REVIEW - PIG

3 komentar

Semenjak Joe (dan The Frozen Ground) delapan tahun lalu, sudah berkali-kali kritikus menyematkan embel-emble "return to form" pada penampilan Nicolas Cage. Menyusul berikutnya adalah Mandy (2018), Color Out of Space (2019), hingga Willy's Wonderland yang rilis awal 2021. Seolah puja-puji itu bukan ketusulan, melainkan cuma agar reviunya terdengar "seksi". 

Deretan akting kuat di antara setumpuk judul direct-to-video buruk itu membuktikan bahwa Cage tidak pernah pergi (minimal sejak Joe). Tapi Pig berbeda. Debut penyutradaraan sekaligus penulisan Michael Sarnoski ini membawa kita menyaksikan warna lain Cage, yang melangkah keluar dari gaya "Nouveau Shamanic". Pig adalah film yang mengecoh berbagai ekspektasi, baik soal sang aktor, maupun genrenya.

Cage memerankan Rob, pengumpul truffle yang tinggal sendirian di kabin terpencil di tengah hutan. Well, tidak benar-benar sendirian, sebab ada si babi kesayangan, yang membantu Rob mengumpulkan truffle berkualitas tinggi, untuk dijual ke Amir (Alex Wolff), yang menyuplainya kepada berbagai restoran mewah. 

Sampai suatu malam Rob kedatangan tamu tak diundang yang mencuri babi miliknya. Dibantu Amir, dimulailah pencarian Rob, yang turut membuka rahasia terkait masa lalunya. Rob bukan sekadar pria paruh baya kumuh penyendiri. Terdengar seperti premis kisah balas dendam yang bakal menggila di paruh kedua kala Nicolas Cage melepaskan segala kemarahannya? Saya pun berpikir demikian, dan di situlah Pig mengecoh ekspektasi.

Sarnoski memakai tempo medium, cenderung pelan di beberapa titik, namun progres alur tidak diseret-seret, di mana masing-masing fase berlangsung sesuai kebutuhan. Kita mengunjungi dunia yang beda dari kelihatannya, bersama individu yang beda dari kelihatannya, dalam film yang juga beda dari kelihatannya. Pig memancing rasa penasaran di tiap langkahnya.

Cage menjadi magnet, yang menunjukkan betapa misteri terbesar adalah isi hati manusia. Terutama di separuh awal, matanya tidak dipenuhi amarah. Bukannya tak punya. Amarah itu (maupun emosi dasar manusia lainnya) sudah terhapus oleh kelelahan. Rasa lelah yang didahului duka mendalam, sebelum berubah jadi ketidakpedulian.

Rob adalah seorang nihilis. Kenapa peduli terhadap eksistensi, jika kelak kita juga akan mati, terkubur, tenggelam, bak orang-orang dari puluhan ribu tahun lalu? Saking tidak pedulinya, ia enggan mandi, atau minimal membersihkan wajahnya yang berlumuran darah, bahkan ketika duduk di sebuah restoran mahal. "Untuk apa?", mungkin begitu pikirnya.

Di restoran itu pula, Sarnoski lagi-lagi memainkan ekspektasi penonton, yang mungkin mengira Rob (akhirnya) bakal hilang kesabaran. Tapi alih-alih otot, Rob malah memakai otak. Ketimbang fisik, ia memilih mengarah psikis lawan. Nantinya, sewaktu gejolak batin mustahil dikendalikan, Cage tidak melempar tantrum sebagaimana kita kerap temui. Amukannya lebih terkontrol. 

Babak ketiganya merupakan puncak usaha Sarnoski mengobrak-abrik formula film alternatif bertema duka, yang biasanya tampil kelam, pula didominasi pesimisme. Konklusinya hopeful, yang bisa saja dituding naif oleh sebagian kalangan. Bagi saya, Pig bukan naif, melainkan usaha untuk tidak kehilangan hati, di tengah kondisi segelap dan sesulit apa pun.


Available on KLIK FILM

3 komentar :

Comment Page:
Mukhlis mengatakan...

Bang, sorry oot, ada rencana mau review serigala langit nggak? Yang tayang di emakstream, Dari trailer kayak menjanjikan gitu, tapi ragu mau nonton.

Rasyidharry mengatakan...

Nope. Tahu diri kalo nggak bakalan demen film pesenan dari lembaga itu 😁

Firda mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.