YEH BALLET (2020)
Rasyidharry
Juli 09, 2020
Achintya Bose
,
Cukup
,
Drama
,
Hindi Movie
,
Julian Sands
,
Manish Chauhan
,
REVIEW
,
Sooni Taraporevala
Tidak ada komentar
Mengambil gambar jembatan dari atas, kamera bergerak perlahan
sembari diiringi musik orkestra yang mengesankan kemewahan, hingga tiba di
deretan gedung pencakar langit, sebelum akhirnya turun, memperlihatkan
perkampungan kumuh yang menciptakan kesenjangan ekstrim dengan apa yang nampak
sebelumnya. Melalui adegan pembukanya, sutradara Sooni Taraporevala—yang
mengawali karir sebagai penulis naskah Salaam
Bombay! (1988), film India kedua yang meraih nominasi Oscar—langsung berhasil
menggaet atensi lewat paparan subtil tanpa kehilangan ketegasan.
Merupakan dramatisasi dari dokumenter pendek berjudul sama
yang dibuat Taraporevala tiga tahun lalu, Yeh
Ballet mengangkat kisah nyata perjuangan dua remaja kurang mampu asal
Mumbai, Amiruddin Shah dan Manish Chauhan, guna mewujudkan cita-cita mereka di
dunia tari. Sebuah sajian inspiratif yang tak menutup mata perihal privilege, tapi juga tak menafikan esensi
kerja keras, apalagi melarang si miskin untuk bermimpi.
Asif (Achintya Bose) dan Nishu (Manish Chauhan memerankan
versi fiktif dirinya) merupakan dua protagonis kita. Asif seorang b-boy, Nishu mencuri perhatian pemirsa
lewat tarian kontemporernya pada kompetisi tari di televisi. Asif kerap
melakukan pekerjaan kotor, Nishu diam-diam memakai uang yang didapat sang ayah
sebagai sopir taksi untuk menari. Asif adalah penganut Islam yang menyukai
gadis Hindu, Nishu adalah remaja miskin yang menjalin kedekatan dengan gadis
kaya. Tiada kemudahan bagi kaum underprivileged
seperti mereka.
Jalan keduanya bersinggungan setelah sama-sama memasuki
sekolah tari. Seorang legenda balet asal Amerika, Saul Aaron (Julian Sands)
didatangkan guna mengajar di sana. Aaron bukan pria yang ramah, pun sebagai
Yahudi, rasisme membuat perjalanan hidupnya tak pernah mudah. Aaron melihat
bakat alami dalam diri Asif, lalu menjadikannya anak didik. Tidak mau kalah,
Nishu juga berlatih keras demi mencuri perhatian si pelatih. Tapi sebagai underprivileged, apakah kerja keras
cukup? Mampukah mereka menggapai cita-cita?
Jawaban dua pertanyaan di atas adalah “ya” dan “tidak”. Ya,
mereka mampu menggapai cita-cita, namun tidak, kerja keras saja tidak cukup.
Karena sekali lagi, Yes Ballet merupakan
drama yang mengajak kita sadar akan realita soal privilege tanpa berusaha membunuh cita-cita. Pola yang dipakai naskah
buatan Sooni Taraporevala adalah, mengajak kita meresapi perjuangan dua tokoh
utama lebih dulu, membuai kita dengan pelan-pelan membuka gerbang impian,
hingga akhirnya gerbang itu tertutup tepat di depan mata kala tembok tebal
bernama privilege menghadang.
Talenta serta kerja keras Asif dan Nishu seolah tak berarti ketika
dihantam birokrasi, yang jelas “tajam ke bawah”, menciptakan lingkaran setan
yang senantiasa menutup pintu pengentasan kemiskinan. Kaum borjuis memandang
rendah, enggan menglurkan tangan kepada si miskin. Tapi di tatanan akar rumput
sendiri, banyak yang gemar mematikan mimpi sesamanya. Entah karena iri, atau
alasan agama.
Benturan antar agama memang masih kerap melahirkan perpecahan
di India, terlebih di kalangan menengah ke bawah. Asif kerap diomeli oleh sang
paman, yang ditinjau dari cara berpakaiannya merupakan muslim yang (sok) taat,
akibat senang turut serta dalam perayaan Diwali. Sesuatu yang coba dilawan Asif
melalui pernyataan “Darah kita semua sama. Tidak ada kafir. Kita semua
bersaudara”. Masalahnya, sang paman sering memberi bantuan uang untuk keluarga
Asif.
Yeh Ballet efektif memangun dinamika lewat
paparan kerasnya hidup protagonis, yang bahkan sempat menyentuh peristiwa
tragis, walau sayangnya, niatan mempresentasikan persoalan sebanyak mungkin
tidak dibarengi transisi mulus karena minimnya jembatan yang menghubungkan
masalah satu dan lainnya. Progres hubungan Asif-Nishu-Aaron juga terkesan
buru-buru. Di satu titik Asif dan Nishu bersitegang sementara sang pelatih masih
bersikap kurang bersahabat, tapi tak sampai lima menit berselang, ketiganya
sudah tertawa sambil menghadiri perayaan Diwali bersama. Masalah lain terkait
alur adalah kehadiran salah satu siswa sekolah tari, yang selalu jadi figur
penolong tanpa motivasi pasti. Ketimbang karakter yang matang, sosoknya sebatas
alat yang datang tiap kali naskahnya perlu menyelesaikan masalah terkait privilege.
Kisah personal Aaron juga disajikan setengah matang. Puluhan unread emails dari saudaranya sebatas
pernak-pernik yang tak membantu kita mendalami sisi personal Aaron lebih dalam.
Beruntung, filmnya tetap punya rasa berkat penampilan dua aktor amatirnya, yang
sama-sama memikat baik dari kemampuan olah emosi, maupun olah tubuh sebagai dua
murid balet bertalenta. Keputusan memakai Manish Chauhan untuk memerankan versi
fiktif dirinya sendiri terbukti menguatkan salah satu poin paling esensia dalam
film seperti Yeh Ballet: Realisme.
Available on NETFLIX
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar