REVIEW - PROJECT POWER
Kalau berharap Project Power menyegarkan genre film pahlawan super, sebaiknya turunkan ekspektasi anda. Konsep tentang obat pemberi kekuatan super sebelumnya pernah diusung oleh film Tamil berjudul Iru Mugan (2016). Pun dalam pengembangannya, naskah buatan Mattson Tomlin (The Batman) dipenuhi keklisean, dari isu soal eksperimen sains yang mengesampingkan humanisme, kartel narkoba selaku antagonis, sosok ayah yang terluka, polisi korup, dan lain-lain.
Begitu pula soal penerapan premis "superhero di dunia nyata" yang gagal memenuhi potensinya. Pembangunan dunia hingga dampak fenomena kekuatan super terhadap kehidupan manusia sehari-hari tak dipresentasikan secara memadai (Chronicle masih yang terbaik perihal itu). Tapi kalau blockbuster ringan sebagai hiburan penawar rindu akan cinematic experience sebelum bioskop kembali dibuka adalah yang anda cari, maka Project Power merupakan pilihan tepat.
Berlatar New Orleans di masa depan, beredar Power, sebuah obat misterius yang dapat memberi kekuatan super selama lima menit, yang berasal dari kemampuan unik hewan-hewan. Jadi anda bakal menemukan kekuatan-kekuatan seperti termoregulasi, kulit sekeras baja, kamuflase, fleksibiltas, dan masih banyak lagi. Layaknya narkoba biasa, Power bisa didapat dari para pengedar. Salah satunya remaja bernama Robin (Dominique Fishback), yang terpaksa menjualnya demi mengumpulkan uang untuk pengobatan sang ibu.
Frank (Joseph Gordon-Levitt), seorang anggota NOPD, termasuk pelanggan Robin. Frank menggunakan Power untuk meringkus para penjahat (yang juga berkekuatan super) meski kerap menerima teguran dari atasan. Di sisi lain ada Art (Jamie Foxx) yang berusaha menemukan Biggie (Rodrigo Santoro) selaku sumber dari Power. Pencarian Art membuatnya bersinggungan jalan dengan Frank dan Robin, dan bisa ditebak, meski awalnya saling berlawanan, mereka akhirnya bakal menyatukan kekuatan. Kombinasi penampilan groovy Gordon-Levitt, karisma Foxx yang sempat menunjukkan akting dramatiknya meski cuma sejenak, dan Fishback yang memiliki bakat besar andai diberi materi lebih mumpuni, melahirkan trio yang interaksinya selalu menarik disimak.
Melakoni debut menggarap film berbiaya besar (85 juta), duo sutradara Henry Joost dan Ariel Schulman melakukan tugas mereka dengan baik dalam menjaga pacing. Ketat, cepat, namun tak terburu-buru. Sementara musik elektronik menggelegar buatan Joseph Trapanese (The Raid, The Greatest Showman), walaupun terdengar formulaik, nyatanya memang efektif menjaga intensitas.
Berpengalaman menangani judul-judul seperti Paranormal Activity 3 (2011), Paranormal Activity 4 (2012), dan Viral (2016), kentara bahwa Joost dan Schulman menaruh ketertarikan lebih tinggi pada horor ketimbang aksi. Sekuen aksi Project Power selalu lebih menarik kala menyelipkan elemen horor. Bukan cuma gore, bahkan di suatu momen baku tembak, ketimbang lesatan peluru atau ledakan, Joost dan Schulman memilih berfokus ke pemandangan bernuansa body horror ketika kemampuan termoregulasi seorang wanita malah berbalik membunuhnya secara mengenaskan.
Hasilnya jauh lebih memuaskan dibanding sewaktu keduanya mengedepankan aksi sarat CGI khas film superhero. Misalnya saat Art bertarung melawan Newt (Colson Baker) si "manusia api". Kita cuma bisa melihat kobaran api memenuhi layar, tanpa mampu memahami "apa", "siapa", dan "bagaimana". Third act-nya jadi puncak kekecewaan. Sejak awal penonton dibuat menanti kekuatan macam apa (dan berasal dari hewan apa) yang dimiliki Art. Tatkala payoff itu tiba, seperti biasa kualitas CGI-nya mumpuni, tapi kedua sutradara terlalu bergantung pada keriuhan efek yang tampak kacau, dihiasi gerak lambat yang hanya bentuk pamer gaya belaka ketimbang penguat intensitas. Ditambah durasi adegan yang terlampau singkat setelah penantian yang cukup lama, rasa kecewa pun semakin lengkap.
Bandingkan dengan deretan perkelahian lebih "membumi" di mana kemewahan CGI tak mendominasi, seperti saat Yoshi Sudarso sebagai Knifebones menjadikan tulangnya senjata bak Wolverine, atau pameran kelenturan tubuh tanpa bantuan efek khusus dari contortionist dunia nyata, Xavier Days, dalam sebuah baku hantam dengan koreografi terbaik sepanjang film.
Available on NETFLIX
4 komentar :
Comment Page:Dibanding Bloodshot nya Vin Diesel kayak nya mending ini ya bang?
Oo jauuh 😁
Bloodshot sebusuk itu ya?
Singlet putihnya yg termasuk bikin busuk..hahaha
Posting Komentar