REVIEW - NONA
“Perjalanan adalah sebuah proses
untuk mengerti”, ucap Nona (Nadya Arina) saat mengakhiri kisahnya. Nyatanya,
sulit mengerti apa yang coba disampaikan filmnya, maupun proses apa yang
dilalui karakternya. Saya kerap mendengar sebuah prinsip dari para pendaki,
bahwa “perjalanan lebih penting daripada destinasi”. Nona bak miskonsepsi atas prinsip tersebut, di mana destinasi
seolah dikesampingkan, sampai titik di mana tidak ada kejelasan.
Alkisah, terjalin persahabatan
antara Nona dengan Ogy (Augie Fantinus). Ogy selalu ada bagi Nona. Sejak kecil,
saat pertengkaran orang tua mengisi hari-harinya, hingga dewasa, ketika Nona
mulai menjalin romansa bersama pria lain, tanpa tahu kalau sang sahabat
diam-diam mencintainya. Lalu terjadilah tragedi. Ogy meninggal setelah terjatuh
dari gunung. Anggi Frisca (Negeri Dongeng)
selaku sutradara mengeksekusi momen tersebut dengan begitu meyakinkan,
melahirkan intensitas tinggi walau kemunculannya bisa ditebak, berkat minimnya “trik”
kamera serta penyuntingan.
Kehilangan itu menarik Nona, yang
sudah dihantam banyak masalah termasuk kekasihnya yang abusive, lebih jauh ke jurang depresi. Kemudian keajaiban terjadi.
Ogy kembali, namun dalam wujud boneka orang utan yang ia berikan kepada Nona
sebagai kado ulang tahun. Apakah itu memang keajaiban? Atau sebatas sistem
pertahanan diri Nona yang makin terguncang mentalnya? Filmnya tak memberi
jawaban gamblang, tapi naskah buatan Monty Tiwa menanam beberapa petunjuk yang
jelas mengarah ke satu sisi, yang juga menggambarkan dinamika psikis
protagonisnya.
Nona memutuskan membawa Ogy ke Azerbaijan,
guna mengunjungi pegunungan yang diduga sebagai lokasi terdamparnya kapal Nabi
Nuh. Muncul pertanyaan. Bagaimana Nona bisa semudah dan secepat itu memutuskan
pergi ke Azerbaijan? Kita tidak pernah tahu pekerjaannya, pun ia tak nampak
berasal dari keluarga kaya. Filmnya memilih menutup mata atas detail penokohan
tersebut.
Kembali soal kapal Nabi Nuh. Konon,
kapal itu membawa semua hewan di dunia, masing-masing sepasang. Nabi Nuh
menyelamatkan hewan-hewan itu dari akhir dunia. Nona pun ingin jadi penyelamat,
meski sejatinya, dialah yang perlu diselamatkan. Jadi perjalanan ke Azerbaijan
membahas tentang itu? Saya tidak yakin, sebab sepanjang durasi, kita lebih
sering melihat Nona terjebak dalam masalah-masalah yang dipicu penyimbulan terburu-buru,
sehingga ia tak sempat mengetahui realitanya (kabur setelah mengira sudah
menusuk penjaga toko, mencuri ayam akibat tidak memahami bahasa setempat).
Sebagai suatu road trip, film ini tak punya destinasi dan proses jelas. Alhasil
perjalanannya tak memunculkan dampak emosional. Dibantu sinematografi garapan
Yudi Datau, sekali lagi Anggi membuktikan kelihaian menangkap keindahan alam
melalui lanskap-lanskap memukau. Tapi keindahan itu terasa semu. Hampa. Semakin
jauh filmnya melangkah dan karakternya tersesat, penonton pun dibuat sama
tersesatnya.
Emosi kurang berhasil disalurkan,
salah satunya juga akibat humor yang tidak pada tempatnya. Benar bahwa Ogy
versi orang utan hadir guna menghibur Nona, tapi voice over Augie acap kali berlebihan melontarkan humor konyol,
termasuk pada saat tidak dibutuhkan sekalipun. Beruntung Nona punya Nadya Arina, yang di titik ini, sanggup mengangkat film
seorang diri. Tangisannya bakal menyesakkan dadamu, sedangkan senyumnya
membuatmu ingin Nona tiba di tempat yang lebih baik.
Available on DISNEY+ HOTSTAR
3 komentar :
Comment Page:OOT dr filmnya. Saya dr dlu penasaran sama casting pemain, kok sprtinya tak ada pertimbangan usia asli pemain ya? Sprti di film ini memasangkan Nadya dan Augie sbg sepasang sahabat pdhl jarak umur asli mereka sprti om dan keponakan. Bgtu juga sama film Losmen yg akan tayang nanti, usia Maudy juga aslinya lumayan jauh dr Mathias Muchus (sgt jarang bgt film kita casting aktris kelahiran 60an dalam jejeran protagonis). So, walau film secara teknis lebih berkelas dr televisi, tp dr cast usia saya liat ada kesamaan yg lumayan signifikan, yakni hampir tdk memerhatikan usia asli pemain. Tak jarang emak sama anak bedanya cuma 5 tahunan, pasutri /pasangan bedanya lebih dr 15 tahun (krn sprt yg aku bilang tadi, seringkali aktris kita dipaksa "tua"). Apakah ini bisa dikategorikan miscast? **just my opinion, jangan disuruh bikin film sendiri ya wkwkwk**
Faktornya banyak sih. Dari soal koneksi (si A temen si B), dll. Kalo di kasus Losmen Bu Broto, satu karena Mathias Muchus ini pemain versi sinetron & film lamanya (semacam easter eggs), dan dua, emang Bu Broto & Pak Broto di sinetron usianya jauh.
Dan bukan di Indonesia. Tendensi aktor tua dipasangin sama aktris muda (dan bukan sebaliknya) dan dibikin seolah seumuran juga sering kejadian di Hollywood, Korea, dll.
Mas Rasyid gak ada niatan membahas FFI 2020, serta prediksi pemenangnya...?
Posting Komentar