THE VAST OF NIGHT (2019)

1 komentar
The Vast of Night dibungkus layaknya sebuah episode serial televisi antologi berjudul Paradox Theatre, lengkap dengan narasi pembuka serta title card yang memberi rujukan kuat pada The Twilight Zone. Beberapa kali, termasuk di opening, penonton diposisikan seolah sedang menonton di depan televisi model lama. Pengemasan itu tanpa substansi. Sebatas gimmick. Sementara keseluruhan filmnya bak versi talky dan low-key dari The Twilight Zone, tapi dengan hasil memikat, alias bukan sekadar tribute kosong.

Kenapa talky? Karena sejak awal, saat Everett (Jake Horowitz) si penyiar radio mampir sejenak ke stadion yang nantinya terisi penuh oleh mayoritas warga Cayuga, New Mexico, yang berbondong-bondong menyaksikan pertandingan basket perdana musim tersebut, filmnya langsung memberondong penonton dengan deretan banter cepat, terkadang saling tumpang tindih, yang seperti diambil dari judul-judul karya Richard Linklater.

Bersama Fay (Sierra McCormick), operator switchboard yang tengah bersemangat memainkan alat perekam barunya, Everett berjalan meninggalkan stadion, membicarakan banyak hal dari gosip tetangga, masalah kabel di sekolah yang digigit seekor tupai, sampai bahasan saintifik mengenai posibilitas penemuan canggih di masa depan (kisahnya berlatar tahun 1950an), seperti jalan raya elektrik, alat transportasi berwujud tabung, dan satu hal yang menurut Fay mustahil terwujud: telepon selular.

Sejatinya obrolan mereka cuma alat pengisi waktu. Tanpa dampak ke cerita utama, tanpa pesan terselubung (selepas konflik utama masuk, pembicaraan sempat sekilas menyinggung isu rasisme serta paranoia pasca Perang Dingin), walau berfungsi memberi gambaran lebih mengenai hubungan non-romantis kedua protagonis.

Everett dan Fay memulai pekerjaan masing-masing. Malam bergulir seperti biasa, sampai Fay menangkap sebuah frekuensi audio misterius, yang mendorong mereka melakukan investigasi, sementara di saat bersamaan, beberapa fenomena aneh dialami warga Cayuga yang tak menonton pertandingan basket. Sutradara debutan Andrew Patterson membuka misteri lewat single take sepanjang 10 menit, yang menghasilkan bangunan ketegangan bertahap yang pelan-pelan makin mencengkeram, sedangkan McCormick menjual kebingungan sekaligus kecemasan karakternya secara meyakinkan.

Dibantu sinematografer M.I. Littin-Menz, Patterson gemar memainkan metode pengambilan gambar, termasuk saat kamera beranjak keluar dari kantor Fay, menyapu jalanan kota kosong yang membangun kesan isolasi yang sesekali bisa ditemui juga di The Twilight Zone, masuk lalu keluar dari stadion basket yang bergemuruh, sebelum tiba di stasiun radio Everett. Momen tersebut—ditambah efek spesial di penghujung durasi—adalah pameran pencapaian teknis filmnya di tengah keterbatasan biaya. Demikian pula ketika Erick Alexander dan Jared Bulmer menjadikan suara tepuk tangan sebagai salah satu bagian musik. Semua mewakili ambisi tim pembuat film muda ini untuk melahirkan film murah yang bergaya.

Penyelidikan tokoh utamanya turut dibantu dua narasumber: Billy (disuarakan Bruce Davis), mantan anggota militer, dan wanita tua bernama Mabel (Gail Cronauer). Sepanjang percakapan, sosok Billy tak pernah nampak. Kita cuma mendengar suaranya melalui telepon, sedangkan kamera menaruh fokus pada ekspresi Everett, sambil sesekali berpindah ke Fay, yang ditangkap secara close-up. Bahkan tak jarang kita hanya melihat layar hitam, melahirkan nuansa atmosferik yang mencerminkan sensasi serupa drama radio. Imajinasi penonton dibiarkan bergerak liar mengikuti cerita ala teori konspirasi yang tak pernah membosankan.

Pertanyaan yang diajukan adalah, “Apakah cerita-cerita tersebut benar adanya?”. Apakah Billy berkata jujur atau sebatas orang iseng? Apakah Mabel mengutarakan kebenaran atau cuma wanita tua yang kehilangan kewarasan, juga salah mengartikan autisme puteranya? Misteri-misteri ini jadi pengikat atensi, sembari kita pelan-pelan mengumpulkan petunjuk, yang sejatinya mengarah ke satu jawaban. Jawaban dalam ending, yang sayangnya gagal memberi penebusan setimpal. Seolah naskah buatan James Montague dan Craig W. Sanger berkata, “You wanna see “that thing” right? Here, we give you one”, tanpa ada olahan ketegangan, teror, atau sense of wonder (yang kemungkinan besar jadi incaran terbesar pembuat filmnya, sebagai tribute kepada Close Encounters of the Third Kind).

The Vast of Night merupakan surat cinta. Surat cinta untuk suguhan fiksi-ilmiah, pula surat cinta untuk seni merekam suara. Bahkan terdapat adegan mendetail di mana Everett berkali-kali membongkar-pasang pita rekaman. Mungkin itu juga alasan mengapa filmnya begitu “cerewet”. The Vast of Night bukan tontonan yang bakal meneror , menakuti, apalagi memacu jantung penonton melalui kisah invasi alien berskala besar. Bayangkan kalian sedang duduk bersama teman-teman, berkumpul sembari minum-minum, merokok, berkelakar, kemudian salah seroang teman mulai menceritakan sebuah kisah abnormal yang amat menarik.


Available on PRIME VIDEO

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Setuju sama mas Rasyid. Aku nonton tanpa liat sinopsisatau review, jadi menit2 pertama udah agak bosan sama percakapan ngalor ngidul pemerannya. Mikir ini arahnya mau di bawa kemana . Tapi karna visualnya cantik + elemen retronya dapat bgt akhirnya nerusin nonton dan emang sebagus itu. Untung gak mutusin berenti di awal film.