REVIEW - BUCIN
Banyaknya permintaan mengulas Bucin sepertinya
didasari harapan membaca caci maki. Lupakan. Itu takkan terjadi. Fakta kalau
Chandra Liow melakoni debut penyutradaraan banyak menyulut keraguan, didasari
antipati publik terhadap banyak Youtuber. Walau tak memendam antipati serupa,
sejujurnya saya pun ragu. Sehingga mengejutkan, ketika Liow berhasil melahirkan
karya, yang biarpun dipenuhi lubang, lebih sinematis dibanding setumpuk komedi tanah
air. Liow sadar bahwa ia sedang membuat film. Bukan sebatas melucu.
Terkait kisah, judulnya sudah menjelaskan semua, yakni
tentang pria-pria bucin. Andovi (Andovi da Lopez) bak budak yang selalu
menuruti permintaan kekasihnya, Kirana (Widika Sidmore); Tommy (Tommy Limm)
terpaksa mengikuti kemauan Julia (Karina Salim) untuk segera menikah; Jovi (Jovial
da Lopez) ragu untuk mengakhiri hubungannya dengan Cilla (Kezia Aletheia);
sedangkan Chandra (Chandra Liow), well, seorang jomblo yang kehadirannya
sebatas pelengkap.
Keempatnya sepakat mengikuti kelas anti bucin milik Vania
(Susan Sameh). Bukan kelas biasa, sebab Vania memakai metode ekstrim, sebutlah
membius kliennya, mengurung mereka di escape room, dan lain-lain, yang
membuatnya lebih tepat menjadi penerus Jigsaw ketimbang penyandang gelar PhD Psikologi.
Apakah akhirnya para protagonis kita memperoleh pelajaran berharga terkait percintaan?
Hal itu patut dipertanyakan.
Ditulis naskahnya oleh Jovial (naskah keempatnya setelah Tak
Kemal Maka Tak Sayang, Youtubers, dan Modus), Bucin menampilkan
masalah-masalah romantika yang familiar. Beberapa dari anda mungkin menganggapnya
relatable. Tapi jangan mengharapkan eksplorasi berlapis nan mendalam
seputar kompleksitas hubungan. Keempat tokoh utama, khususnya Andovi dan Tommy,
mengalami barisan konflik serupa, pun acap kali menjalaninya bersama, namun
entah bagaimana, keduanya menarik kesimpulan, kemudian mengambil keputusan
berbeda. Jangan sebut “individual differences”. Naskahnya sama sekali
tak menyinggung itu. Jovial memaksakan konklusi sesuai kemauannya tanpa
menciptakan hasil natural sebagai dampak proses tiap kasus.
Lain cerita tentang pendekatan artistik. Seperti saya sebut
di atas, sebagai sutradara, Chandra sadar tengah membuat film. Bukan semata
merekam lawakan. Berbagai gaya, termasuk komedi visual diterapkan. Chandra
jelas ingin bergaya, kadang terkesan ingin pamer referensi, seperti saat
memasukkan kekhasan sineas-sineas yang (mungkin) jadi favoritnya, semisal Edgar
Wright. Style over substance? Ya. Apakah keliru? Tidak juga. Setidaknya
penyutradaraan Liow membuat Bucin tampil cukup segar. Saya pun yakin,
seiring pengalaman serta pendewasaan, kecenderungan “pamer gaya” itu perlahan
bakal memudar.
Di luar humor visual, banyolannya cukup menggelitik, ASALKAN
bukan soal bucin maupun seksual, yang sudah terlalu sering kita temui. Favorit
personal saya adalah running joke tentang Chandra sebagai “(self-proclaimed)
master of escape room”. Gading Marten muncul sebagai cameo, seperti
biasa menertawakan masalah percintaannya sendiri, yang tak peduli mau diulang
berapa kali pun di banyak film, tetap lucu berkat penghantaran sang aktor,
ditambah kemasan olok-olok yang selalu berbeda.
Saya menerima pendekatan style over substance dalam
penyutradaraan, namun tidak dengan penulisan naskahnya. Memasuki paruh akhir,
Jovial memunculkan twist tanpa esensi, yang malah membuatnya kebingungan
merangkum pesan utama film. Twist itu memancing pertanyaan-pertanyaan.
Apakah karakter Jovial akhirnya memang belajar dari kesalahan? Kenapa semudah
itu baginya “lolos”? Bukankah ia tertolong karena kebucinan Cilla yang
disalahartikan sebagai “bentuk cinta”? Kalau begitu, apakah film ini memandang
bucin sebagai hal negatif atau positif? Pun twist-nya menambah masalah
yang sejatinya tak perlu. Bukankah outcome-nya tidak adil bagi Vania,
pula wanita-wanita lain di luar sana?
Padahal tersimpan potensi menghadirkan perspektif cukup dewasa, di mana menghilangkan bucin bukan berarti meniadakan cinta dan hubungan (terutama terkait konflik yang dialami Tommy). Sungguh konklusi yang amat disayangkan, mengingat sekali lagi, bagi Chandra Liow, Bucin adalah debut penyutradaraan yang menjanjikan.
Available on NETFLIX
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar