SEA FEVER (2019)

1 komentar
Debut penyutradaraan layar lebar Neasa Hardiman yang sebelumnya lebih aktif di industri perteleisian ini mungkin takkan menjadi klasik layaknya judul-judul yang memberinya inspirasi, sebutlah Jaws, The Abyss, hingga The Thing, tetapi itu tidak menutupi fakta bahwa Sea Fever dibuat secara kompeten, pun mungkin bakal jadi topik perbincangan berskala medium, terkait relevansi insidental yang dimilikinya dengan pandemi corona saat ini.

Siobhan (Hermione Corfield), seorang ilmuwan muda cerdas, terpaksa mengesampingkan keengganannya bersosialisasi demi gelar profesor, ketika mengikuti studi lapangan bersama para kru kapal penjaring ikan Niamh Cinn-Oir milik pasangan suami istri, Gerard (Dougray Scott) dan Freya (Toni Collette awalnya dipilih sebagai pemeran sebelum digantikan Connie Nielsen). Awalnya semua berjalan lancar, walau kita tahu peristiwa buruk bakal terjadi setelah Gerard dan Freya mengabaikan larangan penjaga pantai memasuki zona terlarang.

Para kru terkejut mengetahui Siobhan berambut merah, yang mereka percaya bisa mendatangkan sial. Kemudian di sebuah kesempatan, Siobhan dan Freya terlibat obrolan santai mengenai laut yang bersinar. Siobhan menjabarkan lewat sisi saintifik, sedangkan Freya mengaitkannya dengan cerita rakyat. Sebuah pembicaraan yang menyandingkan dua perspektif berlawanan, sekaligus menyiratkan benturan sudut pandang ilmiah dengan hasrat personal yang nantinya terjadi.

Di tengah perjalanan, kapal tiba-tiba berhenti, lalu Hardiman (juga bertindak selaku penulis naskah) secara efektif mulai menyiratkan kengerian yang menanti, ketika Omid (Ardalan Esmaili) mendapati lambung kapal berlubang. Beberapa substansi berlendir dan menjijikkan menempel di lubang tersebut. Akhirnya diketahui, sesosok makhluk raksasa misterius berwujud seperti cumi-cumi raksasa jadi penyebab berhentinya kapal.

Mengikuti jejak judul-judul klasik yang disebut sebelumnya, kita tidak pernah melihat secara utuh wujud sang monster, apalagi memahami asal-usulnya. Tapi kita tahu makhluk terseut menebarkan parasit yang bisa mengakibatkan kematian mengenaskan, yang jadi cara Hardiman menebar teror melalui gore. Sisanya, ia mengandalkan nuansa klaustrofobik, membangun tontonan atmosferik yang tak pernah tampil draggy berkat kelihaiannya bermain tempo. Naskahnya juga cukup baik membagi poin-poin plot. Banyak film serupa menyimpan elemen menariknya terlalu lama, sementara Sea Fever memastikan ada fakta baru tiap beberapa waktu sekali tanpa harus mengungkap terlampau banyak.

Masalahnya, filmnya tidak pernah berhasil memancing kepedulian terhadap tokoh-tokohnya. Beberapa karakteristik personal cuma diungkap sekilas alih-alih diperdalam. Selebihnya, para kru hanya figur-figur tak bernyawa, yang tinggal menunggu ajal tatkala mulai terserang sea fever, tanpa sempat disoroti dinamika psikologisnya. Paling tidak ada hal positif dari penokohan Siobhan. Perihal sisi antisosialnya, proses perubahannya tidak terjadi tiba-tiba. Baru jelang akhir ia berbuat sesuatu yang takkan dilakukan oleh sosoknya di awal film.

Prosesnya berlangsung dalam tahapan pasti. Dari individu egois, dia mulai membuka diri, berinteraksi, lalu belajar untuk tak menambah luka orang di sekitarnya, barulah akhirnya bersedia berkorban. Dan ketimbang kelemahan fatal, filmnya memanfaatkan sisi antisosial itu sebagai alasan logis saat menjadikan Siobhan voice of the reason dalam kelompok. Memasuki sepertiga akhir, timbul perdebatan yang secara kebetulan mencerminkan isu social distancing yang belakangan marak dibahas. Masuk akal saat Siobhan jadi pihak yang mengusulkan karantina sedangkan kru lain ingin segera pulang demi bertemu keluarga (Halo para pemudik nekat Indonesia!). Bukan semata karena ia protagonis sehingga otomatis merupakan karakter berpikiran paling jernih, namun pola pikirnya memang berorientasi saintifik.

Sayangnya ada poin bermasalah. Siobhan mengusulkan karantina 36 jam demi menekan peluang penyebaran parasit, sebab bukan mustahil sudah ada salah satu dari mereka yang terinfeksi, yang mendorongnya melakukan tindakan ekstrim sewaktu kru lain menentang. Tapi segala pertikaian itu berujung percuma, bahkan konyol, ketika hanya menggunakan metode sederhana, Siobhan dapat mendeteksi apakah parasit telah hidup dalam tubuh seseorang atau tidak. Setelahnya, urusan karantina pun total dilupakan.

Klimaksnya juga lemah, gagal mencapai puncak ketegangan. Keputusan menyelipkan pesan lingkungan yang membuat Sea Fever menempuh jalan berbeda dibanding kebanyakan film monster maupun dana minim jelas bukan alasan. Kegagalan ini murni dikarenakan ketidakmampuan Neasa Hardiman, baik sebagai penulis atau sutradara, bereksplorasi secara kreatif guna mengakali keterbatasan. Andai berhasil, mungkin Sea Fever akan lebih memorable.


Available on KLIK FILM

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

krik krik