PORTRAIT OF A LADY ON FIRE (2019)
Rasyidharry
Juli 15, 2020
Adèle Haenel
,
Céline Sciamma
,
Claire Mathon
,
Luàna Bajrami
,
Noémie Merlant
,
REVIEW
,
Romance
,
Sangat Bagus
,
Valeria Golino
Tidak ada komentar
Tatapan pria (male gaze)
membunuh. Pada konteks dunia nyata, tatapan pria kerap berujung pemerkosaan
yang menghancurkan hidup wanita. Pada konteks film, tatapa pria kerap berujung
keputusan-keputusan artistik beraroma seksis. Persoalan tatapan ini yang
disoroti Portrait of a Lady on Fire
karya Céline Sciamma (Tomboy, Girlhood)
selaku sutradara sekaligus penulis naskah, baik dalam subteks cerita, maupun
pendekatan penyutradaraan.
Berlatar Prancis di akhir abad 18, seorang pelukis muda
bernama Marianne (Noémie Merlant) menerima tawaran pekerjaan untuk membuat
lukisan diri Héloïse (Adèle Haenel), yang oleh sang ibu (Valeria Golino) hendak
dinikahkan dengan bangsawan asal Milan. Héloïse sendiri menolak gagasan
perjodohan tersebut, yang disuarakannya dengan keengganan berpose di depan
pelukis sebelumnya. Alhasil Marianne menempuh metode lain sesuai saran ibunda Héloïse.
Marianne berpura-pura menjadi teman jalan-jalan bagi Héloïse,
sebagai cara menghafalkan fitur-fitur sang objek, kemudian melukisnya secara sembunyi-sembunyi
di malam hari. Sedangkan bagi Héloïse yang cenderung menutup diri serta masih
berduka sejak kakaknya bunuh diri, kehadiran Marianne memberi warna pula
perspektif baru dalam hidupnya. Lalu terjadilah aktivitas saling menatap
sebagaimana saya singgung di awal tulisan. Marianne diam-diam memperhatikan seluruh
detail fisik serta gerak-gerik Héloïse. Tanpa Marianne sadari, Héloïse pun
melakukan hal serupa.
Céline Sciamma mempresentasikan seni observasi melalui teknik
pengambilan gambar yang didominasi medium
close-up. Di beberapa situasi kala mereka berinteraksi, satu shot akan berisi wajah Marianne yang
sedang mengobservasi, lalu berpindah ke reaction
shot yang berfokus pada Héloïse, di mana ia tengah melakukan hal serupa.
Penonton pun menjadi observer tak kasat mata, bagai hantu yang keberadaannya
tak disadari kedua karakter, yang pelan-pelan membuka diri satu sama lain,
hingga akhirnya saling mengenal, berteman dekat, kemudian jatuh cinta.
Sciamma berusaha membuat filmnya sealami mungkin dengan
kamera yang diam, setia pada medium shot,
tanpa menerapkan close-up untuk
menyoroti perubahan ekspresi, gestur, atau gerak-gerik lain karakternya. Semua
dibiarkan mengalir, manipulasi filmis ditekan sebisa mungkin guna melahirkan
realisme yang sepenuhnya menghapus batasan antara penonton dengan film. Akting
natural Noémie Merlant dan Adèle Haenel, yang begitu detail hingga mendorong
kita untuk menyimak ekspresi mikro, ikut membantu tercapainya tujuan tersebut.
Seiring berkembangnya hubungan Marianne dan Héloïse menuju
romansa, aspek seksualitas pun tak terelakkan. Seksualitas yang sekali lagi,
berpotensi “membunuh” filmnya akibat jatuh ke ranah perversion andai dibungkus memakai male gaze. Di tangan Sciamma, seksualitas bukan erotisme murahan,
melainkan ekspresi passion yang
intens. Serupa deretan interaksi non-seksual yang penuh keintiman intens, yang
membuat tiap tatapan, sentuhan, bahkan hembusan napas memiliki bobot emosi,
walau tanpa diiringi musical score.
Rasanya, semakin lama menatap layar, semakin saya terhipnotis, dicengkeram lalu
terhisap ke dalam peristiwanya.
Tapi Portrait of a Lady
on Fire tidak selalu berjalan bergandengan dengan nuansa minimalis. Di
beberapa kesempatan, sinematografi garapan Claire Mathon (Stranger by the Lake, Atlantics) memanjakan mata lewat beragam
bentuk. Adegan indoor malam hari,
tatkala hanya cahaya lilin yang menerangi, tampak bak lukisan abad 18. Konsep
visual yang senada dengan Barry Lyndon (1975)
milik Stanley Kubrick. Sedangkan di luar ruangan, keindahan lanskap alam sudah menanti.
Lalu apa yang terjadi seusai proses observasi? Segalanya
terekam di memori. Pada titik itu, seorang artis bisa melahirkan karya tanpa
menatap objek secara langsung sebagai contoh, seperti saat Sophie (Luàna
Bajrami) si pelayan tetap melanjutkan sulamannya meski bunga yang menjadi objek
telah layu. Realita berubah akibat kekuatan waktu, namun memori tidak. Seiring
waktu, memori takkan berganti meski bisa jadi memudar. Di situlah karya seni
berperan sebagai media mengabadikan memori.
Saya agak mengeluhkan momen penutupnya, yang biarpun membuktikan
luar biasanya Adèle Haenel mengolah rasa, pun menjadi satu lagi petunjuk
mengenai cara kerja memori, sejatinya tak perlu ada. Sciamma terkesan ingin
memberi letupan di penutup selaku “hadiah” bagi penonton setelah menghabiskan 2
jam perjalanan yang bergerak lambat. Bukan berarti momen itu buruk, tetapi sebelumnya
sudah muncul momen yang mewakili makna serupa, lewat pendekatan elegan dan
kesubtilan yang lebih selaras dengan keseluruhan film. Tapi itu sebatas
gangguan minor. Portrait of a Lady on
Fire tetap salah satu romansa paling powerful
dalam beberapa tahun terakhir.
Available on HULU
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar