REVIEW - BARB AND STAR GO TO VISTA DEL MAR
Ditulis oleh Kristen Wiig dan Annie Mumolo (juga selaku produser) yang sebelumnya melahirkan naskah brilian peraih nominasi Oscar, Bridesmaids (2011), pun terdapat nama Adam McKay dan Will Ferrell di jajaran produser. Maka tidak heran saat Barb and Star Go to Vista Del Mar terasa bak hasil kawin silang antara sketsa Saturday Night Live dengan seri Anchorman. Konyol, absurd, mungkin tak langsung mengikat di pengalaman pertama, namun mengundang ketertarikan mengunjunginya lagi.
Wiig dan Mumolo memerankan Star dan Barb, yang telah bersahabat puluhan tahun. Keduanya adalah parodi sosok wanita usia 40an tahun: gemar memakai kulot, rambut kaku nan mengembang penuh hairspray, dan luar biasa ceriwis. Semua dibicarakan, termasuk hal-hal tak penting. Pernah keduanya menciptakan karakter khayalan bernama Trish, membayangkan detail-detail kehidupan khayalnya, bahkan menangisi akhir hidup khayalnya yang tragis.
Saking doyannya berbicara, mereka pun bergabung di "Talk Club", yang diketuai Debbie (Vanessa Bayer dalam satu lagi peran psikotik yang kerap ia lakoni di SNL). Sampai tiba saat di mana hidup mereka terasa stagnan, mendorong Star dan Barb berlibur ke Vista Del Mar, berharap menemukan kemeriahan hidup, dan pastinya pria tampan. Ya, keduanya bertemu pria tampan bernama Edgar (Jamie Dornan), tanpa tahu kalau Edgar datang bukan untuk bersenang-senang.
Didorong rasa cinta terhadap Sharon (Kristen Wiig dalam balutan wig berbeda, serta riasan pucat) yang sejauh ini bertepuk sebelah tangan, Edgar bersedia melaksanakan misi membunuh seluruh warga Vista Del Mar. Apa alasan Sharon menaruh dendam kepada Vista Del Mar? Film ini akan menjelaskannya, yang diawali dengan kisah klise mengenai bocah korban perisakan, sebelum berkembang ke arah tidak terduga. Tidak terduga dalam artian "luar biasa absurd" tentu saja.
Absurditas Barb and Star Go to Vista Del Mar acap kali berujung kejutan, hingga pada titik naskahnya lebih berusaha memancing respon "WTF?!" ketimbang tawa. Berbeda dengan Bridesmaids, di mana keanehannya menciptakan kelucuan, di sini, keanehannya menciptakan, well, keanehan. Tapi seperti telah saya sebut, serupa dwilogi Anchorman, pengalaman menonton pertama bisa jadi lebih banyak membuat anda garuk-garuk kepala, namun imajinasi tanpa batas Wiig dan Mumolo membuat rewatch value-nya tinggi. Tidak semua humor harus menunggu pengalaman menonton kedua (atau ketiga, dan seterusnya) untuk menjadi lucu. Beberapa langsung menunjukkan pesonanya, sebutlah musikal berlirik konyol yang sesekali merangsek masuk.
Seusai menonton, bakal sulit menghapus momen-momennya dari ingatan, termasuk deretan cameo-nya (kemunculan Reba McEntire adalah yang terbaik). Melakoni debut penyutradaraan film layar lebar naratifnya, Josh Greenbaum mampu menerjemahkan visi gila kedua penulis ke dalam parade visual penuh warna (figuratively and literally), yang memperkuat tiap gagasan humor. Sedangkan terkait akting, rasanya tidak perlu saya panjang lebar membahas penampilan Wiig dan Mumolo. Khususnya Wiig, sebagai ahlinya memerankan karakter "unik" sepanjang karir SNL-nya.
1 komentar :
Comment Page:Mas bakalan review The Unholy yang skrg tayang di bioskop gak?
Posting Komentar