REVIEW - THE TRUTH
Hirokazu Kore-eda terkenal atas sensitivitas
tinggi, menjadikannya satu dari sedikit sineas yang dapat “menghubungkan” penggemar
film arus utama dan arthouse. Bahkan
saat untuk pertama kalinya membuat film dengan latar, pemain, kru, serta bahasa
di luar Jepang, sensitivitas itu tetap ada—walau jika dibandingkan judul-judul
macam Like Father, Like Son atau Shoplifters, The Truth memang termasuk
karya minor sang sutradara.
Unik. Itulah kesan pertama yang saya dapat
selama menyaksikan The Truth.
Bagaimana ini jelas-jelas film Prancis lengkap dengan segala kulturnya, namun
punya rasa yang “sangat Kore-eda”, di mana kisah bergerak lambat nyaris
sepanjang durasi, untuk kemudian emosinya meletup secara elegan, pada momen
yang oleh sutradara lain, jarang dipakai sebagai titik puncak drama. Di sini,
Kore-eda lebih sering mengajak penonton menjadi spektator, mengamati peristiwa dari
luar, tanpa masuk tepat ke tengah ruang intim karakternya.
Mungkin karena begitulah nature dari filmnya, yang bicara mengenai
ambiguitas antara fiksi dan realita, antara kebohongan dan fakta. Bagaimana
bisa memasuki ruang intim itu jika kita belum tahu kebenarannya? Profesi protagonisnya
sendiri dekat dengan kebohongan. Dialah Fabienne Dangeville (Catherine
Deneuve), aktris legendaris Prancis, yang segera menerbitkan otobiografi
berjudul The Truth. Tapi benarkah
buku tersebut berisi kebenaran?
“I’m
an actress. I won’t tell the unvarnished truth. It’s far from interesting”,
kata Fabienne, sewaktu sang puteri, Lumir (Juliette Binoche), mengonfrontasinya
perihal beberapa kebohongan yang ia temukan dalam buku. Salah satunya cerita
saat Fabienne menjemput Lumir sepulang sekolah. Sesuatu yang tak pernah
terjadi, karena Fabienne, yang berprinsip “I
prefer to have been a bad mother, a bad friend and a good actress”, selalu
pergi untuk membuat film.
Lumir adalah penulis naskah yang tinggal di
Amerika. Suaminya, Hank (Ethan Hawke), merupakan aktor televisi medioker yang
sedang berusaha lepas dari alkoholisme dan menyembunyikan fakta dari puteri
mereka, Charlotte (Clémentine Grenier), bahwa ia sempat pergi untuk menjalani
rehabilitasi. Naskah buatan Kore-eda, yang ditulis dalam Bahasa Jepang sebelum
diterjemahkan ke Bahasa Prancis oleh Lea Le Dimna, kemudian memperkenalkan satu
demi satu subplot, yang terkoneksi oleh satu gagasan besar berupa pertanyaan
terhadap fakta.
Seperti biasa penulisan dialog Kore-eda
begitu kaya, pun tidak jarang menggelitik. Dinding bahasa tampak tak memberikan
halangan, walau filmnya cukup melelahkan di pertengahan jalan, karena kali ini,
sepertinya sang maestro sedikit lepas kontrol, memberikan materi obrolan lebih
banyak dari kebutuhan, sehingga sempat terasa stagnan. Tapi siapa tidak tergoda
melakukan itu jika filmnya diisi nama-nama terbaik dunia seni peran?
Deneuve dan Binoche merupakan dua figur yang
sama-sama mampu menyiratkan sisi terdalam karakter mereka melalui detail
terkecil. Dan mengingat sifat filmnya adalah observasional, maka mengamati
keduanya menjadi proses yang menarik. Butuh penampil hebat agar penonton bisa
ikut merasakan, meski tak (selalu) diajak mengunjungi ruang personal
karakternya.
Misalnya sewaktu kita mengunjungi proses
produksi film terbaru Fabienne. Judulnya Memories
of My Mother, yang di dunia nyata, adalah cerita fiksi-ilmiah pendek karya
Ken Liu, yang juga telah diangkat menjadi film pendek berjudul Beautiful Dreamers. Kisahnya mengenai
seorang ibu yang diperankan aktris muda bernama Manon (Manon Clavel), yang
menderita sakit parah dan hanya punya sisa umur dua tahun. Agar dapat
menyaksikan puterinya tumbuh dewasa, Manon tinggal di pesawat luar angkasa
untuk memperlambat waktu, dan pulang tiap tujuh tahun sekali. Fabienne
memerankan versi tua dari puteri Manon.
Mudah menemukan paralel antara Memories of My Mother dengan dinamika
Fabienne-Lumir. Sosok ibu di kedua kisah sama-sama “mengasingkan diri” dari
sang puteri. Di sini fiksi dan realita berbenturan. Fabienne seolah harus
memerankan Lumir. Bisa jadi ia pun melihat cerminan hubungan mereka, termasuk
dirinya sendiri dalam sosok Manon. Ada ego besar dalam hati Fabienne untuk “mengalah
kepada filmnya” dan larut ke dalam emosi yang benar-benar ia rasakan.
Kore-eda melukiskan konflik batin itu secara
puitis ketika proses reading berlangsung.
Manon beranjak dari kursi, kemudian berdiri membelakangi kamera. Bagai tidak
mau kalah, Fabienne menghampirinya, berdiri menghadap kamera sambil mengucapkan
kalimat dari naskah. Di situ Fabienne kehilangan kendali. Matanya bergetar, bak
terkejut melihat akting Manon, yang mungkin merefleksikan apa yang ia rasakan
terhadap Lumir. Ekspresi Manon tak diperlihatkan pada penonton (setidaknya
sampai beberapa waktu berselang), yang hanya bisa mengamati reaksi Fabienne.
Sebab di titik itu, kita sebatas “orang asing” yang mengobservasi respon luar
si aktris legendaris. Pemahaman lebih mendalam baru menyusul kemudian.
Beberapa kali Kore-eda mengulangi pendekatan
serupa. Membiarkan penonton mengamati dari luar, tapi tetap bisa merasakan
dampak emosional. Sensitivitas sang sutradara memang luar biasa, termasuk timing pemakaian musik. Ingat-ingat ini:
jika musik mulai terdengar di film-film Kore-eda, bersiaplah merasakan emosi
anda diaduk-aduk. Hirokazu Kore-eda tak pernah membiarkan musik terbuang
percuma sebagai pernak-pernik belaka.
Jadi, manakah yang merupakan fakta? Bagaimana
perasaan antar karakter sesungguhnya? Sebagaimana senyuman Lumir pada Charlotte
selepas ia meminta si gadis cilik menyampaikan “kebohongan” pada sang nenek
jelang akhir film, Kore-eda tidak pernah memberi jawaban pasti. Karena
kebenaran memang tidak sesederhana itu.
4 komentar :
Comment Page:Mas kapan nih tenet di review? Udah nunggu bgt
Nunggu di bioskop/streaming/bluray
Nonton dimana bang??
Udah tayang di bioskop
Posting Komentar