REVIEW - LITTLE FISH

Tidak ada komentar

Adaptasi dari cerita pendek buatan Aja Gabel ini mengingatkan pada Eternal Sunshine of the Spotless Mind (2004) buatan Michael Gondry. Sama-sama romansa soal bagaimana kekuatan cinta mengatasi hilangnya memori. Bahkan adegan pembuka dan penutup keduanya memiliki latar serta prinsip sama. Bedanya, Little Fish tampil lebih realis. Mungkin pada akhirnya, tidak semua terasa bahagia, namun harapan terpancar di sana.

Mesin ajaib penghapus memori "digantikan" oleh NIA (Neuroinflammatory Affliction), sebuah virus serupa alzheimer, yang membuat penderitanya kehilangan ingatan. Bisa secara berkala, bisa pula tiba-tiba. Virus cepat tersebar, menciptakan pandemi global, masyarakat cemas, kekacauan di mana-mana, banyak tempat dikarantina. 

Terdengar familiar? Tentu hanya kebetulan, mengingat cerita pendeknya dibuat pada 2011, sedangkan filmnya memulai pra-produksi sejak awal 2019. Seolah memperlihatkan bahwa kepanikan massal akibat hal tak kasat mata yang dapat menyerang, lalu membunuh kapan saja, selalu jadi salah satu ketakutan kolektif umat manusia. 

Protagonis kita adalah Emma (Olivia Cooke) dan Jude (Jack O'Connell), sepasang suami-istri yang belum genap setahun menikah. Langsung timbul ketertarikan sejak pertemuan pertama, dan itu wajar. Sebab saya sendiri cuma butuh beberapa menit untuk terpikat pada mereka. O'Connell sudah memamerkan akting subtil sejak Starred Up (2013) dan '71 (2014), sementara Cooke jagonya mencuri hati, sebagaimana di Me and Earl and the Dying Girl (2015), maupun lewat performa emosional dalam Sound of Metal (2020). Pencapaian yang sama-sama diulangi keduanya di film ini. 

They made such a lovely, happy, healthy couple. Kesan yang ditegaskan oleh sebuah momen. Emma dengan canggung mengajak berhubungan seks, yang ditolak lembut oleh Jude, karena saat itu, Emma belum secara resmi mengakhiri hubungannya dengan sang kekasih (walau lebih tepat disebut "friends with benefit"). Emma memedulikan consent, sementara Jude tak ingin melukai perasaan orang lain. 

Awalnya, NIA tak begitu mempengaruhi, hingga menjangkiti Ben (Raul Castillo), sahabat mereka. Ben lupa cara memainkan musik (hal kedua yang paling ia cintai), lalu suatu hari, melupakan Samantha (Soko), kekasihnya, sekaligus hal yang paling ia cintai. Bukankah realita kita pun demikian? Pandemi terasa jauh, bak mimpi, sebelum orang-orang terdekat dan terkasih ikut terjerat. 

Puncaknya ketika Jude terjangkit, mulai melupakan hal kecil, dan kelak juga bakal melupakan Emma. Di titik ini, saya berharap naskah buatan Mattson Tomlin (Project Power) bersedia sedikit mengupas perihal NIA. Apa penyebab virus itu? Bagaimana proses penularannya? Peniadaan detail tersebut mungkin bertujuan menjaga fokus tetap di ruang intim protagonis, namun gambaran lebih terkait virus, meski cuma sekilas, bisa membantu penonton lebih terlibat dalam dunianya. Biar demikian, Tomlin, terutama lewat deretan kalimatnya, menghadirkan perenungan mendalam tentang kehidupan di tengah pandemi (Contoh: "When your disaster is everyone's disaster, how do you gried?").

Bicara soal keintiman, di situlah letak keunggulan Chad Hartigan (This Is Martin Bonner, Morris from America) selaku sutradara. Little Fish begitu menyentuh, berkat kemampuan Hartigan menyusun momen-momen yang mampu menerjemahkan perasaan abstrak. Tepatnya bagaimana perasaan seperti cinta dan memori meninggalkan keindahan dalam hati pemiliknya. Dibalut musik dreamy karya Keegan DeWitt, dan sinematografi garapan Sean McElwee yang sering memakai cahaya temaram, Hartigan membawa ruang personal Emma dan Jude ke hati penontonnya. 

Menurut seorang dokter, otak penderita NIA akan membentuk memori palsu guna menjembatani memori yang hilang, sebagai wujud mekanisme pertahanan diri. Jude mengalami itu. Membedakan memori mana yang asli dan palsu semakin sulit dari hari ke hari. Beberapa kenangan memang tidak nyata, dan nantinya semua yang nyata bakal terhapus, tapi setelah menghabiskan waktu selama hampir dua jam bersama Emma dan Jude, kita dibuat yakin bahwa cinta mereka nyata. Sangat nyata.

Sebagaimana kita semua umat manusia, Emma dan Jude mungkin hanya dua "ikan kecil" yang susah payah berjuang dalam kolam besar, atau malah samudera. Tapi bukan berarti hidup keduanya tidak signifikan. Setidaknya bagi satu sama lain, hidup mereka, beserta segala cinta dan kenangan yang ada, merupakan hal paling signifikan. Di antara luasnya samudera penuh ketidakpastian, dua ikan kecil ini terus berenang menuju masa depan. Ada atau tidaknya masa lalu bukan masalah, selama mereka terus bersama. 


Available on CATCHPLAY+

Tidak ada komentar :

Comment Page: