REVIEW - UNCHARTED
Keputusan menunjuk Tom Holland memerankan Nathan Drake versi muda, yang menjadikan Uncharted berstatus prekuel gimnya, tentu didasari star power sang aktor. Begitu melihat hasil akhirnya, rasanya pengalaman Holland melakoni adegan aksi di udara sebagai Spider-Man turut berperan. Ada dua set piece udara di sini. Keduanya digarap sangat baik, sampai terkesan bahwa adaptasi layar lebarnya eksis, semata untuk memfasilitasi lahirnya dua set piece itu, sementara elemen lain cenderung medioker.
Salah satunya langsung kita lihat di menit-menit awal, tatkala Nathan bergelantungan di pesawat yang tengah mengudara. Diambil dari momen ikonik milik Uncharted 3: Drake's Deception (2011), itulah sekuen yang paling berhasil mereplikasi pengalaman memainkan gimnya. Si protagonis melompat dari satu kargo ke kargo berikutnya, seolah digerakkan oleh joystick tak kasat mata.
Sayangnya keberhasilan replikasi bukanlah sebuah konsistensi. Menyusul berikutnya adalah obligasi untuk bercerita. Nathan terpisah dari kakaknya, Sam (Rudy Pankow), bekerja sebagai bartender merangkap pencopet meski ketertarikannya akan sejarah tidak luntur, kemudian direkrut oleh Sully (Mark Wahlberg) guna mencari harta karun peninggalan ekspedisi Ferdinand Magellan.
Kenapa saya sebut "obligasi"? Karena naskah buatan duo Art Marcum dan Matt Holloway (Iron Man, Transformers: The Last Knight) bersama Rafe Judkins, cuma memposisikan cerita sebagai alat penambal durasi, tanpa dampak emosi. Setidaknya, kemunculan Santiago Moncada (Antonio Banderas) selaku keturunan terakhir keluarga Moncada yang mendanai ekspedisi Magellan, Jo Braddock (Tati Gabrielle) si prajurit sewaan yang bekerja bagi Santiago, dan pemburu harta karun bernama Chloe Frazer (Sophia Ali) yang membantu dua jagoan kita, memperkaya intensitas alur melalui berbagai intrik sarat pengkhianatan.
Sebagaimana film-film petualangan lain, Uncharted menampilkan upaya karakternya memecahkan teka-teki yang ditinggalkan pemilik harta karun. Apakah menghibur? Ya, namun jika membicarakan replikasi pengalaman bermain gim, hal itu gagal dicapai. Penonton cuma bisa menunggu Nathan dkk. menemukan dan memecahkan petunjuk, tanpa ikut dilibatkan dalam proses berpikir.
Kita cuma bisa menunggu hingga filmnya memasuki babak puncak, di mana set piece udara nomor dua akhirnya tiba. Sebuah aksi yang bak peleburan Pirates of the Caribbean dengan Fast & Furious. Masih, over-the-top, seru. Hanya ada satu kekurangan, yakni Chloe, yang mencuri perhatian sebagai tandem Nathan, tak terlibat di klimaksnya.
Set piece udaranya membuat Uncharted layak disaksikan di layar lebar. Tapi apakah aksi lainnya buruk? Sebenarnya ada beberapa ide menarik, semisal baku hantam di bar yang seperti berkiblat pada film-film Jackie Chan. Tom Holland pun memiliki kapasitas fisik mumpuni sehingga tampak meyakinkan sebagai jagoan. Tapi pengarahan lemah sang sutradara, Ruben Fleischer (Zombieland, Venom), melucuti intensitas pada deretan aksi yang mengutamakan koreografi, walau ia cukup handal membungkus kemegahan CGI.
REVIEW - SPIDER-MAN: NO WAY HOME
Selepas Avengers: Endgame, saya berujar, "I've never seen anything like this". Wajar saja, mengingat statusnya sebagai kulminasi perjalanan satu dekade lebih. Tapi bahkan setelah itu, Spider-Man: No Way Home mampu memancing respon serupa. Sekali lagi Marvel Studios mendobrak batas kemustahilan.
Di berbagai lokasi (termasuk studio tempat saya berada), para penonton bersorak, tertawa, menangis, bertepuk tangan. Pemandangan yang makin asing akibat pandemi. No Way Home melakukannya sebagai fan service bagi penonton multigenerasi. No Way Home ibarat rumah, bukan saja untuk penggemar Spider-Man, pula mereka yang merindukan theatrical experience.
Ditulis oleh Chris McKenna dan Erik Sommers, kisahnya meneruskan akhir Far from Home (2019), kala identitas Peter Parker (Tom Holland) selaku Spider-Man terungkap, seketika menjadikannya musuh publik. Satu-satunya jalan keluar yang ia temukan adalah, meminta Doctor Strange (Benedict Cumberbatch) merapal mantra penghapus ingatan orang-orang akan identitasnya.
Kita tahu akhirnya mantra tersebut kacau akibat interupsi Peter. Kita tahu, karena itu gerbang multiverse terbuka. Kita tahu banyak musuh lama dari versi Raimi dan Webb kembali. Semua telah diungkap di materi promosi, dan lebih baik jika anda tetap tidak "buta" akan hal-hal lain.
No Way Home merupakan fan service, di mana kata "service" tak berhenti di ranah trivial. Semakin anda mengenal Spider-Man, baik versi komik maupun layar lebar, semakin anda bakal menyadari, bahwa film ini sukses menangkap esensi tokohnya.
Menyenangkan melihat Otto Octavius / Doctor Octopus (Alfred Molina) dan Norman Osborn / Green Goblin (Willem Dafoe) terlibat banter, Flint Marko / Sandman (Thomas Haden Church) masih mementingkan keluarga, atau bagaimana Max Dillon / Electro (Jamie Foxx) dan Curt Connors / Lizard (Rhys Ifans) memperkenalkan identitas satu sama lain. Tapi tak kalah menyenangkan saat mendapati No Way Home memahami betul siapa Spider-Man.
Serupa julukan "friendly neighborhood" miliknya, juga kalimat "with great power comes great responsibility", si manusia laba-laba bukan cuma menumpas kejahatan, namun menebar kebaikan. Terdengar serupa, tetapi tak sama. Poin tersebut turut ditekankan filmnya, terutama terkait cara Peter menyikapi kedatangan tamu-tamu tak diundang dari dunia lain.
Bertugas memperluas cakupan MCU tak membuat film ini lalai mengurus semestanya sendiri. Di antara gejolak multidimensi, No Way Home tetap kisah remaja. Tetap berpusat di Peter dan orang-orang terdekatnya. Apa masalah utama Peter selain menghadapi setumpuk villain? Dia, bersama MJ (Zendaya) dan Ned (Jacob Batalon), dipersulit ketika mendaftar kuliah, selaku dampak terungkapnya identitas Spider-Man. Sementara May (Marissa Tomei) mengesahkan posisi sebagai pemberi motivasi personal Peter dalam aksi heroiknya.
Spider-Man memang sejatinya cerita coming-of-age. Peter mengalami pendewasaan pasca melewati fase-fase seperti kita, termasuk percintaan. No Way Home mematenkan Peter-MJ sebagai salah satu pasangan terkuat MCU. Lalu di akhir cerita, tampak jelas Peter jauh lebih dewasa dibanding saat muncul pertama kali dalam Captain America: Civil War lima tahun lalu. Jadilah trilogi Homecoming sebuah kisah yang utuh.
Kebaikan hati dan kepintaran. Begitu filmnya mendefinisikan Peter Parker. Dua aspek tersebut membentuk paruh keduanya, yang mengetengahkan sisi ilmiah Peter ketimbang kemampuan baku hantam (walau di sebuah kesempatan, sisi ini pun dimanfaatkan secara cerdik guna menerapkan kejeniusan Peter di bidang sains ke dalam aksi). Pacing-nya tersendat, namun bisa dimaafkan karena kesesuaiannya menggambarkan esensi penokohan seorang Peter Parker.
Melewati babak kedua, No Way Home enggan melepas cengkeramannya. Keseruan, kejutan, fan service, campur aduk. Lupakan kekurangan perihal penyuntingan yang ada kalanya tampak tergesa-gesa, sebab di titik itu No Way Home memenuhi hakikatnya sebagai blockbuster: membuat penonton berdecak kagum.
Aksinya kelas satu. Bukan cuma mengandalkan fan service, Jon Watts terbukti makin matang mengarahkan kemeriahan spektakel, termasuk dengan tidak menjadikan Doctor Strange glorified cameo belaka, juga dipakai menciptakan aksi unik selaku ciri "sang penyihir". Beginilah semestinya crossover. Tidak asal menumpuk karakter, pula menerapkan kekhasan masing-masing.
Tentu third act-nya tak tertandingi. Di situ segala macam rasa memuncak. Entah dari aksi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya dapat tersaji, atau hadirnya konklusi emosional, tidak hanya untuk trilogi Homecoming, pun semua cabang cerita yang membentang selama hampir dua dekade. Ya. Semua. Baik persoalan yang urung dituntaskan, penebusan dosa, proses mengatasi duka serta rasa bersalah, dan lain-lain.
Sempurna? Mungkin belum. Seperti saya singgung di atas, ada beberapa celah seputar pacing dan penyuntingan. Tapi sepanjang 2021, atau bahkan dalam beberapa tahun terakhir, tidak ada blockbuster dengan pencapaian setara Spider-Man: No Way Home, yang benar-benar menunjukkan alasan mengapa theatrical experience mustahil tergantikan. Suatu pengalaman komunal, di mana puluhan, bahkan ratusan orang, berbagi rasa tanpa perlu saling mengenal atau berinteraksi langsung, disatukan oleh layar raksasa yang menampilkan keajaiban bernama "sinema".
REVIEW - THE DEVIL ALL THE TIME
Beberapa saat sebelum film usai,
protagonis kita, Arvin Russell (Tom Holland), duduk dalam mobil, kelelahan,
lalu menguap bersamaan dengan terdengarnya pidato Presiden Lyndon B. Johnson di
radio, perihal ajakan bagi para pemuda untuk terjun ke Perang Vietnam, guna
membuktikan pada komunis bahwa Amerika tak terkalahkan. Seolah kalimat bernada
patriotisme itu sekadar omong kosong (dan memang demikian). Momen tersebut
melemparkan pikiran saya kembali ke awal film, kemudian mempertanyakan, “Siapa
iblis sebenarnya?”.
Diangkat dari novel berjudul sama
karya Donald Ray Pollock, The Devil All
the Time membuka presentasinya dengan memperkenalkan kita pada Sersan
Willard Russell (Bill Skarsgård) yang baru kembali dari penugasannya di
Kepulauan Solomon selama Perang Dunia II. Dari namanya, bisa ditebak bahwa
Willard merupakan ayah Arvin. Willard menikahi pelayan cafe bernama Charlotte (Haley
Bennett), dan selepas kelahiran Arvin, memilih tinggal di perbukitan terpencil
di Knockemstiff.
Walau tahun demi tahun telah
berlalu, Willard masih dihantui peristiwa mengerikan saat salah satu rekannya
disalib dan disiksa oleh tentara Jepang. Willard membunuh si rekan demi
mengakhiri penderitannya, tak tahu kalau hal itu justru memberinya derita
berkepanjangan. Willard pun membuat tempat ibadahnya sendiri di tengah hutan, memasang
salib yang membuatnya terus mengingat kejadian traumatis itu, pun mengajak
Arvin kecil berdoa di sana. Melihat mata Skarsgård, kita tahu Willard tak pernah
sepenuhnya keluar dari neraka dunia, bahkan terperosok semakin dalam.
Tapi bukan itu saja kisah yang
filmnya miliki. Ada soal Helen (Mia Wasikowska), gadis religius yang menikahi
Roy (Harry Melling), seorang pengkhotbah radikal; Lenora (Eliza Scanlen),
puteri Helen dengan religiusitas serupa sang ibu, yang bertemu Preston (Robert
Pattinson) si pendeta pedofil; pasangan suami-istri Carl (Jason Clarke) dan
Sandy (Riley Keough) yang melakukan pembunuhan berantai sebagai metode
spiritual untuk mendekatkan diri pada Tuhan; juga Sheriff Lee (Sebastian Stan)
si polisi korup.
Selain paling menjual, duo
Holland-Pattinson juga memberi penampilan terbaik di antara jajaran ensemble cast. Bergaya ala James Dean,
Holland mengenyahkan citra “remaja baik-baik” yang didapatnya setelah
memerankan Peter Parker, sebagai pemuda yang tak ragu menggunakan kekerasan,
karena itulah yang diajarkan sang ayah. Sedangkan Pattinson memudahkan penonton
mengutuk karakternya, tapi di saat bersamaan, terpaku, betah menatap layar di
tiap kemunculannya.
Begitu banyak kisah dengan latar
waktu dan tempat berlainan mampu diatasi oleh naskah yang ditulis sutradara
Antonio Campos bersama saudaranya, Paulo Campos. Alih-alih berantakan,
banyaknya cabang justru membuat tuturannya padat, di mana dinamika selalu
terjaga tanpa satu pun titik membosankan. Pemakaian voice over turut membantu mengarahkan penonton memahami detail
maupun keterkaitan antar peristiwa yang cukup rumit. Penulis novelnya, Donald
Ray Pollock, menjadi narator dengan suara berat nan parau yang memperkuat
atmosfer. Kita bak mendengarkan pria tua yang sudah menyaksikan segala
kegelapan dunia, bercerita ditemani sebotol wiski.
Dan tak bisa dipungkiri, The Devil All the Time memang gelap.
Sangat gelap. Nuansa depresif membungkus cerita yang dipenuhi kematian, baik
pembunuhan maupun bunuh diri, yang ketimbang sadisme, lebih mengedepankan
dampak psikis. Belum lagi urusan pelecehan, hingga degradasi moral lain.
Perlu/tidaknya semua itu sejatinya patut diperdebatkan, namun jelas bukan tanpa
maksud. Membaca cuplikan alur di atas, selain beberapa kejutan yang mempertemukan
jalan tiap karakter,mungkin anda sudah bisa menangkap satu lagi benang merah,
yakni religiusitas.
Mayoritas kegilaan karakternya didasari pengabdian kepada Tuhan. Tapi ini bukan bentuk menyalahkan agama, melainkan gambaran betapa mengerikan kala penerapan agama itu diinterpretasikan oleh manusia-manusia (baca: warga Amerika) yang tak mampu berpikir jernih akibat goncangan di jiwa mereka. Goncangan yang menurut filmnya, bermula dari peperangan. Bahwa satu persoalan mental akibat perang dapat berdampak panjang serta luas. Semakin mengerikan, karena tidak ada tanda-tanda kalau semuanya segera berakhir, kala para penguasa (pimpinan negara, pemuka agama) masih menyalahgunakan kekuatan mereka. The characters act in the name of God, but it was the devil all the time.
Available on NETFLIX