REVIEW - BILLIE EILISH: THE WORLD'S A LITTLE BLURRY

1 komentar

"You guys need to be fucking okay because y'all the reason I'm okay", ungkap Billie Eilish pada para penggemar di sebuah konser. Apa spesialnya kalimat tersebut? Bukankah hampir semua musisi pernah mengucapkan hal serupa? Keberhasilan terbesar The World's a Little Blurry adalah membuat penonton awam (baca: bukan penggemar) mengagumi Eilish, lalu percaya bahwa ucapan di atas bukan lip service semata. 

Menit-menit pertamanya langsung menggambarkan betapa fenomenal perjalanan karir Billie Eilish, yang hanya berselang lima tahun pasca lagu Ocean Eyes viral, sudah berstatus "wanita pertama yang memenangkan empat kategori mayor dalam satu gelaran Grammy Awards". Ketika ia menjabarkan ide video klip (yang kelak terealisasi untuk lagu When the Party's Over), kita pun paham, seperti apakah Billie Eilish selaku artis. Mempunyai visi kuat sekaligus ingin memegang kontrol penuh atas karyanya. 

Lalu bagaimana Billie Eilish selaku manusia? Tentu proses kreatifnya diperlihatkan, termasuk mengunjungi studio di kamar sempit legendaris tempatnya bersama sang kakak, Finneas, melahirkan deretan lagu hit. Tapi dokumenter karya R. J. Cutler ini paling bersinar kala menyoroti ruang intim si bintang pop, yang memang dikenal tidak ragu bicara soal hal-hal personal termasuk kesehatan mental. 

The World's a Little Blurry sama raw-nya dengan citra Eilish. Setidaknya, cara Cutler mengemasnya lewat rekaman home video, menjadikannya organik. Curahan perasaan, pertengkaran, patah hati, semua tampil jujur. Pendekatan ini sudah sering dipakai banyak dokumenter dengan bintang pop selaku subjek, namun tidak ada yang seterbuka Eilish. Kejujuran yang membuatnya makin beresonansi kuat dengan para penggemar. Billie Eilish merepresentasikan remaja seusianya, baik dari lagu, kepribadian, masalah pribadi, hingga obsesi terhadap Justin Bieber (yang dari idola, menjadi kawan sekaligus salah satu pendukung Eilish guna melewati beratnya popularitas). 

Durasi yang mencapai 140 menit memang agak terlalu panjang. Lagu-lagu Eilish selalu menghipnotis, pun performanya di atas panggung luar biasa, tapi kuantitas pemakaian footage konser, yang kerap digunakan sebagai transisi antar konflik, sejatinya dapat dipangkas. 

Biarpun demikian, tidak sedikitpun dokumenter ini terasa membosankan. Dinamika terjaga baik, penuh kondisi naik-turun, yang paling tergambar saat memasuki fase Coachella 2019. Momen yang merupakan salah satu landmark karir sang musisi itu berubah pahit. Selepas konser, Eilish bertengkar dengan kekasihnya, Brandon Adams alias Q (keduanya putus di awal 2020). Ditambah lagi, ia kecewa akibat insiden lupa lirik di salah satu lagu. Hari berganti, dan kepahitan kembali berganti dengan kebahagiaan, kala terjadi pertemuan perdana antara Eilish dengan idola terbesarnya. Justin Bieber. 

Mayoritas durasi mengambil latar waktu di tengah proses pengerjaan album debut Eilish, When We All Fall Asleep, Where Do We Go? (2019). Banyak hal terjadi, banyak cobaan menghadang, namun perjalanan panjang nan berliku itu terbayar lunas lewat kesuksesan critical dan komersial. Begitu pula film ini. Durasi panjangnya terbayar lunas ketika mencapai konklusi mengharukan.

Dampak itu diperoleh karena keberhasilan membuat penonton merasa mengenal, bahkan mengagumi si protagonis. Kentalnya elemen drama keluarga turut memperkuat kekuatan emosional filmnya. The World's a Little Blurry bukan (sekadar) cerita tentang megabintang dan musik, melainkan perjuangan seorang remaja bertahan hidup di tengah kegilaan zaman seperti sekarang. Prosesnya melawan kegelapan, baik dari dalam maupun luar, serta bagaimana kehadiran keluarga bisa jadi pembeda. Salah satu dokumenter tentang pop star terbaik dalam beberapa waktu terakhir. 


Available on APPLE TV+

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Review Miss Americana dong bang rasyid