THE VAST OF NIGHT (2019)
Rasyidharry
Mei 31, 2020
Andrew Patterson
,
Bagus
,
Bruce Davis
,
Craig W. Sanger
,
Erick Alexander
,
Gail Cronauer
,
Jake Horowitz
,
James Montague
,
Jared Bulmer
,
M.I. Littin-Menz
,
REVIEW
,
Science-Fiction
,
Sierra McCormick
1 komentar
The Vast of Night dibungkus layaknya sebuah episode
serial televisi antologi berjudul Paradox
Theatre, lengkap dengan narasi pembuka serta title card yang memberi rujukan kuat pada The Twilight Zone. Beberapa kali, termasuk di opening, penonton diposisikan seolah sedang menonton di depan televisi
model lama. Pengemasan itu tanpa substansi. Sebatas gimmick. Sementara keseluruhan filmnya bak versi talky dan low-key dari The Twilight
Zone, tapi dengan hasil memikat, alias bukan sekadar tribute kosong.
Kenapa talky? Karena
sejak awal, saat Everett (Jake Horowitz) si penyiar radio mampir sejenak ke
stadion yang nantinya terisi penuh oleh mayoritas warga Cayuga, New Mexico, yang
berbondong-bondong menyaksikan pertandingan basket perdana musim tersebut,
filmnya langsung memberondong penonton dengan deretan banter cepat, terkadang saling tumpang tindih, yang seperti diambil
dari judul-judul karya Richard Linklater.
Bersama Fay (Sierra McCormick), operator switchboard yang tengah bersemangat memainkan alat perekam barunya,
Everett berjalan meninggalkan stadion, membicarakan banyak hal dari gosip
tetangga, masalah kabel di sekolah yang digigit seekor tupai, sampai bahasan
saintifik mengenai posibilitas penemuan canggih di masa depan (kisahnya
berlatar tahun 1950an), seperti jalan raya elektrik, alat transportasi berwujud
tabung, dan satu hal yang menurut Fay mustahil terwujud: telepon selular.
Sejatinya obrolan mereka cuma alat pengisi waktu. Tanpa
dampak ke cerita utama, tanpa pesan terselubung (selepas konflik utama masuk,
pembicaraan sempat sekilas menyinggung isu rasisme serta paranoia pasca Perang
Dingin), walau berfungsi memberi gambaran lebih mengenai hubungan non-romantis
kedua protagonis.
Everett dan Fay memulai pekerjaan masing-masing. Malam
bergulir seperti biasa, sampai Fay menangkap sebuah frekuensi audio misterius,
yang mendorong mereka melakukan investigasi, sementara di saat bersamaan,
beberapa fenomena aneh dialami warga Cayuga yang tak menonton pertandingan
basket. Sutradara debutan Andrew Patterson membuka misteri lewat single take sepanjang 10 menit, yang
menghasilkan bangunan ketegangan bertahap yang pelan-pelan makin mencengkeram,
sedangkan McCormick menjual kebingungan sekaligus kecemasan karakternya secara
meyakinkan.
Dibantu sinematografer M.I. Littin-Menz, Patterson gemar
memainkan metode pengambilan gambar, termasuk saat kamera beranjak keluar dari
kantor Fay, menyapu jalanan kota kosong yang membangun kesan isolasi yang
sesekali bisa ditemui juga di The
Twilight Zone, masuk lalu keluar dari stadion basket yang bergemuruh,
sebelum tiba di stasiun radio Everett. Momen tersebut—ditambah efek spesial di
penghujung durasi—adalah pameran pencapaian teknis filmnya di tengah keterbatasan
biaya. Demikian pula ketika Erick Alexander dan Jared Bulmer menjadikan suara
tepuk tangan sebagai salah satu bagian musik. Semua mewakili ambisi tim pembuat
film muda ini untuk melahirkan film murah yang bergaya.
Penyelidikan tokoh utamanya turut dibantu dua narasumber: Billy
(disuarakan Bruce Davis), mantan anggota militer, dan wanita tua bernama Mabel
(Gail Cronauer). Sepanjang percakapan, sosok Billy tak pernah nampak. Kita cuma
mendengar suaranya melalui telepon, sedangkan kamera menaruh fokus pada ekspresi
Everett, sambil sesekali berpindah ke Fay, yang ditangkap secara close-up. Bahkan tak jarang kita hanya
melihat layar hitam, melahirkan nuansa atmosferik yang mencerminkan sensasi
serupa drama radio. Imajinasi penonton dibiarkan bergerak liar mengikuti cerita
ala teori konspirasi yang tak pernah membosankan.
Pertanyaan yang diajukan adalah, “Apakah cerita-cerita
tersebut benar adanya?”. Apakah Billy berkata jujur atau sebatas orang iseng?
Apakah Mabel mengutarakan kebenaran atau cuma wanita tua yang kehilangan
kewarasan, juga salah mengartikan autisme puteranya? Misteri-misteri ini jadi pengikat
atensi, sembari kita pelan-pelan mengumpulkan petunjuk, yang sejatinya mengarah
ke satu jawaban. Jawaban dalam ending, yang
sayangnya gagal memberi penebusan setimpal. Seolah naskah buatan James Montague
dan Craig W. Sanger berkata, “You wanna
see “that thing” right? Here, we give
you one”, tanpa ada olahan ketegangan, teror, atau sense of wonder (yang kemungkinan besar jadi incaran terbesar
pembuat filmnya, sebagai tribute kepada
Close Encounters of the Third Kind).
The Vast of Night merupakan surat cinta. Surat cinta
untuk suguhan fiksi-ilmiah, pula surat cinta untuk seni merekam suara. Bahkan
terdapat adegan mendetail di mana Everett berkali-kali membongkar-pasang pita
rekaman. Mungkin itu juga alasan mengapa filmnya begitu “cerewet”. The Vast of Night bukan tontonan yang
bakal meneror , menakuti, apalagi memacu jantung penonton melalui kisah invasi
alien berskala besar. Bayangkan kalian sedang duduk bersama teman-teman,
berkumpul sembari minum-minum, merokok, berkelakar, kemudian salah seroang
teman mulai menceritakan sebuah kisah abnormal yang amat menarik.
Available on PRIME
VIDEO
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 komentar :
Comment Page:Setuju sama mas Rasyid. Aku nonton tanpa liat sinopsisatau review, jadi menit2 pertama udah agak bosan sama percakapan ngalor ngidul pemerannya. Mikir ini arahnya mau di bawa kemana . Tapi karna visualnya cantik + elemen retronya dapat bgt akhirnya nerusin nonton dan emang sebagus itu. Untung gak mutusin berenti di awal film.
Posting Komentar