SEA FEVER (2019)
Rasyidharry
Mei 13, 2020
Ardalan Esmaili
,
Connie Nielsen
,
Cukup
,
Dougray Scott
,
Hermione Corfield
,
horror
,
Neasa Hardiman
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Thriller
1 komentar
Debut penyutradaraan layar lebar
Neasa Hardiman yang sebelumnya lebih aktif di industri perteleisian ini mungkin
takkan menjadi klasik layaknya judul-judul yang memberinya inspirasi, sebutlah Jaws, The Abyss, hingga The Thing, tetapi itu tidak menutupi
fakta bahwa Sea Fever dibuat secara
kompeten, pun mungkin bakal jadi topik perbincangan berskala medium, terkait
relevansi insidental yang dimilikinya dengan pandemi corona saat ini.
Siobhan (Hermione Corfield),
seorang ilmuwan muda cerdas, terpaksa mengesampingkan keengganannya
bersosialisasi demi gelar profesor, ketika mengikuti studi lapangan bersama
para kru kapal penjaring ikan Niamh Cinn-Oir milik pasangan suami istri, Gerard
(Dougray Scott) dan Freya (Toni Collette awalnya dipilih sebagai pemeran
sebelum digantikan Connie Nielsen). Awalnya semua berjalan lancar, walau kita tahu
peristiwa buruk bakal terjadi setelah Gerard dan Freya mengabaikan larangan
penjaga pantai memasuki zona terlarang.
Para kru terkejut mengetahui
Siobhan berambut merah, yang mereka percaya bisa mendatangkan sial. Kemudian di
sebuah kesempatan, Siobhan dan Freya terlibat obrolan santai mengenai laut yang
bersinar. Siobhan menjabarkan lewat sisi saintifik, sedangkan Freya
mengaitkannya dengan cerita rakyat. Sebuah pembicaraan yang menyandingkan dua
perspektif berlawanan, sekaligus menyiratkan benturan sudut pandang ilmiah dengan
hasrat personal yang nantinya terjadi.
Di tengah perjalanan, kapal
tiba-tiba berhenti, lalu Hardiman (juga bertindak selaku penulis naskah) secara
efektif mulai menyiratkan kengerian yang menanti, ketika Omid (Ardalan Esmaili)
mendapati lambung kapal berlubang. Beberapa substansi berlendir dan menjijikkan
menempel di lubang tersebut. Akhirnya diketahui, sesosok makhluk raksasa
misterius berwujud seperti cumi-cumi raksasa jadi penyebab berhentinya kapal.
Mengikuti jejak judul-judul klasik
yang disebut sebelumnya, kita tidak pernah melihat secara utuh wujud sang
monster, apalagi memahami asal-usulnya. Tapi kita tahu makhluk terseut menebarkan
parasit yang bisa mengakibatkan kematian mengenaskan, yang jadi cara Hardiman
menebar teror melalui gore. Sisanya,
ia mengandalkan nuansa klaustrofobik, membangun tontonan atmosferik yang tak
pernah tampil draggy berkat
kelihaiannya bermain tempo. Naskahnya juga cukup baik membagi poin-poin plot.
Banyak film serupa menyimpan elemen menariknya terlalu lama, sementara Sea Fever memastikan ada fakta baru tiap
beberapa waktu sekali tanpa harus mengungkap terlampau banyak.
Masalahnya, filmnya tidak pernah berhasil
memancing kepedulian terhadap tokoh-tokohnya. Beberapa karakteristik personal
cuma diungkap sekilas alih-alih diperdalam. Selebihnya, para kru hanya
figur-figur tak bernyawa, yang tinggal menunggu ajal tatkala mulai terserang sea fever, tanpa sempat disoroti
dinamika psikologisnya. Paling tidak ada hal positif dari penokohan Siobhan.
Perihal sisi antisosialnya, proses perubahannya tidak terjadi tiba-tiba. Baru
jelang akhir ia berbuat sesuatu yang takkan dilakukan oleh sosoknya di awal
film.
Prosesnya berlangsung dalam tahapan
pasti. Dari individu egois, dia mulai membuka diri, berinteraksi, lalu belajar
untuk tak menambah luka orang di sekitarnya, barulah akhirnya bersedia
berkorban. Dan ketimbang kelemahan fatal, filmnya memanfaatkan sisi antisosial
itu sebagai alasan logis saat menjadikan Siobhan voice of the reason dalam kelompok. Memasuki sepertiga akhir,
timbul perdebatan yang secara kebetulan mencerminkan isu social distancing yang belakangan marak dibahas. Masuk akal saat
Siobhan jadi pihak yang mengusulkan karantina sedangkan kru lain ingin segera
pulang demi bertemu keluarga (Halo para pemudik nekat Indonesia!). Bukan semata
karena ia protagonis sehingga otomatis merupakan karakter berpikiran paling
jernih, namun pola pikirnya memang berorientasi saintifik.
Sayangnya ada poin bermasalah.
Siobhan mengusulkan karantina 36 jam demi menekan peluang penyebaran parasit,
sebab bukan mustahil sudah ada salah satu dari mereka yang terinfeksi, yang
mendorongnya melakukan tindakan ekstrim sewaktu kru lain menentang. Tapi segala
pertikaian itu berujung percuma, bahkan konyol, ketika hanya menggunakan metode
sederhana, Siobhan dapat mendeteksi apakah parasit telah hidup dalam tubuh
seseorang atau tidak. Setelahnya, urusan karantina pun total dilupakan.
Klimaksnya juga lemah, gagal
mencapai puncak ketegangan. Keputusan menyelipkan pesan lingkungan yang membuat
Sea Fever menempuh jalan berbeda
dibanding kebanyakan film monster maupun dana minim jelas bukan alasan.
Kegagalan ini murni dikarenakan ketidakmampuan Neasa Hardiman, baik sebagai
penulis atau sutradara, bereksplorasi secara kreatif guna mengakali
keterbatasan. Andai berhasil, mungkin Sea
Fever akan lebih memorable.
Available on KLIK FILM
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:krik krik
Posting Komentar