REVIEW - DICK JOHNSON IS DEAD

Tidak ada komentar

Kematian adalah satu dari sedikit hal yang pasti dialami semua manusia, tapi nyaris mustahil untuk sepenuhnya merasa siap, baik bagi yang meninggalkan atau ditinggalkan. Dick Johnson Is Dead dapat dipandang sebagai cara si pembuat mempersiapkan diri, dalam salah satu pembahasan soal mortalitas paling orisinal dalam beberapa waktu terakhir.

Judulnya menjelaskan semua. Richard “Dick” Johnson adalah ayah sutradara Kirsten Johnson, dan di sini, kita diajak menyaksikan beberapa skenario konyol berisi kematiannya. Dari kejatuhan AC, tersandung di jalan, hingga bercucuran darah akibat terhantam sebatang kayu. Tentu semuanya rekayasa. Kirsten membuat film mengenai kematian ayahnya yang masih hidup, membungkusnya secara menggelitik, dengan harapan, bakal membantunya bersiap sebelum hari itu benar-benar datang.

Dick berumur 80an tahun. Pertama kali penonton melihatnya, dia sudah nampak uzur, namun masih cukup bertenaga, ramah, dan hampir tak pernah kehilangan senyum. Pun ia masih bekerja sebagai psikiater. Sampai kita tahu, bahwa demensia mulai menggerogoti memori pria itu, dan seiring kisahnya bergulir, penonton turut jadi saksi memburuknya kondisi Dick secara bertahap.

Dahulu, ibu Kirsten juga menderita alzheimer, sebelum meninggal pada 2007. Satu penyesalan Kirsten adalah, walau berstatus pembuat film (namanya dikenal sebagai sinematografer dokumenter-dokumenter seperti The Invisible War dan Citizenfour), dia hanya memiliki sedikit rekaman mengenai sang ibu. Itu pun menampilkan tahun-tahun terakhir hidupnya, dalam footage yang sebelumnya muncul di Cameraperson (2016), yang Kirsten sutradarai. Melalui Dick Johnson Is Dead, mungkin Kirsten juga ingin menebus penyesalan tersebut.

Adegan-adegan kematiannya kental nuansa komedi hitam. Tapi bukan itu visi terliar Kirsten, melainkan sekuen-sekuen sureal, dari pertemuan Dick dengan Yesus, hingga visualisasi surga di mana ia bertemu figur-figur terkenal termasuk Bruce Lee, sebelum akhirnya bertemu lagi, kemudian berdansa dengan mendiang istrinya.  

Dick merupakan pria yang gampang disukai. Mudah bagi kita memedulikan kondisinya, setelah mengikuti keseharian dan mendengar kisah-kisah masa lalunya. Salah satu favorit saya menyinggung soal kepercayaan Keluarga Johnson. Mereka pengikut Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, yang mengharamkan film. Tapi Kirsten justru diperkenalkan pada dunia film oleh sang ayah, yang mengajaknya menonton Young Frankenstein (1974). Menurut Dick, ia sudah mendapatkan surga di dunia dalam wujud keluarga tercintanya.

Semakin saya mengenal Dick, semakin saya yakin, kalau film ini bukan proses satu sisi. Dick ingin membantu Kirsten membuat film, sebagai cara mempersiapkan diri akan kematiannya. Mungkin Dick juga ingin mempersiapkan diri. Saat mereka yang ditinggalkan takut kehilangan, mereka yang pergi, takut jika keluarga yang masih hidup tenggelam dalam kesedihan terlalu dalam. Dick ingin membuat puterinya bahagia.

Tentu pertanyaan terbesarnya, “Apakah pembuatan film ini benar-benar membantu?”. Pertanyaan itu cuma bisa dijawab oleh Kirsten, namun menyaksikan konklusinya, ada siratan seputar perasaan sang sutradara selepas menjalani proses ini. Di situ, dalam ending yang amat indah, menyentuh, nan bermakna hingga membuat saya terdiam beberapa menit, Kirsten seolah berdamai dengan kematian. “Bersiap” bukan berarti dia siap kehilangan ayahnya kapan saja. “Bersiap” artinya, memastikan bahwa saat hari itu tiba, tidak ada sedikit pun penyesalan tertinggal.


Available on NETFLIX

Tidak ada komentar :

Comment Page: