BIG TIME ADOLESCENCE (2019)

Tidak ada komentar
Semasa sekolah, pasti kita pernah merasa bangga, atau minimal senang, saat “di-notice” senior. Bukan prestasi yang akan digembar-gemborkan, tapi saat senior tahu namamu tanpa pernah berkenalan langsung, bahkan mengajak nongkrong bersama, cukup untuk memancing senyum, kemudian berpikir, “Wah, aku terkenal. Aku keren”. Karena keinginan menjadi (baca: dianggap) keren memang salah satu ciri remaja.

Hanya saja, sikap tokoh utama Big Time Adolescence, Monroe “Mo” Harris (Griffin Gluck), berlebihan. “He was the man!”, begitu deskripsi Mo tentang Zeke (Pete Davidson), mantan kekasih kakaknya yang berusia tujuh tahun lebih tua. Alasannya? Zeke mengajaknya menonton film dengan rating R, memperlihatkan foto wanita telanjang, minum bir, dan aktivitas-aktvitias “dewasa” lain.

Awalnya, saya pun memandang Zeke secara positif. Mungkin bukan panutan seperti Mo melihatnya, tapi Zeke jelas anak yang asyik. Tapi seiring waktu, mulai timbul kekhawatiran, termasuk dari orang tua Mo. Bagaimana tidak? Mo tak memiliki teman sepantaran. Setiap malam ia selalu mampir ke rumah Zeke, si pengangguran berumur 23 tahun yang hari-harinya cuma diisi alkohol, ganja, serta mimpi-mimpi kosong yang berujung wacana belaka. 

Mo amat meninggikan Zeke. Segala saran dituruti, termasuk soal percintaan, ketika ia menyukai teman sekelasnya, Sophie (Oona Laurence). “Zeke adalah legenda SMA”, kata Mo. Zeke pun membanggakan status tersebut. Mo ingin menjadi keren, Zeke pun ingin dianggap keren sehingga menikmati keberadaan Mo. Zeke mengejar kejayaan masa lalu, di saat Mo semestinya mengejar masa depan.

Di bawah arahan Jason Orley selaku sutradara sekaligus penulis naskah, Big Time Adolescence bukan komedi yang akan membuat penonton tertawa sampai sakit perut, namun pembawaan ringan, ditambah tenaga hasil dari kengawuran sikap remaja di fase tumbuh kembang, cukup efektif memberi hiburan.

Gluck menampilkan kepolosan yang takkan membuat penonton menyalahkan pilihan-pilihan buruknya, melainkan berharap Mo segera sadar. Sementara Doherty punya senyum lebar yang menyimpan lebih banyak makna dari kelihatannya. Di beberapa kesempatan, melalui senyum itu tampak sosok menyebalkan yang tak memedulikan apa pun, lalu di kesempatan lain, terlihat pria kacau, yang menyadari bahwa dirinya kacau, tapi berpura-pura semua baik saja-saja.

Paparan dramanya lebih kuat dari perkiraan. Saya pikir Big Time Adolescence merupakan film yang penting untuk ditonton para remaja. Tidak ada sugarcoating atau romantisasi keliaran masa muda. Kita sungguh diperlihatkan dampak dari keputusan-keputusan bodoh dan kesalahan pergaulan. Begitu terlanjur basah, tidak ada kata mundur, tidak ada peluang kabur, tidak ada keajaiban yang membuat semua kesalahan dimaafkan secara instan. Babak akhirnya cukup menyakitkan, sebab kita diajak melihat protagonisnya membayar dosa-dosanya (termasuk urusan cinta) dengan harga mahal.

Shot penutupnya pun kuat secara emosional. Mo perlahan bergerak maju (masa depan), sedangkan dari kejauhan, Zeke terduduk lemas, terjebak di belakang (masa lalu). Sosoknya out-of-focus, seolah mewakili ketidakjelasan kondisinya. Mengapa Zeke berakhir sebagai pecundang? Sarannya soal baseball bisa dijadikan gambaran. Zeke menyuruh Mo mengincar ball. Cukup berdiri diam, tidak perlu memukul, sebagaimana Zeke yang tak pernah menyelesaikan setumpuk masalahnya dan memilih kabur. Mungkin dengan demikian, Mo terhindar dari risiko strike, tapi tanpa usaha memukul, mustahil baginya mendapat home run.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page: