WAVES (2019)
Rasyidharry
Mei 16, 2020
Alexa Demie
,
Bagus
,
Drama
,
Drew Daniels
,
Renée Elise Goldsberry
,
REVIEW
,
Sterling K. Brown
,
Trey Edward Shults
1 komentar
Seperti judulnya, film ini bergerak seperti ombak, baik secara
teknis maupun rasa. Waves mengingatkan
bahwa Trey Edward Shults yang melahirkan karya out-of-the-box lewat Krisha (2015),
masih getol mengeksplorasi dan mendobrak batas-batas storytelling, selepas It
Comes at Night (2017) yang lebih seperti usaha menjadi hipster.
Melalui tata kamera arahan
sinematografer langganannya, Drew Daniels, Shults mengemas opening yang serupa gelombang di lautan. Kamera berputar 360
derajat, sesekali bergerak liar, sesekali melambat, bahkan saat hanya menyoroti
layar smartphone, tetap ada gerakan
layaknya riak-riak kecil. Kita pun bisa merasakan betapa kaya serta dinamisnya
kehidupan si tokoh utama, seorang siswa SMA populer sekaligus atlet gulat
bernama Tyler (Kelvin Harrison Jr).
Karir gulatnya moncer, membuat
beasiswa jalur olahraga dari universitas ternama seolah tinggal menunggu waktu.
Walau sang ayah, Ronald (Sterling K. Brown), yang dulu mantan atlet kerap
terlalu menekannya, sang ibu tiri, Catherine (Renée Elise Goldsberry) membuat
Tyler tak kekurangan kasih sayang. Apalagi hubungan cintanya dengan Alexis (Alexa
Demie) sedang panas-panasnya.
Hidup Tyler sekilas sempurna, walau
sesungguhnya ada beberapa benih permasalahan yang siap meluap. Akibat kerap
memaksakan diri, pundak Tyler menderita cedera SLAP (Superior Labral Tear
from Anterior to Posterior) Tear tingkat
5 alias tingkatan terparah. Tertekan, Tyler justru diceramahi oleh Ronald, yang berkata, “Menurutmu cuma
kamu yang punya masalah?!”. Dia pun memilih bungkam, merahasiakan cedera tersebut.
Di saat bersamaan, Alexis mendapati sudah tiga minggu ia telat datang bulan.
Lalu semua yang ditakutkan terjadi.
Tyler cedera di tengah pertandingan dan karir gulatnya hancur. Bukannya
mengangkat moral puteranya, Ronald justru menyalahkan. Ayah enggan
mendengarkan, anak menolak bicara. Demikian juga soal kehamilan Alexis. Tyler
bersikeras memaksakan aborsi tanpa mau memedulikan perspektif kekasihnya. Waves mengangkat soal pentingnya proses
bicara dan mendengarkan dalam keterbukaan. Seluruh konflik hadir karena
karakternya menolak “memasang telinga” sembari membiarkan ego menguasai
dirinya.
Waves tidak dibuat agar penonton bersimpati pada protagonisnya,
mengingat seiring waktu, Tyler semakin hancur dan semakin sering berbuat
kebodohan. Tujuan Waves adalah
membuat kita ikut merasakan sakit serta kecemasan yang sama. Shults seperti
membawa kita mengarungi ombak ganas, yang bisa berubah dari menghadirkan rasa
sesak, kemudian melegakan, hanya untuk tiba-tiba melempar luka.
Dinamika emosi itu diwakili oleh
visualnya. Drew Daniels jeli bermain warna, entah itu kamar berdinding biru
milik Tyler yang dihiasai sebersit cahaya matahari yang masuk melalui gorden
merah-hijau-biru, malam bertabur lampu-lampu neon yang meski vibrant tetap terkesan kelam, hingga
biru gelap yang mewarnai laut tatkala senja. Tapi yang paling menonjol
sekaligus berkesan tentu bagaimana Shults menggabungkan empat rasio aspek (ada
yang menyebut lima, tapi saya hanya menemukan empat, begitu juga data dari
IMDb) dalam filmnya.
Dibuka dengan rasio standar 1.85 :
1, gambarnya ikut menyempit saat tekanan yang Tyler alami makin besar (menjadi 2.35
: 1, sempat sejenak menjadi 2.67 : 1, lalu berakhir di 1.33 : 1). Apa yang
terjadi setelah aspek rasio menyentuh format 1.33 : 1 di mana protagonis
mencapai titik terendahnya? Saat itulah Shults melakukan keputusan tak terduga
terkait penentuan arah cerita. Waves memasuki
babak kedua, mengoper fokus kepada adik Tyler, Emily (Taylor Russell), berubah dari
rangkaian kisah yang menghancurkan jadi membangun. And guess what? Aspek rasionya pun pelan-pelan kembali seperti
semula.
Membagi alurnya ke dalam dua babak dengan
fokus berlawanan, menandakan bagaimana Shults tidak memandang remeh proses menyembuhkan
luka hati. Walau tidak menyimpan kejutan-kejutan seperti babak pertama,
ditambah intensitas yang mengendur sebab kita sudah bisa menebak pola yang
bakal filmnya tempuh, rasanya tetap menyenangkan sewaktu rentetan rasa sakit
yang sebelumnya menerjang tanpa henti mulai dibasuh oleh emosi-emosi positif.
Tidak mau kalah dari departemen
visual, tata suara film ini juga piawai mewakili rasa. Mulai efek suara
menyakitkan ketika Tyler mengalami cedera, juga barisan musik pilihan sang
sutradara yang terdiri atas nomor-nomor rap, R&B, hingga pop elektronik yang
terdengar atmosferik (bukan kejutan kalau ada Radiohead). Sementara di jajaran cast, trio Kelvin Harrison Jr., Taylor
Russell, dan Sterling K. Brown berhasil menuangkan emosi raw yang efektif mencengkeram hati
penontonnya.
Available on CATCHPLAY+
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Film iki istimewa mas. Bagian di awal banyak nyeseknya. Di bagian ke dua mulai anti klimaks
Posting Komentar