YEH BALLET (2020)

Tidak ada komentar
Mengambil gambar jembatan dari atas, kamera bergerak perlahan sembari diiringi musik orkestra yang mengesankan kemewahan, hingga tiba di deretan gedung pencakar langit, sebelum akhirnya turun, memperlihatkan perkampungan kumuh yang menciptakan kesenjangan ekstrim dengan apa yang nampak sebelumnya. Melalui adegan pembukanya, sutradara Sooni Taraporevala—yang mengawali karir sebagai penulis naskah Salaam Bombay! (1988), film India kedua yang meraih nominasi Oscar—langsung berhasil menggaet atensi lewat paparan subtil tanpa kehilangan ketegasan.

Merupakan dramatisasi dari dokumenter pendek berjudul sama yang dibuat Taraporevala tiga tahun lalu, Yeh Ballet mengangkat kisah nyata perjuangan dua remaja kurang mampu asal Mumbai, Amiruddin Shah dan Manish Chauhan, guna mewujudkan cita-cita mereka di dunia tari. Sebuah sajian inspiratif yang tak menutup mata perihal privilege, tapi juga tak menafikan esensi kerja keras, apalagi melarang si miskin untuk bermimpi.

Asif (Achintya Bose) dan Nishu (Manish Chauhan memerankan versi fiktif dirinya) merupakan dua protagonis kita. Asif seorang b-boy, Nishu mencuri perhatian pemirsa lewat tarian kontemporernya pada kompetisi tari di televisi. Asif kerap melakukan pekerjaan kotor, Nishu diam-diam memakai uang yang didapat sang ayah sebagai sopir taksi untuk menari. Asif adalah penganut Islam yang menyukai gadis Hindu, Nishu adalah remaja miskin yang menjalin kedekatan dengan gadis kaya. Tiada kemudahan bagi kaum underprivileged seperti mereka.

Jalan keduanya bersinggungan setelah sama-sama memasuki sekolah tari. Seorang legenda balet asal Amerika, Saul Aaron (Julian Sands) didatangkan guna mengajar di sana. Aaron bukan pria yang ramah, pun sebagai Yahudi, rasisme membuat perjalanan hidupnya tak pernah mudah. Aaron melihat bakat alami dalam diri Asif, lalu menjadikannya anak didik. Tidak mau kalah, Nishu juga berlatih keras demi mencuri perhatian si pelatih. Tapi sebagai underprivileged, apakah kerja keras cukup? Mampukah mereka menggapai cita-cita?

Jawaban dua pertanyaan di atas adalah “ya” dan “tidak”. Ya, mereka mampu menggapai cita-cita, namun tidak, kerja keras saja tidak cukup. Karena sekali lagi, Yes Ballet merupakan drama yang mengajak kita sadar akan realita soal privilege tanpa berusaha membunuh cita-cita. Pola yang dipakai naskah buatan Sooni Taraporevala adalah, mengajak kita meresapi perjuangan dua tokoh utama lebih dulu, membuai kita dengan pelan-pelan membuka gerbang impian, hingga akhirnya gerbang itu tertutup tepat di depan mata kala tembok tebal bernama privilege menghadang.

Talenta serta kerja keras Asif dan Nishu seolah tak berarti ketika dihantam birokrasi, yang jelas “tajam ke bawah”, menciptakan lingkaran setan yang senantiasa menutup pintu pengentasan kemiskinan. Kaum borjuis memandang rendah, enggan menglurkan tangan kepada si miskin. Tapi di tatanan akar rumput sendiri, banyak yang gemar mematikan mimpi sesamanya. Entah karena iri, atau alasan agama.

Benturan antar agama memang masih kerap melahirkan perpecahan di India, terlebih di kalangan menengah ke bawah. Asif kerap diomeli oleh sang paman, yang ditinjau dari cara berpakaiannya merupakan muslim yang (sok) taat, akibat senang turut serta dalam perayaan Diwali. Sesuatu yang coba dilawan Asif melalui pernyataan “Darah kita semua sama. Tidak ada kafir. Kita semua bersaudara”. Masalahnya, sang paman sering memberi bantuan uang untuk keluarga Asif.

Yeh Ballet efektif memangun dinamika lewat paparan kerasnya hidup protagonis, yang bahkan sempat menyentuh peristiwa tragis, walau sayangnya, niatan mempresentasikan persoalan sebanyak mungkin tidak dibarengi transisi mulus karena minimnya jembatan yang menghubungkan masalah satu dan lainnya. Progres hubungan Asif-Nishu-Aaron juga terkesan buru-buru. Di satu titik Asif dan Nishu bersitegang sementara sang pelatih masih bersikap kurang bersahabat, tapi tak sampai lima menit berselang, ketiganya sudah tertawa sambil menghadiri perayaan Diwali bersama. Masalah lain terkait alur adalah kehadiran salah satu siswa sekolah tari, yang selalu jadi figur penolong tanpa motivasi pasti. Ketimbang karakter yang matang, sosoknya sebatas alat yang datang tiap kali naskahnya perlu menyelesaikan masalah terkait privilege.

Kisah personal Aaron juga disajikan setengah matang. Puluhan unread emails dari saudaranya sebatas pernak-pernik yang tak membantu kita mendalami sisi personal Aaron lebih dalam. Beruntung, filmnya tetap punya rasa berkat penampilan dua aktor amatirnya, yang sama-sama memikat baik dari kemampuan olah emosi, maupun olah tubuh sebagai dua murid balet bertalenta. Keputusan memakai Manish Chauhan untuk memerankan versi fiktif dirinya sendiri terbukti menguatkan salah satu poin paling esensia dalam film seperti Yeh Ballet: Realisme.


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page: