Homecoming adalah yang terlemah sejak Thor: The Dark World (worst movie in MCU by far). Penyebabnya terkait visi Jon Watts yang terjangkit penyakit banyak mantan sutradara indie yang beralih menggarap blockbuster. Adegan aksinya adalah medioker minim kreativitas juga intensitas yang diperparah klimaks malas (juga kesalahan naskah) yang bergulir terlampau cepat. Sebagai kulminasi proses Peter, third act-nya tak menawarkan puncak heroisme yang semestinya merupakan resolusi. Walau kekurangan terkait action dan komedi menjauhkan Spider-Man: Homecoming dari kegembiraan luar biasa khas MCU, setidaknya tujuan menghidupkan lagi karakternya lewat versi berbeda telah terpenuhi.