DOLITTLE (2020)
Rasyidharry
Januari 16, 2020
Adventure
,
Cukup
,
Dan Gregor
,
Doug Mand
,
Emma Thompson
,
Fantasy
,
Harry Collett
,
Jessie Buckley
,
Kasia Smutniak
,
Michael Sheen
,
Rami Malek
,
REVIEW
,
Robert Downey Jr.
,
Stephen Gaghan
4 komentar
Mengambil hati penonton anak lewat
para binatang yang bisa bicara sembari menggoda penonton dewasa melalui
keberadaan Robert Downey Jr.,—yang untuk pertama kalinya sejak The Judge (2014) melakoni peran selain
Tony Stark—pada akhirnya Dolittle memang
tidak kurang dan tidak lebih dari itu. Sebuah petualangan ringan, muda
dinikmati oleh semua kalangan, biarpun mudah dilupakan pula.
Mengadaptasi petualangan Doctor
Dolittle dari seri buku anak-anak karya Hugh Lofting terutama dari buku
keduanya, The Voyages of Doctor Dolittle
(awalnya juga dipakai sebagai judul film ini sebelum dilakukan penyederhanaan),
kisahnya dibuka melalui intro berbentuk animasi soal bagaimana Dr. John
Dolittle (Robert Downey Jr.) memukau seluruh negeri berkat kemampuannya
berbicara dengan binatang. Berkat jasanya, Ratu Victoria (Jessie Buckley)
bahkan menghadiahkan lahan besar untuk ditinggali Dolittle bersama binatang-binatang
yang olehnya dan sang istri, Lily Dolittle (Kasia Smutniak), selamatkan dari
seluruh penjuru dunia.
Malang, Lily tewas di tengah laut
dalam sebuah penjelajahan. Dolittle pun berubah 180 derajat, mengurung diri,
menutup akses dunia luar…..sampai kemunculan Tommy Stubbins (Harry Collett). Datang
guna meminta bantuan menyelamatkan nyawa seekor tupai, Stubbins malah berujung
tertarik menjadi penerus Dolittle, bahkan terlibat petualangan mengarungi
samudera dalam rangka mencari buah dari pohon legenda untuk menyembuhkan
penyakit misterius Ratu Victoria.
Kalau anda sebatas mengenal sosok
karakter titularnya berdasarkan versi 1998 yang dibintangi Eddie Murphy
(inilah alasan banyak orang mempermasalahkan mengapa Doctor Dolittle diubah jadi
pria kulit putih tanpa memahami latar belakangnya), mungkin ada sedikit
kekagetan mendapati bagaimana film ini menuturkan petualangan bersakal besar.
Padahal versi 1967-nya mengambil pendekatan serupa (dikemas memakai sampul musikal).
Naskahnya, yang ditulis oleh duet
Doug Mand-Dan Gregor (Most Likely to
Murder) bersama sutradara Stephen Gaghan (Syriana, Gold), menawarkan metode cerdik terkait penggambaran
transisi komunikasi Dolittle dengan para binatang. Kadang kita mendengar mereka
berbicara menggunakan bahasa binatang, terkadang bahasa manusia. Penyutradaraan
Gaghan pun mulus menangani transisi tersebut, yang sesekali dipakai
menghadirkan efek komedik. Jajaran pengisi suaranya juga berjasa memberi nyawa,
khususnya Emma Thompson sebagai Polynesia si burung macaw bijak selaku
penasihat Dolittle dan Rami Malek yang memerankan gorila penakut bernama
Chee-Chee.
Berkat mereka, ditambah CGI
berkualitas memadai, kecanggungan interaksi antara manusia dengan karakter CGI
mampu ditiadakan. Apalagi sang manusia dibawakan oleh Robert Downey Jr., yang
berkat pengalamannya menjadi maskot MCU, tak lagi asing dengan tuntutan semacam
itu. Saya sempat khawatir RDJ bakal bernasib seperti Johnny Depp yang terjebak
dalam keeksentrikan monoton selepas memainkan karakter ikonik. Tapi saya
akhirnya sadar, ada satu perbedaan mendasar di antara keduanya. Perbedaan yang
membuat RDJ unggul sekaligus menjamin keawetan karirnya di luar skena film
pahlawan super.
RDJ tidak pernah lalai urusan rasa.
Karakter-karakter peranannya selalu dihantui duka atau kegamangan. Tidak
terkecuali di sini, dan mata sang aktor kuat memancarkan rasa tersebut. Dari
situlah sumber emosi utama Dolittle, tatkala
kisah soal kematian Lily hanya berakhir sebatas hiasan semata, sedangkan baik
departemen naskah maupun penyutradaraan gagal melahirkan momen penutup selaku payoff yang layak kepada romansa bittersweet karakter utamanya. Bahkan
aksen Wales aneh RDJ tak sanggup menghalangi kita bersimpati ke protagonisnya.
Sementara penjelajahan Dolittle dan
kawan-kawan, yang diharapkan sarat keajaiban, hanyalah petualangan medioker
penuh pilihan-pilihan obligatif selaku pemenuhan formula. Anda bisa dengan
mudah menebak kebenaran di balik penyakit Ratu Victoria, pula bakal dibawa ke
mana sosok Dr. Blair Mudfly (Michael Sheen), yang sejatinya bisa dimaafkan,
mengingat keklisean tersebut ditujukan bagi penonton anak. Bahkan ketimbang
aksi mendebarkan, klimaksnya diselesaikan dengan sebuah operasi terhadap
sesosok makhluk mitologi.
Teruntuk para bocah, apa yang Dolittle sajikan sudah cukup, biarpun
orang dewasa bakal kebosanan menyaksikan repetisi alur yang seolah enggan
beranjak dari pola “Dolittle dan teman-temannya tertangkap di tangan antagonis à berhasil kabur à ulangi”. Dan melihat gelaran
aksinya, dengan kuantitas yang juga tidak seberapa, saya bisa memahami
keputusan Universal Pictures meminta supervisi Jonathan Liebesman (Wrath of the Titans, Teenage Mutant Ninja
Turtles) dan Chris McKay (The Lego
Batman Movie) dalam proses reshoots. Gaghan,
yang sebelumnya lebih banyak menggarap drama serius pengincar kejayaan di musim
penghargaan, jelas punya banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kemampuannya
menangani hiburan seru berbasis CGI. Tapi untuk sekarang, Dolittle tidaklah buruk bila dipandang semata sebagai hiburan para bocah.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
4 komentar :
Comment Page:prediksi buat Oscar 2020 mana bang?
Bagaimana tanggapan Mas Rasyid tentang Avengers and game yang hanya mendapatkan 1 nominasi Oscar
sebagai fans bang depp sbenernya dia juga bakat buat main rasa klo bang rasyid udh nonton finding neverland nampol bgt disitu cuma ntah kenapa skarang kek ilang mgkin udh tenggelam dalam peran nyentrik gitu ya sampe ke lifestyle juga
Bener itu. Kurang lengkap sebenernya tulisan saya itu. Maksudnya pasca-Pirates. Sejak itu akting dia jadi stereotipikal. Sama kayak RDJ pasca Iron Man. Dari situ Depp hilang rasanya dan cuma eksentrik, beda sama RDJ
Posting Komentar