REVIEW - THE BOYS IN THE BAND
Kisah tentang pria gay yang
membenci dirinya sebagai dampak psikis penolakan sosial, mungkin terkesan kuno,
apalagi pada zaman di mana para penulis berlomba-lomba merayakan LGBT, dengan
menggambarkannya sebagai sesuatu yang patut dibanggakan. Tapi The Boys in the Band memang produk masa
lalu. Diangkat dari pertunjukan Off-Broadway fenomenal berjudul sama yang pada
1968 mendobrak banyak batas, versi film terbaru ini (pada 1970, adaptasi layar
lebarnya juga pernah dibuat), mengembalikan jajaran pemain revival Broadway-nya (semua adalah aktor yang secara terbuka
mengaku sebagai gay), yang dipentaskan pada 2018 lalu.
Benar bahwa di beberapa bagian,
elemen ceritanya ketinggalan zaman, namun The
Boys in the Band, yang lahir pada era pre-liberation, memang lebih tepat dipandang sebagai period piece ketimbang cerminan masa
kini. Walau jika dilihat menggunakan sudut pandang yang lebih general mengenai psikis manusia, relevansi-relevansi
masih bisa ditemukan.
Pada Juli 1968, ditemani musik jazz
dan suasana malam yang sempurna dijadikan latar bercengkerama bersama teman
(kecuali hujan yang sempat turun), sembilan pria gay berkumpul di apartemen
Michael (Jim Parsons), guna merayakan ulang tahun Harold (Zachary Quinto), yang
terlambat datang sehingga memancing amarah Michael. Tapi sebelum itu, naskah
buatan Mart Crowley (penulis pertunjukan aslinya) dan Ned Martel terlebih
dahulu mengajak kita mengenal sosok-sosok lain.
Michael si tuan rumah adalah penganut
Katolik sekaligus mantan alkoholik, yang mementingkan penampilan meski itu
membuatnya terlilit utang. Donald (Matt Bomer) tengah menjalani terapi untuk
mengatasi gangguan kecemasannya. Larry (Andrew Rannells) adalah seniman
penganut gaya hidup bebas, sementara kekasihnya, Hank (Tuc Watkins), yang ada
di tengah proses perceraian, mengedepankan komitmen. Emory (Robin de Jesús) si
flamboyan yang gemar melontarkan humor-humor campy, datang membawa Cowboy (Charlie Carver), si pelacur pirang
yang bodoh. Terakhir ada Bernard (Michael Benjamin Washington), pria kulit
hitam yang bertahun-tahun memendam rasa pada pria kulit putih pemilik rumah
tempat ia dan ibunya dulu bekerja sebagai pelayan.
Interaksi yang dibangun, efektif
membantu penonton mengingat “siapa adalah siapa”. Performa jajaran pemain pun
kuat, di mana Jim Parsons sebagai Michael yang menyulut mayoritas perkitaian, paling
menonjol. Hanya Matt Bomer yang kurang meyakinkan, dan itu bukan sepenuhnya
kesalahan sang aktor. Naskahnya memperkenalkan Donald sebagai pria dengan
kondisi psikis berantakan, namun sepanjang durasi, ia justru nampak paling
tenang dan tertata.
Banyak persoalan karakternya, jamak
kita lihat di kehidupan sehari-hari, baik di lingkup LGBT atau bukan. Larry dan
Hank membenturkan komitmen dan kebebasan dalam hubungan, Emory memperlihatkan
bahwa sosok happy-go-lucky bisa saja
menyimpan kerapuhan di dalam, sedangkan kebencian Michael atas diri sendiri, cenderung
membuatnya “memaksa” orang lain mengakui hal serupa. Kecenderungan itu makin
nyata selepas kedatangan dua pria lain.
Pertama adalah tamu tak diundang.
Alan (Brian Hutchison), teman Michael semasa kuliah, mendadak muncul, setelah
sebelumnya menelepon sambil menangis. Kita tidak pernah tahu alasannya
menumpahkan air mata, walau secara tersirat, kemungkinan ia merupakan closeted gay yang terjebak dilema. Alan
melontarkan banyak ucapan bernada homofobia, membuat Michael makin bersemangat
untuk memaksanya mengaku sebagai gay. Bukannya Michael peduli kepada Alan atau
ingin membela kaum gay. Dia cuma ingin menyakiti kawan lamanya itu.
Semakin kentara setelah kedatangan
Harold, yang terus Michael tuding sebagai pria menyedihkan yang selalu merasa
khawatir akan penampilannya, dan punya tendensi bunuh diri, namun takkan punya
keberanian untuk melakukannya. Quinto menampilkan kharisma eksentrik, penuh
ketenangan dalam menangkis kata-kata pedas Michael, yang ingin semua orang
(baca: semua gay) membenci diri mereka sebagaimana ia membenci dirinya sendiri.
Penyutradaraan Joe Mantello mampu
menjadikan perbincangan sembilan pria ini dinamis, menghibur, dan tak terlalu stagey bagi penonton film. Sebuah malam
yang meriah dan berisik, tapi di balik tawa yang hampir selalu terdengar, ada
rasa takut setia mengintai. Ketakutan kalau ada orang yang melaporkan mereka ke
polisi karena merasa “terganggu”. Ketakutan yang masih dirasakan oleh para korban
penindasan sampai sekarang, sehingga The
Boys in the Band sejatinya masih relevan. Artinya, lebih dari empat dekade
berselang, kita belum melangkah jauh.
Available on NETFLIX
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar