TRUE HISTORY OF THE KELLY GANG (2019)
Rasyidharry
Mei 11, 2020
Ari Wegner
,
Biography
,
Charlie Hunnam
,
Essie Davis
,
George MacKay
,
Jed Kurzel
,
Justin Kurzel
,
Lumayan
,
Nicholas Hoult
,
REVIEW
,
Russell Crowe
,
Shaun Grant
Tidak ada komentar
Film ini mencantumkan “True History” pada judul; dibuka dengan
kalimat “Nothing you’re about to see is
true”; dinarasikan dalam bentuk surat sang protagonis kepada calon anaknya,
agar ia tidak tertipu oleh sejarah tentang sang ayah yang kemungkinan bakal
dipelintir para penguasa. Jika terdengar banyak mengandung kontradiksi, itu
memang disengaja, sebab sutradara Justin Kurzel (Macbeth, Assassin’s Creed) bersama penulis naskahnya, Shaun Grant (Berlin Syndrome), mengadaptasi novel
berjudul sama karya Peter Carey sebagai media bermain-main dengan gagasan
mengenai sejarah dan cerita rakyat.
Nama Ned Kelly (versi bocah
diperankan Orlando Schwerd, versi dewasa diperankan George MacKay) begitu
legendaris. Seorang perampok yang menjadi ikon nasional. Sosoknya pun tak asing
di dunia sinema. Mendiang Heath Ledger pernah memerankannya dalam Ned Kelly (2003), begitu pula Mick
Jagger dalam film rilisan 1970 berjudul serupa, bahkan mundur jauh ke belakang,
film bisu The Story of Kelly Gang (1906)
dipercaya sebagai film panjang naratif pertama sepanjang sejarah.
Banyak pihak memuja Ned Kelly,
menganggapnya sebagai pejuang kaum bawah yang ditindas penjajah layaknya Robin
Hood, namun tak sedikit yang melihatnya sebagai pembunuh keji belaka. Jadi
versi mana yang benar? True History of
the Kelly Gang tidak tertarik menuturkan kebenaran, tapi mengincar sesuatu
yang secara estetika jauh lebih menarik, yaitu eksplorasi terhadap “the creative nature of storytelling”.
Ned punya masa kecil yang keras. Dia
melihat ibunya, Ellen (Essie Davis), bercinta dengan Sersan O’Neill (Charlie
Hunnam) demi uang; ayahnya, yang kelak meninggal di penjara, konon sering
terlihat berlarian sambil mengenakan gaun perempuan berwarna merah (ada rahasia
lain terkait fakta ini); harus membunuh sapi ternak tetangga agar bisa memberi
makan keluarga; sampai terpaksa meninggalkan rumah setelah Ellen diam-diam
menjualnya kepada Harry Power (Russell Crowe), yang kelak mengajari Ned cara
merampok dan menembak penis seseorang.
Menerapkan genre western di latar Australia, sinematografi
arahan Ari Wegner (Lady Macbeth)
mengganti kegersangan wild west dengan
pedesaan kumuh yang bakal membuatmu merasa kotor hanya dengan melihatnya.
Sebuah panggung sempurna untuk memotret kerasnya kehidupan, pun mungkin juga
soal machismo, mengingat filmnya berkisah tentang sekelompok bandit laki-laki
gila. Tapi sebaliknya, Kurzel dan Grant justru memberi sentuhan homoerotik. Ned
berguling-guling dengan sahabatnya, juga bicara dengan Fitzpatrick (Nicholas
Hoult) si jagabaya, yang duduk santai bertelanjang bulat.
Geng Kelly beraksi sambil
mengenakan gaun layaknya transvestite. Mereka
percaya, dandanan tersebut bisa menumbuhkan ketakutan di benak lawan, sebab
manusia cenderung takut pada hal aneh yang tak mereka dipahami. Dari situ,
Kurzel berkesempatan menyuntikkan estetika queer
di film yang juga bertindak selaku drama keluarga ini. Keluarga disfungsional
tentunya.
Sewaktu seorang wanita kaya—yang
puteranya Ned tolong saat jatuh ke sungai—menawarkan diri membiayai pendidikan
Ned, Ellen menolak, beralasan jika ia tak bisa hidup tanpa sang putera, dan bahwa
keluarga selalu jadi yang utama. Ned percaya itu. Dia pun sangat mencintai ibunya,
sampai Ned menemukan kenyataan pahit. Cinta Ellen rupanya palsu.....atau tidak?
Mungkin memang begitu cara mereka mencintai? Mungkinkah itu dampak persekusi
dan tidak pernahnya mereka melihat cahaya harapan? Ned pernah melihat cahaya
itu. Saat kecil ia sejenak mengunjungi rumah mewah keluarga kaya, lalu
menghabiskan masa remaja jauh dari kumuhnya kampung halaman. Mungkin itulah
kenapa, dibanding anggota keluarganya, Ned lebih “lembut”, juga satu-satunya
yang terpikir untuk menuturkan kebenaran, tatkala orang lain sebatas memikirkan
perut.
Dan layaknya shakesperian, yang mana familiar bagi Kurzel, True History of the Kelly Gang ditutup sebagai tragedi ironis
akibat satu kesalahan sang protagonis yang didasari oleh kebaikan hati dan keinginannya
melihat cahaya harapan. Sebagaimana Macbeth
(2015), Kurzel piawai membangun nuansa bak mimpi buruk penuh kegelisahan,
khususnya pada klimaks mencekat berlatar malam kelam, yang disinari kedipan
cahay menyilaukan, suar merah, dan puluhan titik-titik cahaya obor. Musik
gubahan Jed Kurzel, kakak sekaligus komposer langganan sang sutradara, tak
ketinggalan tampil menghantui nan intens. Sama intensnya dengan performa George
MacKay yang tampil manik, melepaskan diri sebagai pria beremosi tak stabil yang
di balik amarahnya, merindukan cinta di tanah tanpa cinta.
Tapi perlu dicatat, seperti biasa,
film Justin Kurzel bukan untuk semua orang. Penonton yang mencari gaya narasi
tradisional berpotensi kehilangan selera menyaksikan metode bertuturnya yang
liar (banyak disebut membuat filmnya terkesan "punk") dan seperti tanpa konflik utama, yang juga mengesampingkan pendekatan
dramatis demi nuansa atmosferik. Terkait narasi, True History of the Kelly Gang pun menyimpan inkonsistensi. Dikemas
memakai sudut pandang orang pertama, ada beberapa peristiwa yang semestinya tak
diketahui oleh narator. Pada akhirnya, bahkan oleh orang yang mengakui
kelebihan-kelebihannya, True History of
the Kelly Gang lebih mudah dikagumi ketimbang dicintai.
Available on KLIK FILM
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar