REVIEW - WILLY'S WONDERLAND
Ada dua jenis film Nicolas Cage. Deretan aksi straight-to-DVD dan suguhan absurd seperti Mandy (2018) dan Color Out of Space (2019). Jenis pertama lebih baik dilenyapkan, namun yang kedua, memberikan garansi tontonan menyenangkan. Seperti Willy's Wonderland ini, yang daya tariknya berasal dari fakta, bahwa Cage ditempatkan dalam situasi abnormal di mana segalanya dapat terjadi, yang membuatnya tak perlu menahan diri (Is he ever?)
Cage memerankan pria tanpa nama, yang mobilnya terjebak paku di Hayesville, sebuah kota terpencil di sekitar Nevada. Karena si mekanik tak menerima kartu kredit sebagai alat pembayaran, sedangkan ketiadaan jaringan internet membuat ATM mustahil diakses, jagoan kita terpaksa menerima pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih selama semalam, di Willy's Wonderland, sebuah pusat hiburan keluarga yang sudah terbengkalai.
Terdapat delapan boneka animatronik di situ, dan bisa ditebak, mereka bukan boneka biasa. Serupa premis gim Five Night at Freddy's, mereka bisa bergerak, bahkan menyerang. Ya, menyerang Nicolas Cage. Sungguh keputusan bodoh. Mereka mengira Cage terjebak bersama mereka, namun sebenarnya, merekalah yang terjebak bersama Cage.
Karakter Cage bukan saja tanpa nama, pula tak sekalipun berbicara. Melalui flasback sekilas, kita tahu kedelapan boneka tersebut telah merenggut nyawa banyak manusia. Mungkin di awal, seperti saya, anda bakal mengira sang protagonis memang sengaja mengurung dirinya sebagai bentuk aksi balas dendam. Tapi tidak. He's just a wrong guy in a wrong place and time (wrong for those animatronics of course).
Penokohannya mengingatkan pada formula "pria tanpa nama" yang kerap kita temui di film western (salah satu animatronik pun sempat memanggilnya "koboi"). Sesosok serigala penyendiri, seorang pengembara, yang lebih dekat ke arah figur dari legenda ketimbang manusia biasa. Dan penguatan kesan misterius oleh naskah buatan G. O. Parsons itu sempurna, mengingat protagonis kita adalah jagoan yang tak bergeming meski animatronik hidup berwajah mengerikan mendadak berdiri di hadapannya, lalu membalut lukanya menggunakan duck tape. Kombinasikan dengan gaya akting histeris khas Cage, mudah bagi penonton mendukungnya, bukan simpatik atau relatable, melainkan karena sosoknya keren.
Pola penceritaannya sendiri termasuk repetitif. Cage membersihkan tiap sudut ruangan, alarm berbunyi, ia rehat sambil minum bir, melawan monster, lalu ulangi. Berlangsung demikian, hingga sekelompok remaja yang dipimpin Liv (Emily Tosta), datang guna memberi pertolongan. Menolong Nicolas Cage??? That's cute. Ketimbang pertolongan, mereka malah menambah masalah, dan tentu saja, stok tubuh untuk dibantai. Selain itu, para remaja ini juga berfungsi melontarkan eksposisi mengenai sejarah kelam Hayesville.
Termasuk Liv, remaja-remaja ini begitu bodoh dan/atau menyebalkan, sehingga menciptakan kepuasan tersendiri kala satu demi satu dari mereka meregang nyawa. Sayangnya, metode pembunuhan Willy's Wonderland tidak seberapa variatif. Minim kreativitas, meski banyak darah. Kreativitas yang tentu perlu dimaksimalkan, apalagi sewaktu Kevin Lewis selaku sutradara, menerapkan metode-metode pengambilan gambar seperti crash zoom dan dutch angle, seolah hendak "memantaskan filmnya" untuk berdiri di jajaran b-movie sejati. Setidaknya, walau belum memaksimalkan potensinya, Willy's Wonderland yang digerakkan secara cepat oleh Lewis, tak menyisakan momen membosankan.
Available on iTUNES & CINEMAS
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar