Tampilkan postingan dengan label Kiki Narendra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kiki Narendra. Tampilkan semua postingan

REVIEW - PENGABDI SETAN 2: COMMUNION

First, let me address the elephant in the room: 'Pengabdi Setan 2: Communion' is not as good as the first movie. Tapi rasanya Joko Anwar menyadari itu. Sadar bahwa ada harga yang mesti dibayar dalam upaya melahirkan crowd-pleaser horror, sekaligus sekuel yang (sebagaimana wajarnya sebuah sekuel) tampil lebih besar dibanding pendahulunya. 

Joko membuka kisahnya dengan flashback ke tahun 1955, mengikuti penemuan mencengangkan Budiman (Egy Fedli), yang langsung menegaskan bahwa peristiwa film pertama hanya puncak gunung es dari intrik yang lebih besar. Jauh lebih besar, juga lebih jahat. Pengabdi Setan 2: Communion membawa aroma kejahatan yang teramat pekat, sampai dunianya terasa tak lagi mampu mendefinisikan "harapan". 

Lalu kita dibawa kembali ke tahun 1984, melihat bagaimana Rini (Tara Basro), bersama kedua adiknya, Toni (Endy Arfian) dan Bondi (Nasar Anuz), serta si bapak, Bahri (Bront Palarae), berusaha lepas dari trauma akibat tragedi tiga tahun lalu. Mereka kini tinggal di rumah susun kumuh (bukan rumah susun di akhir film pertama) di area pinggir laut yang terpisah dari pemukiman penduduk. Rusun yang memutar Rayuan Pulau Kelapa tiap malam menjelang (semasa kecil, saya menganggap lagu ini adalah pertanda para hantu siap beraktivitas)

Kita turut diajak berkenalan dengan beberapa tetangga: Tari (Ratu Felisha sebagai penampil terbaik) yang kerap jadi korban gosip akibat selalu bekerja di malam hari; Dino (Jourdy Pranata) si pemuda begajulan yang sering menggoda Tari; Wisnu (Muzakki Ramdhan) yang tinggal berdua bersama ibunya yang bisu (Mian Tiara); serta Ari (Fatih Unru), teman Bondi yang punya ayah abusive. 

Buruknya kondisi rusun bukan cuma kepentingan estetika atau amunisi membangun atmosfer, pula cara Joko menyentil isu seputar kesejahteraan rakyat. Rusun kumuh pinggir laut, dibangun di atas kondisi tanah jauh dari ideal, sehingga terendam banjir ketika diterjang badai. Ditambah kabar mengenai aksi para petrus, lengkap sudah kengerian dalam hidup orang-orang. 

Hidup di Indonesia, apalagi bila terjerat kemiskinan, nyatanya tidak kalah mengerikan dan mematikan ketimbang menghadapi setan. Terdapat satu sekuen yang bakal terus dibicarakan di masa mendatang berkat kombinasi antara kebrutalan tanpa pandang bulu, dengan kepiawaian Joko terkait build-up menuju "menu utama". Bagi saya, momen yang juga bertindak selaku pemicu segala teror di rusun itulah titik paling menyeramkan di film ini. Karena tanpa campur tangan supernatural sekalipun, tragedi tersebut masih dapat terjadi akibat ketidakbecusan pemerintah menyediakan hunian layak. Sungguh momen yang "jahat". 

Setelahnya, Pengabdi Setan 2: Communion menolak berhenti menginjak pedal gas. Bayangkan The Raid, tapi walau sama-sama berlatar gedung bertingkat, adegan aksi digantikan oleh jump scare. Joko memilih mengesampingkan eksplorasi semestanya, mengisi second act dengan barisan penampakan tanpa henti. 

Memang agak disayangkan, pasca opening luar biasa kuat, ditambah beberapa kreativitas naskah mengaitkan mitologinya dengan elemen-elemen dunia nyata (petrus, Konferensi Asia-Afrika), ceritanya bak cuma jembatan menuju klimaks di film ketiga. Tapi seperti telah saya singgung di awal tulisan, rasanya ini adalah pilihan yang disadari, lalu diambil atas nama memperbesar sekuelnya, minimal dari sudut pandang spektakel. 

Joko mengerahkan segala daya upaya, tata artistik mendukung terciptanya nuansa atmosferik, pun fakta bahwa filmnya tetap nyaman dilihat biarpun didominasi kegelapan wajib diberi pujian, namun kesan repetitif sukar dihindari tatkala kuantitas jump scare digandakan. Bukan berarti digarap asal-asalan, sebab beberapa teror cerdik masih dapat ditemui. Adegan Tari salat menerapkan trik sederhana tetapi efektif, daya kejut kreatif mampu dimunculkan dalam pemandangan yang melibatkan Dino dan sehelai kain, sementara Joko menampilkan pemandangan disturbing dalam momen "ibu hamil" yang jadi kekhasan sang sineas.

Bukan film Joko Anwar namanya kalau tak menemukan celah untuk melucu di tengah segala teror brutal. Serupa tugasnya di dua film Ghost Writer, Iqbal Sulaiman kembali sukses memancing tawa (karakternya bernama Darto, sama seperti karakter Endy Arfian di Ghost Writer). Joko juga membawa sentilannya terhadap figur pemuka agama secara lebih jauh. Ustaz Mahmud (Kiki Narendra) adalah sosok yang kerap memancing rasa geli melalui ketenangan berlebihnya (kalau tak mau disebut "naif"). Bagai orang yang selalu berkata, "Tenang, semua ada jalan keluarnya", tapi tidak sanggup menemukan jalan keluar saat benar-benar menemui masalah.

Ya, Pengabdi Setan 2: Communion merupakan penurunan. Rewatch value-nya pun berkurang karena pengesampingan cerita membuatnya takkan menyulut diskusi dan keliaran berteori sebanyak film pertama (walau petunjuk terkait identitas Batara (Fachri Albar) dan Darminah (Asmara Abigail) bisa memancing beberapa obrolan menarik). Tapi ini tetap crowd-pleaser yang ampuh, sekaligus horor Indonesia terbaik 2022 sejauh ini. Standar yang dipasang pendahulunya memang luar biasa tinggi. 

REVIEW - KKN DI DESA PENARI

Sudah mundur berkali-kali sejak rencana awal penayangan 19 Maret 2020, nyatanya KKN Di Desa Penari tetap dibanjiri penonton (angka sejuta bakal dicapai sebelum seminggu). Apa yang membuatnya fenomenal? Utas viral di Twitter yang disampaikan SimpleMan efektif karena ada "kedekatan". Sebab sebelum ini pun, peristiwa mistis di tengah KKN, termasuk yang melibatkan kemesuman mahasiswa, sudah kerap mengisi obrolan. 

Kedekatan itu memudahkan pembaca mengasosiasikan diri dengan nasib tokoh-tokohnya, baik yang jadi "korban langsung", maupun mereka yang terkena dampak perbuatan kawan-kawannya. Kedekatan itu lenyap dari adaptasi layar lebar buatan Awi Suryadi, yang cuma tertarik memvisualkan petikan-petikan tweet SimpleMan layaknya sketsa, ketimbang membangun keutuhan dunianya.

Setelah mendapat persetujuan Pak Prabu (Kiki Narendra) selaku kades, entam mahasiswa menjalankan KKN di sebuah desa terpencil. Nur (Tissa Biani), Bima (Achmad Megantara), Ayu (Aghniny Haque), Widya (Adinda Thomas), Anton (Calvin Jeremy), dan Wahyu (M. Fajar Nugraha), mulai melaksanakan proker, meski sejak kedatangan sudah mencium aroma ketidakberesan. 

Saya jarang mengharapkan penokohan solid di film horor, tapi tanpanya, kekuatan KKN Di Desa Penari berkurang drastis. Sedikit melompat, film ini mempunyai third act kuat (belongs in a better movie) berisi tarian intens (performa Aghniny Haque yang di sepanjang film biasa saja, tiba-tiba melonjak di titik ini) dan konklusi yang mengincar rasa tragis. Masalahnya, tidak satu pun individu diberi penokohan jelas, interaksi kurang digali, apa yang dikerjakan selama KKN juga entah apa. Sulit terkoneksi dengan karakternya, dan tanpa koneksi, tiada sense of tragedy.

Naskahnya ditulis oleh Lele Laila, yang jadi langganan Awi Suryadi dalam semua keterlibatannya di seri Danur sebagai sutradara. Berkaca dari masa lalu, mudah menebak pendekatan kolaborasi keduanya: kompilasi teror. Naskahnya mengadaptasi utas SimpleMan secara apa adanya, tanpa usaha menjalin penceritaan secara utuh. 

Gaya pengarahan Awi untuk KKN Di Desa Penari cenderung lebih dekat ke Asih ketimbang trilogi Danur. Tempo lambat di awal guna menciptakan atmosfer, sembari menghindari kebisingan jump scareHarus diakui, gaya di atas, ditambah biaya tinggi yang memfasilitasi "hobi" sang sutradara tampil stylish (camerawork, efek transisi), menjauhkan film ini dari kesan murahan. Tapi menjadi percuma tatkala masih menyamakan "alur" dengan "kompilasi teror". 

Sebuah sekuen cocok dijadikan gambaran mengapa KKN Di Desa Penari cocok disebut "kompilasi teror" atau "sketsa horor". Nur dan Widya hendak bergantian mandi. Nur masuk lebih dulu, namun akhirnya mengurungkan niat mandi gara-gara melihat genderuwo. Widya lebih beruntung. Dia sempat mandi (kalau "berkali-kali mengguyurkan air ke satu tempat" bisa disebut "mandi"), sebelum dikunjungi oleh Badarawuhi (Aulia Sarah) si hantu penari. 

Repetisi ala sketsanya makin terasa akibat presentasi setiap penampakan tak seberapa berkesan, walau sekali lagi, biaya tinggi menguatkan kualitas elemen artistik, termasuk tata rias meyakinkan saat Badarawuhi muncul dengan wujud aslinya. 

Hasilnya akan lain apabila di sela-sela waktu tersebut penonton berhasil dibuat terkoneksi dengan tokoh-tokohnya, sekaligus diajak ikut tenggelam dalam pertanyaan serta ketidakberdayaan mereka. Kisahnya selalu lebih menarik tatkala Pak Prabu menyinggung sedikit demi sedikit masa lalu kelam desanya, atau ketika Mbah Buyut (Diding Boneng) berbagi sekilas ilmu mengenai mistisisme. Alias, tersimpan setumpuk potensi berbentuk cerita perihal kepercayaan mistis khas daerah Indonesia, yang dibiarkan terkubur tanpa sering dijamah oleh filmnya. 

REVIEW - KUKIRA KAU RUMAH

Ada kekhawatiran sebelum menonton adaptasi lagu berjudul sama milik Amigdala ini. Perihal kesehatan mental (dalam konteks film ini, bipolar) amat penting, tapi jika ditangani secara keliru, justru bisa melanggengkan stigma negatif dan kesalahan-kesalahan persepsi publik awam. Untungnya Kukira Kau Rumah, selaku debut penyutradaraan Umay Shahab (juga menulis naskah bersama Monty Tiwa dan Imam Salimy), dibuat dengan ketepatan, didasari kesadaran atas urgensi temanya. 

Karena bipolar yang ia derita, Niskala (Prilly Latuconsina) merasa hidup dalam kurungan. Biarpun sang ibu (Unique Priscilla) cenderung suportif, ayahnya (Kiki Narendra) bersikap sangat protektif. Bahkan Niskala mesti berkuliah secara diam-diam di belakang sang ayah. Kedua sahabatnya sejak kecil, Dinda (Shenina Cinnamon) dan Oktavianus (Raim Laode), jadi pemberi kekuatan terbesar, yang senantiasa mendukung dan menjaga Niskala. 

Lalu Niskala bertemu Pram (Jourdy Pranata), seniornya di kampus, sekaligus aspiring singer yang rutin menulis lagu, namun belum mendapat kesempatan memperdengarkannya ke khalayak. Serupa Niskala, Pram juga merasakan lubang di hidupnya. Dua individu yang akrab dengan sepi ini pun akhirnya saling mengisi lewat musik, kemudian menemukan "rumah" dalam diri satu sama lain.

Alurnya memang tidak jauh-jauh beranjak dari formula romansa tentang sepasang individu "bermasalah" yang bersatu lalu saling menguatkan. Tapi bagaimana elemen kesehatan mental diterapkan, tanpa harus jatuh ke ranah iklan layanan masyarakat, adalah suatu pencapaian. Apalagi, seperti saya singgung di atas, penggambarannya akan bipolar tergolong tepat.

Memang presentasinya masih di tataran permukaan, namun mengingat masih rendahnya pemahaman masyarakat kita mengenai bipolar, "perkenalan" seperti ini saja rasanya sudah memadai. Salah satu poin terpenting adalah pengenalan dua sisi, yakni manik dan depresif, pada pengidap bipolar.

Masih banyak yang mendefinisikan bipolar sebagai "mudah ngamuk". Kukira Kau Rumah meluruskannya lewat sebuah sekuen, kala suasana hati Niskala berubah secara ekstrim, dari luapan emosi tinggi (mania) ke rendah (depresi). Sebagai sutradara dan penulis, Umay tahu batasan antara "informatif" dan "iklan layanan masyarakat". Dia memotret kondisi karakternya, menampilkannya, tanpa dibumbui penjabaran cerewet bak sebuah kelas. 

Sedangkan kisah cintanya pun mampu tampil solid. Saya terpikat pada momen kali pertama Niskala dan Pram berduet di atas panggung. Selain karena lagu Belenggu memang manis (bukan cuma titular song milik Amigdala, Kukira Kau Rumah punya deretan soundtrack apik, yang beberapa di antaranya buatan Umay sendiri), Prilly dan Jourdy pun saling berbagi rasa, melahirkan momen yang berhasil ditangkap oleh sang sutradara berkat sensitivitasnya atas romantisme. 

Prilly luar biasa di sini, memamerkan totalitas dengan range yang cukup luas, guna menghidupkan dua sisi pengidap bipolar. Juga kuat dalam mengolah rasa walau dengan porsi kemunculan terbatas adalah Unique Priscilla dan Kiki Narendra. Unique melalui kehangatan, sedangkan Kiki sejak awal bak gunung berapi, yang kita tahu nantinya bakal meletus, pula dengan kadar letusan tidak main-main.

Solidnya presentasi Kukira Kau Rumah sayangnya agak terganggu oleh cara konklusinya dikemas. Di situ terjadi peristiwa mengejutkan yang tak bisa saya sebut. Apakah peristiwa itu sebuah ketidaksengajaan? Atau memang disengaja? Jika disengaja, apa alasan di belakangnya? Dampak emosi berkurang, bahkan memunculkan kebingungan, akibat kurang jelasnya penyampaian gejolak batin salah satu tokoh (bukan cuma di peristiwa itu, juga di keseluruhan cerita), baik di naskah maupun cara Umay merangkai bahasa visual. 

Kekurangan tersebut hadir pada babak konklusi, sehingga berdampak cukup besar (ending can make or break a movie). Tapi tidak mengurangi fakta, bahwa Kukira Kau Rumah, selain dieksekusi dengan solid, juga penting disimak, guna memperluas pemahaman seputar kesehatan mental, khususnya bipolar. 

(JAFF 2021)

REVIEW - PREMAN

Menengok posternya, saya mengira Preman adalah drama kriminal kelam nan serius. Memang betul, naskah yang ditulis sendiri oleh sang sutradara, Randolph Zaini, menyinggung isu-isu "berat" seperti premanisme, trauma, bullying, toxic masculinity, hingga homofobia, tetapi dengan pendekatan luar biasa menyenangkan. Tidak ada film Indonesia tahun ini yang seasyik dan seliar Preman perihal eksplorasi genre.

Ketimbang drama kriminal biasa, ini lebih dekat ke b-movie, ke film-film eksploitasi grindhouse, berisi tokoh-tokoh bigger-than-life, kekerasan, dan kebodohan disengaja, yang akan dengan senang hati diterima penonton, karena ada kecerdasan yang jauh lebih besar di sini. 

Diiringi lagu yang mengingatkan kepada Far From Any Road milik The Handsome Family, kita melihat seorang pria tuli bernama Sandi (Khiva Iskak), mengawali hari. Dia adalah anggota Perkasa, organisasi preman dengan warna kebesaran oranye, yang tengah menggusur paksa warga kampung, guna merealisasikan proyek pemilik modal. Tidak perlu saya sebut, pasti anda tahu Perkasa merupakan sentilan terhadap salah satu ormas negeri ini. 

Perkasa dikepalai oleh Guru (Kiki Narendra) yang...well, adalah seorang guru di SD tempat Pandu (Muzakki Ramdhan), putera Sandi, bersekolah. Suatu malam, ketika Pandu menyaksikan aksi premanisme Perkasa yang kali ini merenggut nyawa, Sandi harus membelot, melawan organisasinya sendiri. 

Pengkhianatan Sandi membuka gerbang menuju dunia sarat mitologi menarik, pula tokoh-tokoh penuh warna, dari seorang pejabat bernama Hanung (David Saragih) yang alih-alih bicara malah menggeram bak macan,  Paul (Paul Agusta) si anggota Perkasa yang hobi menari dan bercita-cita membuat musikal, hingga Ramon (Revaldo) alias "Tukang Cukur", pembunuh bayaran yang seperti julukannya, menghabisi korban menggunakan gunting cukur. 

Menarik. Sangat menarik. Randolph bak profesor gila yang menemukan laboratorium tempatnya bisa bereksperimen sesuka hati, menciptakan formula yang mampu membuat penontonnya tersenyum lebar selama 81 menit durasi film. 

Merumuskan aksi bersama sinematografernya, Xing-Mai Deng, pilihan angle Randolph mungkin tidak selalu tepat guna menangkap baku hantam yang terjadi, namun itu dapat dengan mudah dimaafkan berkat kreativitas di segala lini. Misal senjata. Jika Ramon memakai gunting cukur, maka protagonis kita membekali diri dengan meteor hammer buatan tangan (senjata Gogo di Kill Bill). 

Senjata unik berarti metode bertarung pun tak kalah unik, yang tampak betul dalam konfrontasi dua tokoh tersebut, yang terjadi di rumah Mayang (Putri Ayudya), mantan istri Sandi. Rumah Mayang pun membawa sang sutradara menyambangi genre lain. Sebuah gubuk kayu kecil di tengah hamparan padang tandus, membuatnya tampak berasal dari film western. 

Sebagai grindhouse, tentu kekerasan dimiliki Preman. Tapi Randolph tahu kalau sedang membuat film bagi pasar Indonesia. Bila menyasar bioskop, kekerasan berlebih yang susah-susah diciptakan bakal percuma. Kembali, kreativitas mengambil alih. Randolph cerdik "mengakali" sensor, entah dengan membuat impact serangan terjadi secara off-screen tanpa melucuti kebrutalan, atau menggunakan barang pengganti untuk tubuh serta darah, sebagaimana diperlihatkan klimaksnya. Klimaks berbalut lagu Cublak Cublak Suweng yang sukses memancing kekaguman, bahkan tepuk tangan penonton festival tempatnya diputar. 

Deretan karakter unik milik Preman turut dihidupkan oleh ensemble cast yang seluruhnya tampil gemilang, tetapi porosnya tetap terletak pada dua nama, yakni Khiva dan Muzakki. Lihat adegan di sawah, dan anda akan dibuat terpukau oleh kehebatan Muzakki bermain emosi lewat ekspresi serta bahasa isyarat. 

Sedangkan Khiva Iskak akhirnya memperoleh peran yang memfasilitasi talenta besarnya. Tanpa tuturan verbal, dihidupkannya Sandi, selaku perwujudan luka-luka yang ditimbun oleh pola pikir terbelakang negeri ini. Sandi mencari kekerasan, karena hanya itu cara yang ia tahu, sebagai individu hasil bentukan budaya pemuja maskulinitas, di mana kejantanan dipuja. Budaya di mana kekuatan kepalan tangan lebih diunggulkan daripada kemanusiaan berperasaan, sehingga melestarikan persekusi para preman. 

(JAFF 2021)

REVIEW - GURU-GURU GOKIL

Guru-Guru Gokil menandai beberapa hal. Inilah film panjang Indonesia perdana yang rilis selepas pandemi, sekaligus jadi yang pertama mengubah perilisan layar ke layanan streaming (berikutnya judul-judul MD dan Falcon bakal mengambil langkah serupa di Disney+ Hotstar). Pun ini menandai debut Dian Sastrowardoyo sebagai produser, di samping turut meramaikan jajaran cast filmnya. Jajaran trivia di atas sudah secara otomatis membuat filmnya tercatat di buku sejarah perjalanan industri perfilman tanah air. 

Tapi apabila khusus membicarakan pencapaian dari sisi kualitas, apakah Guru-Guru Gokil juga spesial? Film keempat sutradara Sammaria Simanjuntak (Cin(T)a, Demi Ucok, Sesat) ini sebenarnya serupa dengan komedi-komedi ringan yang membanjiri layar bioskop kita tiap Kamis, mampu menghibur lewat beberapa tawa sepanjang durasi, namun penceritaan yang kurang solid membuatnya mudah terlupakan. Tapi tidak bisa dipungkiri, Guru-Guru Gokil sedikit mengobati kerinduan atas karya teranyar sineas tanah air, setelah absen sekitar lima bulan lamanya. 

Gading Marten memerankan Taat Pribadi, pria kampung yang nekat mengadu nasib ke ibukota, akibat enggan mengikuti jejak ayahnya, Pak Purnama (Arswendi Bening Swara), yang berprofesi sebagai guru. Dia susah memahami, mengapa ayahnya, bukan cuma betah mengajar di kampung dengan gaji minim, juga menikmatinya. Pak Purnama adalah guru favorit, yang mana membuat puteranya bertanya, kenapa sang ayah seolah lebih memedulikan dan mendengarkan murid-murid ketimbang anaknya sendiri?

Sayang, sebagaimana banyak perantau, Taat mengalami kegagalan. Tanpa ijazah apalagi uang, ia terpaksa pulang kampung. Dasar nasib, usahanya mencari pekerjaan justru membawa Taat menjadi guru sejarah pengganti di SMA sang ayah. Tentu Taat tidak sedikitpun mengerti sejarah, pula metode mengajar. Tapi bukan cuma itu masalahnya. Suatu sore, dua perampok membawa kabur gaji para guru. Pelakunya adalah anak buah Pak Le (Kiki Narendra), mafia setempat yang memiliki banyak "jaringan" sehingga susah diringkus tanpa bukti kuat. 

Taat berinisiatif mengusut kasus itu bersama tiga guru lain: Rahayu (Faradina Mufti) si guru matematika merangkap kepala tata usaha merangkap penjaga perpustakaan (plus mantan satpam sekolah); Nirmala (Dian Sastrowardoyo) si guru kimia yang tengah hamil tua, dan biarpun cerdas, gampang kehilangan fokus; Nelson (Boris Bokir) yang diam-diam menyukai Nirmala.

Tentu saja terjalin subplot romansa antara Taat dan Rahayu, yang hadir memuaskan berkat dinamika menarik Gading-Faradina dalam memerankan dua individu bertolak belakang. Taat selalu bercanda, sedangkan Rahayu ibarat "rem" yang menahan ketidakseriusan Taat. Ada romantisme manis yang subtil kala Rahayu memelototi Taat, karena si "guru gokil" tidak bisa menjaga mulutnya. Sebuah tatapan yang hanya bisa muncul saat dinding pembatas antara dua individu mulai runtuh, atau malah sudah sepenuhnya hilang.

Berbeda dengan Rahayu, saya tak mengeluh ketika Taat, maupun tokoh-tokoh lain, silih berganti menampilkan tingkah yang memancing tawa. Di situlah kekuatan utama Guru-Guru Gokil. Talenta Gading tak perlu diragukan. Materi-materi yang bisa berakhir cringey (sewaktu Taat menggoda Rahayu sambil mencuci piring misal) dijadikannya jenaka. Tapi tidak ada pencuri perhatian sebesar Dian Sastrowardoyo, dengan jerawat memenuhi wajah, dan keluhan-keluhan soal rengginang. Menghibur. 

Tapi Guru-Guru Gokil ingin berakhir lebih dari sekadar menghibur. Ada nilai-nilai soal guru selaku pahlawan tanpa tanda jasa. Ada hubungan guru dan guru, guru dan murid, pula ayah dan anak. Ada banyak hal. Terlalu banyak, sampai naskah buatan Rahabi Mandra (Hijab, Night Bus) kewalahan menyatukannya. Filmnya berusaha menekankan kegokilan para guru, sampai lupa menggambarkan mereka sebagai guru yang berbagi setumpuk pelajaran serta kebersamaan berharga dengan para murid, agar babak ketiganya, tatkala kedua pihak akhirnya bersatu, punya dampak emosi. Satu sesi memecahkan bentuk tato yang bergulir singkat tidaklah cukup.

Kenapa Pak Purnama (dan banyak guru lain) bahagia menjalani profesi mereka? Taat menanyakan itu. Mungkin sebagian dari penonton pun demikian. Filmnya berhasil memberi jawaban. Apresiasi para murid merupakan alasannya. Tapi, walau adegan saat Taat menerima hadiah "kecil" dari muridnya jadi pemandangan sederhana yang hangat (dibantu reaksi natural Gading), ada juga beberapa momen berlebihan yang dipaksa hadir demi menguatkan pesan tersebut. Murid SMA mana yang sedemikian mencintai suatu pelajaran hingga serempak bersorak dan bertepuk tangan dalam kelas? 

Sedangkan subplot ayah dan anak, meski menyimpan permasalahan serupa soal minimnya porsi eksplorasi, setidaknya memberikan resolusi emosional berkat kepiawaian kedua pemerannya menyampaikan rasa. Arswendi secara subtil melalui mata yang berbicara banyak mengenai isi hati, sedangkan Gading lebih "meledak". Hasilnya saling melengkapi, mewakili dinamika seorang anak yang ingin didengar, dan ayah yang menyimpan harapan bercampur kekecewaan. 

Di departemen akting lain, Asri Welas tampil lebih serius. Hasilnya cukup solid, meski di antara kekonyolan-kekonyolan filmnya, pilihan itu terasa menyia-nyiakan potensi. Sementara, setelah kemunculan singkat nan berkesan di Perempuan Tanah Jahanam, akhirnya Faradina mendapat kesempatan melakoni peran utama. Kesempatan yang dimanfaatkan secara maksimal lewat kemampuan memberikan warna bagi sosok Rahayu, membuatnya tak tenggelam berdiri di samping tokoh-tokoh yang jauh lebih "gila". 

Available on NETFLIX

ANAK GARUDA (2020)

Anak Garuda merupakan satu lagi film mengenai sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) setelah Say I Love You bulan Juli tahun lalu. Menariknya, meski seluruh pemerannya berbeda, kursi penyutradaraan sama-sama diduduki oleh Faozan Rizal, naskahnya tetap ditulis Alim Sudio, sementara Verdi Solaiman beralih peran dari aktor ke produser. Ceritanya sendiri mengambil timeline selepas “pendahulunya” tersebut, sehingga wajar bila anda mengira film ini adalah sekuel. Tapi tidak. Keduanya tanpa kaitan, walau kualitasnya tidak jauh beda.

Sheren (Rania Putrisari), Olfa (Clairine Clay), Wayan (Geraldy Kreckhoff), Dilla (Rebecca Klopper), Sayyida (Tissa Biani), Yohana (Violla Georgie), dan Robet (Ajil Ditto) adalah ketujuh tim SPI yang kini sudah lulus dan menjalankan pusat pembelajaran serta rekreasi Kampoeng Kidz. Walau sudah menjalankan bisnis sendiri, sesungguhnya mereka masih belum lepas dari ketergantungan pada sang mentor sekaligus pendiri SPI, Koh Jul (Kiki Narendra). Alhasil begitu Koh Jul pergi untuk sementara waktu, perpecahan mulai terjadi di antara ketujuh muda mudi ini.

Akibat naskah yang lalai menjembatani momen demi momen ditambah penyuntingan buruk, Anak Garuda tampil bak sketsa yang dijahit paksa, di mana tiap sketsa memperlihatkan bagaimana Rocky (Krisjiana Baharudin) si volunteer baru seolah berusaha mengadu domba anak-anak SPI. Rasanya seperti menonton kompilasi episode sebuah serial pendek berjudul “Kenakalan Rocky”. Mungkin Alim Sudio ingin memperlihatkan secara lengkap apa saja aksi Rocky, tapi ujungnya sebatas menghasilkan checklist permasalahan.

Pun bicara soal Rocky, saat akhirnya alasan di balik perbuatannya diungkap, yang muncul justru ketidaksinkronan alih-alih jawaban. Di sini saya membicarakan aspek psikis karakter, yang mestinya menjelaskan bagaimana faktor “A” menyulut tindakan “B, C, D” dan seterusnya. Hal itu tidak dilakukan, atau tepatnya, tidak dilakukan secara layak. Seolah penulis beranggapan jika masalah masa lalu atau luka hati seseorang bisa jadi alasan untuk membuatnya melakukan keburukan apa pun. Padahal tidak sesederhana dan seacak itu.

Setidaknya di tengah-tengah “invasi Rocky”, Anak Garuda masih menyenangkan diikuti berkat akting solid beberapa pemain utama yang konsisten menyuntikkan energi bagi jalannya cerita. Memerankan Olfa yang menyimpan kepedulian tinggi terhadap salah satu murid SPI yang mentalnya terganggu akibat trauma, Clairine bisa memberikan tatapan penuh kepedulian serta memanfaatkan kesempatan kala dituntut mengolah emosi lebih lanjut. Tissa seperti biasa, selalu memberikan warna dan tak terjebak monotonitas dalam menangani situasi apa saja, bahkan yang sederhana sekalipun. Malah Kiki Narendra selaku penampil paling senior di sini yang agak mengganggu. Mau tidak mau perbandingan sulit dihindari. Ketika Verdi Solaiman begitu natural membawakan sosok Koh Jul yang selalu berapi-api melontarkan kalimat-kalimat inspiratif, Koh Jul versi Kiki bagaikan karikatur.

Melewati pertengahan durasi, Anak Garuda mengembangkan cakupan kisahnya ketika ketujuh tim SPI berkesempatan melakukan perjalanan ke Eropa. Sayangnya, perjalanan yang telah mereka cita-citakan sejak lama ini terganggu oleh masalah interpersonal yang belum juga usai. Benarkah? Sebab sering muncul inkonsistensi berulang terkait persoalan itu. Di satu titik mereka tertawa bersama, kemudian bertengkar, lalu bertingkah seolah tidak ada masalah, sebelum akhirnya mendadak perpecahan mencapai puncak.

Perjalanan ke Eropa dimaksudkan sebagai puncak tantangan sekaligus emosi filmnya. Seperti kebanyakan road trip, harapan para pembuatnya, ada makna yang tersimpan dan bukan sekadar jalan-jalan biasa. Harapan itu gagal terwujud akibat inkonsistensi tadi. Pun sepertinya Rizky Mocil terlalu total memerankan Roy si pemandu menyebalkan sehingga perjalanan ini juga tak terasa nyaman untuk diikuti.

Tentu semua akhirnya bakal berakhir bahagia, karakternya akan berbaikan sementara Koh Jul mengungkapkan kebanggaannya. Koh Jul menyebut bahwa di matanya, anak-anak didiknya itu merupakan keajaiban. Kenapa? Atas dasar apa? Karena mereka bermalam di jalanan Paris sambil menunggu Menara Eiffel buka? Karena mereka terus bertengkar dan saling menyalahkan bahkan setelah Koh Jul berkali-kali memberi petuah? Saya tidak menemukan keajaiban apa pun.

SUZZANNA: BERNAPAS DALAM KUBUR (2018)

Judul film ini terdengar seperti gabungan antara Bernafas dalam Lumpur (1970) dan Beranak dalam Kubur (1971), dua film yang dibintangi Suzzanna Martha Frederika van Osch. Judul yang disebut pertama bukan horor, namun drama, yang konon merupakan film Indonesia pertama yang berani menonjolkan seksualitas, pemerkosaan, juga kata-kata kasar, dengan “sundel” alias “sundal” alias “pelacur” sebagai salah satunya. Menariknya, elemen-elemen plot Suzzanna: Bernapas dalam Kubur banyak mengambil inspirasi dari Sundel Bolong (1981).

Kebetulan? Sepertinya begitu. Tapi saya bakal percaya jika muncul pernyataan bahwa easter egg di atas adalah kesengajaan. Sebab orang-orang di balik Suzzanna: Bernapas dalam Kubur terbukti paham betul kriteria yang harus dipenuhi kala membuat “Film Suzzanna”. Ini bukan biopic, bukan pula remake, melainkan penghormatan yang dilakukan dengan benar, alih-alih sekedar usaha tak tahu malu guna mengeruk uang. Ini adalah ode yang menunjukkan betapa (warisan) Suzzanna masih menghembuskan napas terornya dari dalam kubur.

Pendekatan tersebut tampak dari pemilihan nama tokoh utama. Bukan Alicia, Lila, atau (yang paling tenar) Suketi, tapi Suzzanna, yang diperankan oleh Luna Maya dalam penjelmaan sempurna sebagai sang ratu horor. Dalam wujud manusia (a.k.a. sebelum bertransformasi menjadi sundel bolong), kita melihat Luna dalam balutan prostetik yang membuatnya bak kembaran Suzzanna, apalagi ditambah kefasihannya berlogat bak noni Belanda. Walau sesekali terdengar inkonsisten, Luna sebagai Suzzanna adalah pemandangan adiktif yang membuat saya lupa, jika butuh beberapa lama sebelum horor merangsek masuk.

Suzzanna dan sang suami, Satria (Herjunot Ali), menjalani kehidupan penuh cinta yang bahagia, khususnnya saat setelah tujuh tahun, momongan yang dinanti akhirnya tiba. Tapi jika mengenal film-film Suzzanna, tentu anda tahu ada tragedi bersiap mengacaukan kebahagiaan mereka. Tragedi yang hadir dalam wujud rencana empat karyawan Satria: Umar (Teuku Rifnu Wikana), Dudun (Alex Abbad), Jonal (Verdi Solaiman), dan Gino (Kiki Narendra). Mereka memutuskan merampok rumah Satria setelah permintaan naik gaji ditolak. Aksi itu dilangsungkan di tengah penugasan Satria ke Jepang, sementara Suzzanna sedang  menghabiskan malam Minggu menonton layar tancap. Ketika di luar dugaan Suzzanna pulang lebih awal, mereka berempat terpaksa membunuh, lalu menguburnya di pekarangan belakang rumah.

Keesokan paginya ia terbangun, seolah baru bermimpi buruk seperti biasa. Sebuah keputusan berani dari naskah karya Bene Dion Rajagukguk (Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 & 2, Stip & Pensil) yang dibuat berdasarkan cerita buatannya bersama Sunil Soraya (Supernova: Ksatria, Putri, & Bintang Jatuh, Single) dan Ferry Lesmana (Danur: I Can See Ghosts). Sekilas absurd, tapi—dalam kasus langka di film horor kita—Bene menyusun aturan-aturan soal apa yang bisa/tidak bisa sundel bolong lakukan, alasan ia melakukan “A” daripada “B”, dan sebagainya. Jumlahnya bisa dihitung jari, tak seberapa kompleks, tapi Bene terus konsisten membangun alur berdasarkan aturan yang ia tetapkan.

Film-film Suzzanna dahulu adalah wujud totalitas hiburan, yang meski punya tujuan utama menakut-nakuti, menolak malu-malu menyentuh ranah kekonyolan, baik melalui komedi maupun cara metode membunuh over-the-top dari sundel bolong. Sebuah hiburan paket lengkap bagi semua kalangan yang seru disaksikan beramai-ramai, baik di studio bioskop atau layar tancap di tengah lapangan kampung. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur mengusung tujuan serupa, sehingga diselipkanlah komedi, yang penghantarannnya dilimpahkan pada trio Asri Welas, Opie Kumis, Ence Bagus.

Ketiganya memerankan pembantu Suzzanna. Di satu kesempatan, mereka mecurigai jati diri si majikan, dan memulai penyelidikan yang berujung pada momen paling jenaka sepanjang film. Khususnya Opie Kumis dengan kepiawaian melontarkan celotehan-celotehan absurd yang kelucuannya sukar ditampik. Opie memang komedian berbakat yang butuh lebih banyak tampil di film apik macam ini ketimbang judul-judul seperti Humor Baper (2016) atau Selebgram (2017).

Suzzanna: Bernapas dalam Kubur memang hendak mengikuti formula horor Suzzanna masa lalu, namun juga berfungsi selaku modernisasi. Daripada b-movie, pendekatan lebih “besar” diterapkan, yang mana dapat kita sadari hanya dengan sekilas mengamati tata artistik dan sinematografi garapan Ipung Rachmat Syaiful (Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Rudy Habibie). Ketika Suzzanna memeriksa seisi rumahnya sewaktu perampokan berlangsung, kameranya bergerak mulus, menyapu seisi ruangan lewat single take untuk memperlihatkan keempat perampok di persembunyian masing-masing. Sedangkan musik gubahan Andhika Triyadi (Dilan 1990, Dear Nathan, Cek Toko Sebelah) terdengar megah sebagai cara mewah menyusun tensi dramatis, yang sayangnya kurang berdampak akibat lemahnya performa aktor utama.

Bentuk modernisasi lainnya adalah ditiadakannya cara membunuh cartoonish, lalu sebagai gantinya, menambah kadar gore. Seberapa pun saya rindu melihat sundel bolong mengendarai mobil atau traktor, harus diakui, pemandangan tersebut akan sulit diterima penonton kekinian. Setidaknya Suzzanna: Bernapas dalam Kubur masih memberi kepuasan serupa kala memperlihatkan setan yang punya peran cenderung heroik ketimbang makhluk kejam, menegakkan keadilan dengan caranya. She’s a supranatural vigilante. Tatkala dunia nyata kerap membebaskan para pelaku kejahatan terhadap wanita dari hukuman, menyaksikan mereka menerima penghakiman di sini jelas menyenangkan.

Aspek horornya memang tak seberapa mengerikan. Mungkin karena sundel bolong tak pernah menampakkan diri di lingkungan yang familiar untuk menghantui “rakyat biasa” (pinggir jalan, perkampungan, dll.) sehingga terornya kurang terasa dekat, atau mungkin, karena Suzzanna sendiri punya aura mistis tak tertandingi. Luna Maya sendiri mengeluarkan kemampuan terbaiknya sebagai sundel bolong dengan tawa menyayat telinga dan mata yang melotot begitu lebar, seolah menatapnya dapat menyebabkan kematian.

Awalnya film ini disutradarai Anggy Umbara (Comic 8, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, Insya Allah Sah 2) seorang, namun pasca suatu peristiwa (yang tak bisa saya ungkap), Rocky Soraya (The Doll, Sabrina) bergabung, berbagi kredit penyutradaraan. Sulit memilah mana hasil kerja Rocky mana Anggy, sehingga saya memutuskan menganggapnya sama rata. Pergerakan ceritanya mulus, menyebabkan alurnya nyaman dinikmati mesti suguhan utamanya tak langsung muncul. Urusan membangun teror, kadang kita diajak berdiam terlalu lama di satu momen sampai intensitasnya turun drastis, tapi siapa pun yang menggarap klimaks, khususnya adegan “Kebangkitan sundel bolong”, layak dipuji atas kemampuan mencuatkan keindahan dari dramatisasi teror. Tonton film ini, nikmati perjalanannnya, kemudian mari menanti, apakah ular di atas pohon itu cuma ular biasa atau petunjuk mengenai reboot untuk.....