NYANYIAN AKAR RUMPUT (2020)
Rasyidharry
Januari 16, 2020
Cukup
,
Documentary
,
Indonesian Film
,
REVIEW
,
Yuda Kurniawan
2 komentar
Dari tangan Yuda Kurniawan, sineas
di balik lahirnya Balada Bala Sinema (2017, review)
yang membuka banyak pemahaman soal skena komunitas film Purbalingga, lahir satu
lagi dokumenter berjudul Nyanyian Akar
Rumput. Mengupas kehidupan Fajar Merah selaku putera Wiji Thukul sembari
menggaungkan semangat “Menolak Lupa”, perihal urgensi, saya tidak sanksi.
Sampai kapan pun hal ini harus terus disampaikan. Sayangnya kekurangmatangan
pengolahan materi kisah jadi masalah.
Awalnya sentral kisah adalah
mengenai kompleksitas fase tumbuh kembang Fajar, kala ia terjebak di antara
pertanyaan mengenai ketiadaan Wiji Thukul yang kemudian memancing kemarahan,
dengan puja-puji orang luar terhadap sang ayah. Mereka menggambarkan Wiji
Thukul sebagai pahlawan tanpa cela, sedangkan bagi Fajar, dia adalah sosok
orang tua yang absen. Sampai timbul keinginan mengenal lebih jauh melalui puis ayahnya,
yang akhirnya mendorong Fajar menjadikan puisi-puisi tersebut lirik lagu band
miliknya, Merah Bercerita. Pun kita diperlihatkan kondisi keluarga Wiji Thukul
lain, seperti puterinya, Wani, yang terus aktif membaca puisi sebagai bentuk kolaborasi
dengan Merah Bercerita, sementara Sipon, sang istri, yang sejak menghilangnya
Thukul, dihantam tekanan psikis luar biasa.
Andai keintiman kaya dinamika emosi
itu yang terus diperdalam. Nyanyian Akar
Rumput mempersembahkan pemandangan menusuk saat lewat selipan rekaman acara
penganugerahan penghargaan untuk Wiji Thukul pada 2002. Di sana, Wani yang
masih belia membacakan puisi sambil berurai air mata, mempertanyakan kenapa
sang ayah tak kunjung pulang, sedangkan Sipon jatuh tak berdaya. Momen tersebut
sempurna memotret betapa kehilangan—apalagi jika dibarengi ketidakpastian—dapat
menghancurkan.
Berikutnya perjalanan Fajar bersama
Merah Bercerita disoroti, di mana Yuda berniat menelusuri benang merah antara
karya-karya Wiji Thukul dan puteranya. Berdasarkan penuturan Sipon, kita tahu
bahwa berbeda dari ekspresi puisi Thukul yang meneriakkan amarah dan memantik semangat
perjuangan, pendekatan Fajar terhadap musiknya cenderung kental romantisme
tanpa menghilangkan sikap kritis. Dan kita bisa mengonfirmasinya begitu
mendengar deretan lagu Merah Bercerita, yang sepanjang durasi memberkati
telinga kita dengan api perlawanan yang kerap terkesan pilu.
Penonton bisa memastikan, “Ya,
keduanya berbeda”. Tapi kenapa? Filmnya gagal menjabarkan dinamika proses
berkarya itu, yang bila diperdalam, bakal memunculkan pemahaman lebih lanjut
mengenai si pembuat karya. “Bukankah sudah jelas semua itu dipicu luka-luka
Fajar sejak kecil?”. Mungkin benar, namun di titik ini, pernyataan itu sekadar
asumsi. Wiji Thukul juga terluka. Fajar Merah pun ingin melawan. Jadi mengapa
keduanya berbeda?
Mencapai pertengahan durasi, Nyanyian Akar Rumput, sebagaimana judulnya,
membiarkan lagu-lagu Fajar berbicara, sehingga lebih sering memperlihatkan
Merah Bercerita memainkan lagu mereka, baik di atas panggung, studio rekaman,
maupun di rumah Fajar. Keputusan bijak, sebab pendekatan itu mewakili figur Fajar
sebagai musisi. Masalahnya, seiring waktu, akibat banyak lagu terus diulang,
filmnya terjebak dalam repetisi. Bukannya pemahaman mendalam, malah kesan
menambal durasi yang terasa. Lagu-lagu powerful
hanya numpang lewat, padahal saat stok footage
diseleksi dengan tepat, getaran rasanya tidak main-main, seperti kekacauan
atmosferik nan menyayat hati selaku penutup film ketika Merah Bercerita membawakan
Derita Sudah Naik Seleher bersama
Wani di acara perilisan album perdana mereka.
Kesan serupa timbul sewaktu filmnya
menyelipkan rekaman demonstrasi semasa pemilu 2014, dengan kuantitas
jauh lebih banyak dari kebutuhan. Tidak perlu sebanyak itu guna membuat
penonton mengerti akan kondisi saat itu, khususnya seputar fanatisme pendukung
Prabowo, yang tak keberatan mengusung calon Presiden seorang penjahat HAM. Kita
sudah melihat semua itu di televisi maupun internet, dan filmnya tak menambah
informasi baru.
Nyanyian Akar Rumput juga jadi contoh bahwa timing dapat berpengaruh terhadap dampak narasi suatu film. Sipon
adalah pendukung Jokowi. Selain karena berstatus warga Solo, ia juga percaya Jokowi
bakal menuntaskan ketidakjelasan banyak kasus HAM, termasuk hilangnya Wiji
Thukul. Ditambah komparasi antara sikap berlawanan pendukung kedua calon
Presiden, pesan filmnya jelas: Jokowi merupakan harapan baru bagi pengusutan
kasus HAM. Andai dirilis setidaknya 3-4 tahun lalu, narasi itu tidak akan
terasa hambar seperti saat ini, tatkala harapan tersebut makin semu.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
2 komentar :
Comment Page:mas ditunggu postingan ttg oscar, makasih mas
terima kasih telah mengulas!
Posting Komentar