REVIEW - THE FIGHT

Tidak ada komentar

Tidak kurang dari 147 gugatan hukum telah dilayangkan oleh American Civil Liberties Union (ACLU) terhadap pemerintahan Trump. Gugatan pertama muncul hanya seminggu setelah pelantikan, ketika Trump meresmikan larangan masuk untuk muslim. The Fight mengangkat empat kasus di antaranya. Tapi dokumenter garapan Elyse Steinberg dan Josh Kriegman— yang kali ini membentuk trio sutradara bersama Eli B. Despres, yang sempat menjadi editor mereka di Weiner (2016)— ini lebih mengedepankan para manusia, ketimbang tetek bengek persidangan.

Bahkan emosi sudah diaduk-aduk sejak menit awal, saat menyoroti para imigran yang terancam dideportasi. Kita diingatkan bahwa kasus tersebut melibatkan manusia-manusia yang dipisahkan paksa dengan orang-orang tercinta. Kemudian kita diperkenalkan pada lima pengacara ACLU: Brigitte Amiri, Joshua Block, Lee Gelernt, Dale Ho, dan Chase Strangio. Kelimanya terjun menangani empat kasus terbesar, yakni soal aborsi, LGBT di ranah militer, hak pilih, dan imigran.

Tidak punya banyak waktu guna menghadapi “Goliath” bernama “Pemerintahan Donald Trump”, kelima “David” ini mencurahkan segala daya upaya hingga nyaris tak punya waktu bagi keluarga di rumah, mengumpulkan materi, melakukan simulasi persidangan (disebut “moot court”). Mereka bergerak cepat dan tangkas, begitu pula filmnya. Ketiga sutradara membungkus The Gift dengan tempo cepat, tanpa kehilangan kerapian bertutur, sehingga penonton awam takkan kesulitan mencerna poin-poin seputar hukum dan persidangan.

Menariknya, kita hampir tidak pernah masuk ke ruang sidang, mengingat adanya larangan merekam di beberapa jenis persidangan. Sebagai gantinya, dipakailah beberapa sekuen animasi, menambah varian gaya, selain talking head konvensional, dan vérité yang menangkap detail aktivitas kelima pengacara kita. Sementara beberapa footage, baik pidato Trump, maupun rekaman penuturan kroco-kroconya, efektif untuk mengingatkan penonton tentang betapa kacau rezimnya, yang sejak detik pertama telah menunjukkan degradasi nilai-nilai kemanusiaan.

Sayangnya, begitu intensitas keempat kasus tadi meningkat, di mana permasalahan jadi makin pelik, makin sulit pula bagi filmnya menjaga kesolidan bercerita. Mulai terasa, bahwa jumlah konflik The Fight melebihi apa yang para pembuatnya mampu tampilkan. Dinamika mulai lalai dijaga, akibat tuntutan merangkum semua kasus, yang silih berganti memunculkan progres baru.

Di luar keempat kasus tadi, tragedi tabrak lari di tengah unjuk rasa di Charlottesville, rupanya tak dikesampingkan. Kontroversi mencuat kala ACLU, berbasis hak kebebasan bicara, membela para white supremacist dan neo-Nazi untuk menggelar rasa. Perihal itu pun menciptakan perbedaan pendapat di jajaran petinggi, bahkan beberapa anggota memilih keluar. Tapi cuma sekelumit fakta yang dipaparkan. Ketimbang eksplorasi, keberadaannya sebatas obligasi, karena akan terasa janggal apabila peristiwa itu dilewatkan. Tragedi Charlottesville pantas mendapat dokumenternya sendiri, yang mengupas kompleksitas prinsip free speech.

The Fight bukan tentang itu. The Fight adalah tentang minoritas-minoritas tertindas, dan penyalahgunaan kekuatan di tangan penguasa penghancur kemanusiaan. Pertempuran David melawan Goliath, di mana dengan mudah, penonton bakal membela sang David. Jika tidak, maka anda bukan target pasar film ini, yang menggambarkan pengacara-pengacara ACLU bak superhero dunia nyata. Apakah keliru? Tidak, kalau anda, seperti saya, termasuk target pasarnya, yang meyakini bahwa Amerika dipimpin oleh sesosok supervillain dunia nyata.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page: