DA 5 BLOODS (2020)
Rasyidharry
Juni 13, 2020
Bagus
,
Chadwick Boseman
,
Clarke Peters
,
Delroy Lindo
,
Drama
,
Isiah Whitlock Jr.
,
Jonathan Majors
,
Kevin Willmott
,
Newton Thomas Sigel
,
Norm Lewis
,
REVIEW
,
Spike Lee
,
War
Tidak ada komentar
“That’s one small step
for man, one giant leap for mankind”, ucap Neil Armstrong saat menapakkan
kaki di bulan. Sang astronot sempat menyatakan ada kesalahan pengutipan
terhadap pernyataannya. Bukan “for man”,
melainkan “for A man”. Tentu saja
koreksi itu tak dipedulikan, sebab kalimat yang keliru itu terkesan lebih
megah, lebih menjual sebagai branding terhadap
pendaratan di bulan: Sebuah lompatan besar bagi umat manusia. Tapi sebagaimana
Spike Lee (Do the Right Thing,
BlacKkKlansman) siratkan melalui rangkaian footage selaku sekuen pembuka, lompatan besar macam apa di saat
banyak anak-anak masih didera kelaparan?
Lompatan besar macam apa di saat rasisme terus merajalela?
Perang Sipil menjanjikan kebebasan bagi kulit hitam. Mereka tidak mendapatkannya.
Perang Dunia II menjanjikan kebebasan bagi kulit hitam. Mereka tidak
mendapatkannya. Perang Vietnam menjanjikan kebebasan bagi kulit hitam. Mereka
tidak mendapatkannya. Sementara Hollywood sendiri dituding melakukan whitewashing dalam mengemas film perang
mereka. Itu pula yang beberapa tahun lalu sempat membuat Spike Lee bersitegang
dengan Clint Eastwood setelah perilisan Flags
of Our Father dan Letters from Iwo
Jima pada 2006. Lee menuding Eastwood menutup mata atas peran prajurit
kulit hitam.
Selang 14 tahun, Lee merilis Da 5 Bloods, yang sejatinya merupakan naskah berjudul The Last Tour buatan Danny Bilson dan
Paul De Meo, yang rencananya bakal disutradarai Oliver Stone. Bisa ditebak,
karakternya berkulit putih. Lee menulis ulang naskahnya bersama Kevin Willmott
yang telah menjadi partnernya sejak Chi-Raq
(2015), mengubah ras protagonis, menjadikannya film pertama soal Perang
Vietnam yang dituturkan lewat kaca mata prajurit kulit hitam.
Bisa ditebak, hasilnya adalah tontonan menghibur sekaligus
kritis nan tajam. Siapa lagi yang berani mengolok-olok kepalsuan Rambo selain
Spike Lee? Kisahnya sendiri mengetengahkan empat veteran, Paul (Delroy Lindo),
Otis (Clarke Peters), Eddie (Norm Lewis), dan Melvin (Isiah Whitlock Jr.), yang
kembali ke Vietnam, bukan sebatas untuk reuni, melainkan membawa pulang jenazah
pemimpin tim mereka dahulu, Norman (Chadwick Boseman). Nantinya, turut menyusul
pula David (Jonathan Majors), putera Paul, yang punya hubungan kurang baik
dengan sang ayah.
Tapi ada satu lagi misi rahasia yakni mencari peti berisi
emas, yang kelimanya kubur di tengah peperangan. Emas itu sejatinya dipakai
oleh pemerintah Amerika Serikat guna membayar jasa penduduk lokal agar mau
bertempur di pihak mereka. Tapi pesawat yang membawanya jatuh. Norman meyakinkan
rekan-rekannya untuk membawa emas tersebut, sebagai bentuk pelunasan hutang
pemerintah Amerika atas tindakan sewenang-wenang mereka terhadap kaum kulit
hitam.
Tentu banyak rintangan membentang, tapi yang paling menghantui
adalah pergulatan karakternya dengan diri sendiri akibat trauma, dan Da 5 Bloods menyiratkan bahwa trauma itu
bermuara pada rasisme. Rasisme oleh siapa? Kulit putih tentunya, yang
bertanggung jawab menyebarkan, bahkan mempopulerkan rasisme. Di sebuah
kesempatan, warga Vietnam sempat melontarkan kata-kata bernada rasial, yang
menurut pengakuan mereka, diajarkan oleh kulit putih.
Keempat protagonisnya menyimpan luka lama, tapi jelas Paul
yang paling terdampak. Digerogoti PTSD, ia mengaku selalu ditemui Norman setiap
malam. Satu elemen menarik adalah ketika Paul dengan bangga menyatakan memilih Trump,
memakai topi MAGA (Make America Great
Again), bahkan mendukung pembangunan tembok demi menghalangi masuknya
imigran. Ini adalah penokohan kompeks, thought-provoking,
mungkin juga membingungkan.
Agar memahaminya, kita perlu memperhatikan konteks, serta
ucapan-ucapan dari mulut Paul. Dia merasa selalu dikhianati, baik sebagai kulit
hitam yang dijanjikan kebebasan, maupun prajurit, yang disebut “pembunuh
anak-anak” sepulangnya ia ke tanah air selepas (dipaksa) bertaruh nyawa. Dia
merasa selalu jadi pihak yang kalah. Paul lelah akan semua itu. Sudah terlalu
hancur hatinya. Begitu muncul figur yang lantang menyatakan “Aku akan
menjadikan kita pemenang”, Paul tergoda oleh bayangan superioritas tersebut. Pilihan
yang tentu saja cuma menambah kekalutan hatinya.
Delroy Lindo memerankan Paul dalam tingkat kompleksitas
serupa, dengan mata yang senantiasa diwarnai teror, sesekali menjadi pria
penyayang, sesekali menjadi pria sedih, lalu di waktu lain menjadi pria penuh
ketakutan. Puncaknya ketika Paul mencapai “batas” dan melakukan monolog sembari
menatap ke arah kamera, seolah ingin meluapkan segalanya kepada penonton.
Secara berulang, alurnya mengajak kita mundur ke masa lalu mengunjungi
medan perang, melalui flashback yang
kembali membuktikan bahwa Spike Lee adalah sutradara yang menaruh bobot
seimbang kepada gaya dan substansi. Flashback-nya
memakai rasio aspek 1.33:1, sementara sinematografer Newton Thomas Sigel (Drive, Bohemian Rhapsody) merekamnya
menggunakan format film 16 mm, melahirkan kesan bak newsreel di zaman perang.
Menariknya lagi, flashback-nya
tidak memakai riasan, CGI, atau aktor lain untuk memerankan versi muda
karakternya. Selain alasan biaya plus ketidaksukaan Lee akan penggunaan lebih
dari satu aktor, pilihan ini juga menguatkan kesan bahwa flashback yang kita saksikan adalah memori di kepala karakternya.
Bukankah kala kita bermimpi atau membayangkan mengenai masa lalu, secara tidak
sadar kita cenderung memvisualisasikan diri kita dari masa kini?
Satu contoh lain perihal keseimbangan Lee bergaya dan
bertutur dapat disimak ketika seorang prajurit Vietnam membicarakan soal
pembantaian My Lai. Beberapa kali Lee menyelipkan cuplikan foto pembantaian
tersebut. Hanya sekilas, hingga agak sulit mencerna gambar apa yang ada di
layar. Otomatis, penonton terpancing untuk menajamkan pandangan agar tak
melewatkan gambar berikutnya. Dan tepat saat itu dilakukan, Lee memasang foto
jenazah seorang bocah yang kepalanya tertembak. Tapi alih-alih berlalu secepat
kilat seperti sebelumnya, foto itu bertahan lebih lama, dan berujung efektif menanamkan
gambaran memilukan di benak penonton.
Sejak Girl 6 (1996),
semua film Spike Lee selalu menembus durasi dua jam, kecuali karya terburuknya,
Oldboy (2013). Tidak jarang itu
menimbulkan masalah dinamika. Begitu pula Da
5 Bloods, yang andai tak berlangsung selama 154 menit pun, takkan
mengurangi kekuatan tuturannya (bahkan menambah) mengenai para veteran yang
gemar berucap, “5 bloods don’t die. We
multiply”. Familiar dengan kalimat tersebut? Tentu saja. Sebab di negara
mana pun, tentang isu apa pun, itulah roh suatu perjuangan.
Available on NETFLIX
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar