NYANYIAN AKAR RUMPUT (2020)

2 komentar
Dari tangan Yuda Kurniawan, sineas di balik lahirnya Balada Bala Sinema (2017, review) yang membuka banyak pemahaman soal skena komunitas film Purbalingga, lahir satu lagi dokumenter berjudul Nyanyian Akar Rumput. Mengupas kehidupan Fajar Merah selaku putera Wiji Thukul sembari menggaungkan semangat “Menolak Lupa”, perihal urgensi, saya tidak sanksi. Sampai kapan pun hal ini harus terus disampaikan. Sayangnya kekurangmatangan pengolahan materi kisah jadi masalah.

Awalnya sentral kisah adalah mengenai kompleksitas fase tumbuh kembang Fajar, kala ia terjebak di antara pertanyaan mengenai ketiadaan Wiji Thukul yang kemudian memancing kemarahan, dengan puja-puji orang luar terhadap sang ayah. Mereka menggambarkan Wiji Thukul sebagai pahlawan tanpa cela, sedangkan bagi Fajar, dia adalah sosok orang tua yang absen. Sampai timbul keinginan mengenal lebih jauh melalui puis ayahnya, yang akhirnya mendorong Fajar menjadikan puisi-puisi tersebut lirik lagu band miliknya, Merah Bercerita. Pun kita diperlihatkan kondisi keluarga Wiji Thukul lain, seperti puterinya, Wani, yang terus aktif membaca puisi sebagai bentuk kolaborasi dengan Merah Bercerita, sementara Sipon, sang istri, yang sejak menghilangnya Thukul, dihantam tekanan psikis luar biasa.

Andai keintiman kaya dinamika emosi itu yang terus diperdalam. Nyanyian Akar Rumput mempersembahkan pemandangan menusuk saat lewat selipan rekaman acara penganugerahan penghargaan untuk Wiji Thukul pada 2002. Di sana, Wani yang masih belia membacakan puisi sambil berurai air mata, mempertanyakan kenapa sang ayah tak kunjung pulang, sedangkan Sipon jatuh tak berdaya. Momen tersebut sempurna memotret betapa kehilangan—apalagi jika dibarengi ketidakpastian—dapat menghancurkan.

Berikutnya perjalanan Fajar bersama Merah Bercerita disoroti, di mana Yuda berniat menelusuri benang merah antara karya-karya Wiji Thukul dan puteranya. Berdasarkan penuturan Sipon, kita tahu bahwa berbeda dari ekspresi puisi Thukul yang meneriakkan amarah dan memantik semangat perjuangan, pendekatan Fajar terhadap musiknya cenderung kental romantisme tanpa menghilangkan sikap kritis. Dan kita bisa mengonfirmasinya begitu mendengar deretan lagu Merah Bercerita, yang sepanjang durasi memberkati telinga kita dengan api perlawanan yang kerap terkesan pilu.

Penonton bisa memastikan, “Ya, keduanya berbeda”. Tapi kenapa? Filmnya gagal menjabarkan dinamika proses berkarya itu, yang bila diperdalam, bakal memunculkan pemahaman lebih lanjut mengenai si pembuat karya. “Bukankah sudah jelas semua itu dipicu luka-luka Fajar sejak kecil?”. Mungkin benar, namun di titik ini, pernyataan itu sekadar asumsi. Wiji Thukul juga terluka. Fajar Merah pun ingin melawan. Jadi mengapa keduanya berbeda?

Mencapai pertengahan durasi, Nyanyian Akar Rumput, sebagaimana judulnya, membiarkan lagu-lagu Fajar berbicara, sehingga lebih sering memperlihatkan Merah Bercerita memainkan lagu mereka, baik di atas panggung, studio rekaman, maupun di rumah Fajar. Keputusan bijak, sebab pendekatan itu mewakili figur Fajar sebagai musisi. Masalahnya, seiring waktu, akibat banyak lagu terus diulang, filmnya terjebak dalam repetisi. Bukannya pemahaman mendalam, malah kesan menambal durasi yang terasa. Lagu-lagu powerful hanya numpang lewat, padahal saat stok footage diseleksi dengan tepat, getaran rasanya tidak main-main, seperti kekacauan atmosferik nan menyayat hati selaku penutup film ketika Merah Bercerita membawakan Derita Sudah Naik Seleher bersama Wani di acara perilisan album perdana mereka.

Kesan serupa timbul sewaktu filmnya menyelipkan rekaman demonstrasi semasa pemilu 2014, dengan kuantitas jauh lebih banyak dari kebutuhan. Tidak perlu sebanyak itu guna membuat penonton mengerti akan kondisi saat itu, khususnya seputar fanatisme pendukung Prabowo, yang tak keberatan mengusung calon Presiden seorang penjahat HAM. Kita sudah melihat semua itu di televisi maupun internet, dan filmnya tak menambah informasi baru.

Nyanyian Akar Rumput juga jadi contoh bahwa timing dapat berpengaruh terhadap dampak narasi suatu film. Sipon adalah pendukung Jokowi. Selain karena berstatus warga Solo, ia juga percaya Jokowi bakal menuntaskan ketidakjelasan banyak kasus HAM, termasuk hilangnya Wiji Thukul. Ditambah komparasi antara sikap berlawanan pendukung kedua calon Presiden, pesan filmnya jelas: Jokowi merupakan harapan baru bagi pengusutan kasus HAM. Andai dirilis setidaknya 3-4 tahun lalu, narasi itu tidak akan terasa hambar seperti saat ini, tatkala harapan tersebut makin semu.

2 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

mas ditunggu postingan ttg oscar, makasih mas

Anonim mengatakan...

terima kasih telah mengulas!