REVIEW - THE DARK AND THE WICKED

1 komentar

Pernah datang ke tempat baru dan langsung disambut suara-suara hewan sesaat setelah menginjakkan kaki di sana? Saya pernah. Hawa langsung terasa berat (sejam kemudian proses syuting berhenti karena salah satu kru kesurupan, tapi ini cerita untuk lain hari). Fenomena itu konon menandakan keangkeran suatu tempat.

The Dark and the Wicked dibuka oleh situasi serupa. Sebuah peternakan di malam hari, anjing melolong, kambing mengembik, dan seorang wanita bernama Virginia (Julie Oliver-Touchstone) yang nampak cemas, sementara sang suami, David (Michael Zagst), terbaring sakit. Clearly, there's something dark and wicked there. 

Beberapa waktu berselang, meski sudah dilarang, kedua anak Virginia, Louise (Marin Ireland) dan Michael (Michael Abbott Jr.) datang, setelah tahu kondisi David memburuk. Selama seminggu berada di sana, pelan-pelan Louise dan Michael mulai sadar, bahwa sang ayah bukan terserang sakit biasa, serta mengapa sang ibu melarang kehadiran mereka. Tentu kesadaran tersebut datang terlambat.

Ditulis sekaligus disutradarai oleh Bryan Bertino, dari segala sisi, The Dark and the Wicked sebenarnya dibangun di atas pondasi formulaik. Kisah degradasi psikis akibat gangguan kekuatan jahat, entah sudah berapa ribu kali kita temui di film horor. Begitu pula taktik Bertino dalam menebar teror. Menariknya, perihal teror, bagaimana Bertino menangani keklisean malah jadi keunggulan utama film ini.

Bertino selalu punya cara untuk memberi twist, mengecoh ekspektasi penonton, sehingga saat sebuah teror muncul, efeknya berlipat ganda. Pemahaman atas ekspektasi itulah alasan mengapa jump scare-nya, yang memposisikan kualitas di atas kuantitas, cenderung efektif. Jumlah tidak terlalu banyak, pun tidak harus selalu berisik, namun hampir selalu sukses menggedor jantung.

Misal sewaktu Virginia mengiris wortel. Pengalaman memberi tahu bahwa akan ada jari yang teriris. Tapi saat saya bersiap dibuat meringis oleh pemandangan menyakitkan penuh darah, rupanya Bertino tak memerlukan penggambaran gamblang guna menghasilkan dampak serupa. Cukup dengan tiba-tiba menyelipkan satu instrumen berbeda di tengah-tengah iringan scoring atmosferiknya. Bertino caught me off-guard with that one. 

Menemani tempo lambatnya, tata suara ditambah musik buatan Tom Schraeder menunjang nuansa mencekam yang sang sutradara inginkan. Bertino ingin membuat horor yang sungguh-sungguh menyeramkan (baca: bukan semata mengagetkan penonton), dan itu berhasil. The Dark and the Wicked tampil meresahkan, memanfaatkan kecemasan penonton akan kengerian yang dapat muncul dari tiap sudut peternakan. Karena kita tidak pernah benar-benar tahu sosok si penebar teror (sejalan dengan kepercayaan "iblis bisa mengambil wujud apa saja"), kecemasan itu pun berlipat ganda.

Semakin ke belakang, inovasi yang Bertino lakukan memang agak berkurang, namun presentasinya tetap solid. Tata suara masih kuat, visual masih creepy, beberapa jump scare juga tetap bekerja dengan baik. Masalah sebenarnya adalah penulisan. Pada eksplorasi tentang bagaimana rasa bersalah dan rasa takut menghancurkan manusia. Walau mendominasi durasi, penuturannya tipis, kurang menarik, pun gagal memancing kepedulian terhadap karakter, yang hingga akhir tidak pernah kita kenal betul. Mereka tetap menjadi orang asing.

Mengawali karir lewat The Strangers (2008), sekaligus menulis naskah sekuelnya, The Strangers: Prey at Night (2018), tidak mengejutkan kala Bertino kembali menghembuskan aroma nihilisme. Bahwa eksistensi manusia tidak bermakna. Bahwa sekuat apa pun usahanya, seriligius apa pun kita, pada akhirnya manusia tetap tidak berdaya di hadapan kekuatan jahat. 


Available on KLIK FILM

1 komentar :

Comment Page:
Abdi Khaliq mengatakan...

Udah nonton lama lewat bajakan torrent. Hhhehehhe
Film horror sederhana, tp menurut aku pribadi jauh lebih sukses dalam hal membangun kengerian dan rasa takut dibandingkan Conjuring Univershit yang cuman ngandalin musik jumpscares berisik plus hantu lebai yang doyan banget teriak-teriak annoying dan berantem ama manusia.
Sempat mikir kalo film ini justru terinspirasi dari Pengabdi Syaiton-nya Jokan, karena ada elemen ibu "hantu" yang neror anak2nya plus ada adegan penampakan di jendela pula yang bikin merinding.

Oh ya Bang Rasyid Plizzzzzz Review film horror indie terbaru dong "Horror in the High Desert", gratis kok di TUBI, aku udah nonton, filmnya sumpah serem banget, gaya dokumenter found footage. Harus sabar sih nontonnya, awalnya mirip2 "Searching" kisah pencarian orang hilang, Tapi Endingnya sumpah bikin aku takut luar biasa sampai harus berpaling dari layar dan tekan pause laptop beberapa kali karna saking seramnya. Padahal aku nontonnya siang bolong di tempat rame pula... Plus aku bukan tipe penakut kalo nonton horror tapi pengecualian untuk film ini. Hahahahaah
Saya tantang Bang Rasyid nonton film ini malam2 sendirian pake headset kalo berani.
10/10 Nilai pribadi dari aku yang awam.(1/10 untuk Conjuring Univershit... hihihihihih)