REVIEW - FAREWELL AMOR

Tidak ada komentar

Farewell Amor termasuk jenis film kecil yang beredar di beberapa festival circuit, namun tidak cukup high profile untuk bisa menarik perhatian publik luas, lalu kemudian meramaikan musim penghargaan, juga tidak terlalu obscure dan artsy untuk bisa mengumpulkan cult following di jajaran cinephile. Apalagi atensi terkait tema "kehidupan imigran" tertuju pada Minari. 

Awalnya saya pun tak banyak berekspektasi terhadap debut Ekwa Msangi (sutradara sekaligus penulis naskah) ini, yang dibuat berdasarkan film pendek Farewell Meu Amor (2016) karyanya. Hingga kemudian sensitivitas Msangi mengejutkan saya. Bahkan sejak adegan pembuka, kala terjadi reuni mengharukan antara Walter (Ntare Mwine), dengan sang istri, Esther (Zainab Jah), dan puteri remajanya, Sylvia (Jaime Lawson).  

Ketiganya bertemu setelah 17 tahun lalu, pasca berakhirnya perang saudara, Walter meninggalkan Angola menuju Amerika Serikat, di mana ia bekerja sebagai sopir taksi, sedangkan Esther dan Sylvia pindah ke Tanzania. Sekilas reuni tersebut sarat kebahagiaan, namun segera kita melihat munculnya batu sandungan atas harapan membangun keluarga harmonis berlandaskan American Dream. 

Sylvia tampak canggung di depan ayahnya. Tapi bukankah itu wajar selepas belasan tahun tak bersua? Benar, namun pelan-pelan perbedaan mendasar mulai terpampang nyata. Sungguh terkejut Walter, mendapati istrinya kini begitu menaati agama, berdoa penuh semangat meminta dijauhkan dari "kehancuran akibat setan", bahkan menolak meminum alkohol. Padahal Esther yang ia dahulu ia kenal adalah wanita ceria yang gemar berpesta dan menari.

Walter sendiri menyimpan rahasia. Ketika Esther terus setia, Walter menghabiskan bertahun-tahun di Amerika bersama wanita bernama Linda (Nana Mensah), yang terpaksa ia tinggalkan, begitu istri dan anaknya tiba. Sementara kedua orang tuanya kesulitan membangun ulang hubungan, Sylvia tak ketinggalan diterpa masalah. Dari tindak rasisme oleh sesama kulit hitam yang memanggilnya "Afrika", hingga keinginan mengikuti kompetisi tari yang ditentang sang ibu. 

Msangi membagi alurnya menjadi tiga chapter yang diberi judul sesuai nama tiga karakter utama. Tiap chapter berfungsi mengajak penonton mengenal karakternya lebih jauh. Baik penyutradaraan maupun penulisan, Msangi selalu mengedepankan empati. Penonton dibuat mengerti, tanpa harus menyetujui. Tindakan yang keliru (perselingkuhan Walter, fanatisme Esther) tetap keliru, namun berkat pemahaman mendalam, kita takkan membenci mereka, bahkan bersimpati.

Keputusan Walter menjalin hubungan dengan Linda, alih-alih ketidaksetiaan, cenderung didasari kesepian serta keputusasaan. Melihat kondisi terkait imigrasi, peluangnya tidak pernah bertemu lagi dengan keluarganya memang lebih besar. Kesendirian turut menghantui Esther, yang telah kehilangan begitu banyak (dan takut kehilangan lebih banyak lagi), sehingga membutuhkan pegangan, yang ia temukan dalam ajaran agama. 

Kompleks, berat, tapi sekali lagi, Msangi bercerita dengan empati. Ketimbang luapan amarah selaku kritik, fokusnya adalah mengekspresikan kepedulian bagi imigran. Alhasil, Farewell Amor pun menjadi kisah positif yang percaya akan harapan. Bermodal nuansa positif itu, di ranah lebih universal, filmnya bicara tentang keluarga. Bahwa apa pun yang terjadi pada hubungan suami-istri, jangan sampai anak yang menanggung akibatnya.


Available on HULU

Tidak ada komentar :

Comment Page: