ANAK GARUDA (2020)
Rasyidharry
Januari 18, 2020
Ajil Ditto
,
Alim Sudio
,
Clairine Clay
,
Drama
,
Faozan Rizal
,
Geraldy Kreckhoff
,
Indonesian Film
,
Kiki Narendra
,
Kurang
,
Rania Putrisari
,
Rebecca Klopper
,
REVIEW
,
Rizky Mocil
,
Tissa Biani
,
Violla Georgie
Tidak ada komentar
Anak Garuda merupakan satu lagi film mengenai sekolah Selamat Pagi
Indonesia (SPI) setelah Say I Love You bulan
Juli tahun lalu. Menariknya, meski seluruh pemerannya berbeda, kursi
penyutradaraan sama-sama diduduki oleh Faozan Rizal, naskahnya tetap ditulis
Alim Sudio, sementara Verdi Solaiman beralih peran dari aktor ke produser.
Ceritanya sendiri mengambil timeline selepas
“pendahulunya” tersebut, sehingga wajar bila anda mengira film ini adalah
sekuel. Tapi tidak. Keduanya tanpa kaitan, walau kualitasnya tidak jauh beda.
Sheren (Rania Putrisari), Olfa
(Clairine Clay), Wayan (Geraldy Kreckhoff), Dilla (Rebecca Klopper), Sayyida
(Tissa Biani), Yohana (Violla Georgie), dan Robet (Ajil Ditto) adalah ketujuh
tim SPI yang kini sudah lulus dan menjalankan pusat pembelajaran serta rekreasi
Kampoeng Kidz. Walau sudah menjalankan bisnis sendiri, sesungguhnya mereka
masih belum lepas dari ketergantungan pada sang mentor sekaligus pendiri SPI,
Koh Jul (Kiki Narendra). Alhasil begitu Koh Jul pergi untuk sementara waktu,
perpecahan mulai terjadi di antara ketujuh muda mudi ini.
Akibat naskah yang lalai
menjembatani momen demi momen ditambah penyuntingan buruk, Anak Garuda tampil bak sketsa yang dijahit paksa, di mana tiap
sketsa memperlihatkan bagaimana Rocky (Krisjiana Baharudin) si volunteer baru seolah berusaha mengadu
domba anak-anak SPI. Rasanya seperti menonton kompilasi episode sebuah serial
pendek berjudul “Kenakalan Rocky”. Mungkin Alim Sudio ingin memperlihatkan
secara lengkap apa saja aksi Rocky, tapi ujungnya sebatas menghasilkan checklist permasalahan.
Pun bicara soal Rocky, saat
akhirnya alasan di balik perbuatannya diungkap, yang muncul justru
ketidaksinkronan alih-alih jawaban. Di sini saya membicarakan aspek psikis
karakter, yang mestinya menjelaskan bagaimana faktor “A” menyulut tindakan “B,
C, D” dan seterusnya. Hal itu tidak dilakukan, atau tepatnya, tidak dilakukan
secara layak. Seolah penulis beranggapan jika masalah masa lalu atau luka hati
seseorang bisa jadi alasan untuk membuatnya melakukan keburukan apa pun.
Padahal tidak sesederhana dan seacak itu.
Setidaknya di tengah-tengah “invasi
Rocky”, Anak Garuda masih
menyenangkan diikuti berkat akting solid beberapa pemain utama yang konsisten
menyuntikkan energi bagi jalannya cerita. Memerankan Olfa yang menyimpan
kepedulian tinggi terhadap salah satu murid SPI yang mentalnya terganggu akibat
trauma, Clairine bisa memberikan tatapan penuh kepedulian serta memanfaatkan
kesempatan kala dituntut mengolah emosi lebih lanjut. Tissa seperti biasa, selalu
memberikan warna dan tak terjebak monotonitas dalam menangani situasi apa saja,
bahkan yang sederhana sekalipun. Malah Kiki Narendra selaku penampil
paling senior di sini yang agak mengganggu. Mau tidak mau perbandingan sulit
dihindari. Ketika Verdi Solaiman begitu natural membawakan sosok Koh Jul yang
selalu berapi-api melontarkan kalimat-kalimat inspiratif, Koh Jul versi Kiki bagaikan
karikatur.
Melewati pertengahan durasi, Anak Garuda mengembangkan cakupan
kisahnya ketika ketujuh tim SPI berkesempatan melakukan perjalanan ke Eropa.
Sayangnya, perjalanan yang telah mereka cita-citakan sejak lama ini terganggu
oleh masalah interpersonal yang belum juga usai. Benarkah? Sebab sering muncul
inkonsistensi berulang terkait persoalan itu. Di satu titik mereka tertawa bersama,
kemudian bertengkar, lalu bertingkah seolah tidak ada masalah, sebelum akhirnya
mendadak perpecahan mencapai puncak.
Perjalanan ke Eropa dimaksudkan
sebagai puncak tantangan sekaligus emosi filmnya. Seperti kebanyakan road trip, harapan para pembuatnya, ada
makna yang tersimpan dan bukan sekadar jalan-jalan biasa. Harapan itu gagal
terwujud akibat inkonsistensi tadi. Pun sepertinya Rizky Mocil terlalu total
memerankan Roy si pemandu menyebalkan sehingga perjalanan ini juga tak terasa
nyaman untuk diikuti.
Tentu semua akhirnya bakal berakhir
bahagia, karakternya akan berbaikan sementara Koh Jul mengungkapkan kebanggaannya.
Koh Jul menyebut bahwa di matanya, anak-anak didiknya itu merupakan keajaiban.
Kenapa? Atas dasar apa? Karena mereka bermalam di jalanan Paris sambil menunggu
Menara Eiffel buka? Karena mereka terus bertengkar dan saling menyalahkan
bahkan setelah Koh Jul berkali-kali memberi petuah? Saya tidak menemukan
keajaiban apa pun.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar