REVIEW - WOLFWALKERS
“This
wild land must be civilized”, seru Oliver Cromwell (Simon McBurney) sang Lord Protector, yang memimpin “misi suci”
Kerajaan Inggris untuk “memajukan” kehidupan masyarakat Irlandia. Kalimat di
atas kerap terlontar dari mulut para penjajah dan SJW ibukota yang merasa
semua orang desa bodoh. Sebuah bentuk arogansi manusia, yang menganggap
diri mereka lebih baik dan mulia. Di Wolfwalkers,
manusia berbondong-bondong menghabisi serigala, berasumsi seluruh hewan
buas itu berbahaya sehingga wajib dimusnahkan. Padahal dengan begitu,
manusialah hewan buas sesungguhnya.
Naskah buatan Will Collins (Song of the Sea) mengambil beberapa
elemen sejarah, khususnya soal pembasmian serigala-serigala di Irlandia pada
masa kepemimpinan Cromwell, kemudian menyuntikkan elemen fantasi ke dalamnya. Protagonisnya
bernama Robyn Goodfellowe (Honor Kneafsey), puteri Bill Goodfellowe (Sean
Bean), yang ditugasi memburu serigala. Robyn pun awalnya terobsesi mengikuti
jejak sang ayah, sampai ia bertemu sesosok wolfwalker
di tengah hutan, yang selama ini hanya dianggap sebagai legenda.
Nama wolfwalker
itu adalah Mebh Óg MacTíre (Eva Whittaker). Bukan cuma pemimpin kawanan,
Mebh juga mampu berubah menjadi seekor serigala saat tidur, pula menyembuhkan
luka. Keduanya semakin akrab, dan bagi Robyn, persahabatan dengan Mebh
membuatnya belajar melihat sesuatu dari perspektif berbeda. Dia mulai menyadari
bahwa berkebalikan dengan pemikirannya selama ini, serigala bukanlah ancaman.
Justru ancaman sesungguhnya adalah manusia, yang menghancurkan lingkungan dan
merampas rumah makhluk hidup lain (baik hewan maupun sesama manusia).
Wolfwalkers
memang
bicara soal perspektif. Tidak hanya dalam persoalan environmentalisme, juga
terkait hubungan ayah-anak. Robyn menginginkan kebebasan, namun sang ayah
melarang, menyuruhnya tinggal di rumah, lalu bekerja di dapur sebagaimana
diperintahkan Cromwell. “it’s for your
own good”. Kalimat itu sering terlontar dari mulut ayahnya. Tapi nantinya,
sewaktu amarah Mebh tersulut dan berniat menyerang manusia, Robyn pun mengucapkan
kalimat serupa.
Pernah berada di posisi “korban”, Robyn tahu,
betapa mengatasnamakan “kebaikan orang lain” untuk perbuatan diri sendiri
merupakan kekeliruan. Tapi setelah menjadi “pelaku”, ia menyadari bahwa
kekeliruan tersebut didasari kepedulian alih-alih ego personal. Hanya saja,
cara mengekspresikan kepedulian itu tidak tepat. Dari sini, Wolfwalkers mengajak penontonnya agar
dapat lebih bijak menyikapi persoalan.
Diproduksi oleh Cartoon Saloon yang telah melahirkan
judul-judul macam The Secret of Kells (2009),
Song of the Sea (2014), dan The Breadwinner (2017), bisa dipastikan Wolfwalkers mempunyai visual memukau.
Apalagi sang co-founder yang
sebelumnya membidani dua film perdana Cartoon Saloon, Tomm Moore, kembali duduk
di kursi penyutradaraan, kali ini bersama Ross Stewart.
Sesuai dengan tema cerita, visualnya bak
versi hidup (dan dengan goresan lebih modern) dari lukisan-lukisan di pahatan
kayu dari masa lampau. Nuansa yang diperkuat lewat barisan musik folk buatan Bruno
Coulais dan grup musik Kíla. Pun tiap kisahnya menyentuh ranah fantasi, kedua
sutradaranya selalu berhasil mewujudkan rangkaian pemandangan sarat kajaiban.
Ada dua sekuen favorit saya. Pertama, montage
saat Robyn dan Mebh berlari bersama kawanan serigala melintasi hutan,
sementara versi baru dari lagu Running
with the Wolves milik Aurora diperdengarkan. Kedua, momen jelang akhir
tatkala semua karakter bersatu membentuk lingkaran. Begitu indah hingga bisa menyentuh
rasa, juga menutupi fakta, bahwa keseluruhan kisahnya tergolong formulaik.
Available
on APPLE TV+
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar