REVIEW - SHERNI

1 komentar

Sherni bukan membicarakan soal wabah. Jauh dari itu, filmnya membahas isu konservasi. Fase pra-produksi pun dimulai sebelum pandemi (produksi berjalan sejak awal Maret 2020, sebelum rehat akibat lockdown, kemudian lanjut pada bulan Oktober). Menariknya, berbagai situasi terasa relevan. Rakyat kehabisan opsi di tengah kondisi genting, sementara pemerintah tak kunjung menawarkan solusi. Seolah menegaskan, ancaman apa pun yang mengintai, entah wabah mematikan atau serangan harimau, teror sesungguhnya justru berasal dari hal bernama "politisasi". 

Vidya Vincent (Vidya Balan) baru ditunjuk mengepalai tim lapangan Indian Forest Service di Madhya Pradesh. Bukan pekerjaan gampang, terutama setelah seekor harimau betina yang kerap memangsa ternak warga, kini mulai membunuh manusia. Fokus Vidya dan timnya tentu menangkap si harimau hidup-hidup, namun situasi tidak sesederhana itu.

Menangkap seekor harimau dewasa saja sudah merupakan tugas berat, apalagi ia menerima tekanan dari sana-sini. Warga dilarang memasuki hutan demi keamanan, tapi jika begitu, ternak mereka bakal kelaparan. Terdengar seperti kondisi sekarang bukan? Di sinilah warga butuh solusi pasti. Butuh bantuan nyata dari pemerintah. Lalu apa yang dilakukan para pemegang kuasa?

Bos Vidya (Brijendra Kala) sama sekali tidak tertarik akan konservasi. Dia tidak bisa membedakan spesies hewan, lebih suka mengumbar lelucon kala rapat, dan lebih memikirkan bagaimana caranya memuaskan sesosok politikus. Sang politikus pun setali tiga uang. Hanya memedulikan jumlah suara pemilu, ia memakai jalur instan dengan mengirim Pintu (Sharat Saxena), seorang pemburu. 

Belum berhenti di situ, lawan politiknya ikut memperkeruh keadaan. Kedua belah pihak menebar janji bakal menyelamatkan warga, namun sejatinya, mereka cuma berusaha saling menjatuhkan. Rakyat pun terjepit di antara permainan politik. Rakyat menanti solusi, sedangkan penguasa mengejar ambisi. 

Naskah buatan Aastha Tiku mempresentasikan dengan lengkap nan detail, perihal batu sandungan apa saja yang menghalangi proses konservasi, atau secara lebih general, apa yang menghalangi terciptanya harmoni antara manusia dan hewan. Tidak ada yang lolos dari sentilan naskahnya, dan kita mendapat pemahaman, bahwa segala masalah bermuara pada sistem korup, yang dipicu ketamakan manusia. 

Keinginan Tiku tampil lengkap bukannya tak mendatangkan dampak negatif. Beberapa bagian sejatinya bisa dipangkas guna memadatkan penceritaan. Misalnya kedatangan tiba-tiba ibu dan mertua Vidya, yang bertujuan membangun komparasi antara paham konservatif India dengan sisi modern yang diwakili Vidya. Tanpa itu, penonton tetap bisa memahami bahwa sang protagonis adalah wanita mandiri, yang melawan kekolotan paham seksis. 

Penyutradaraan Amit V. Masurkar (paling dikenal lewat Newton, selaku wakil India di Academy Awards 2018) juga beberapa kali melahirkan adegan yang berlangsung lebih panjang dari kebutuhan. Kita tidak butuh menyaksikan mobil Pintu berkali-kali kesulitan saat hendak berbalik arah, agar mengerti betapa bodoh dan konyolnya si pemburu itu. 

Awalnya Sherni mempunyai konklusi (lebih) bahagia, sebelum diubah di tengah produksi, demi menambah relevansi semasa pandemi. Ending versi baru ini masih hopeful, namun memperlihatkan risiko yang berpotensi kita temui bila tak segera menghargai alam. Sebuah wake-up call, yang akibat kurangnya kesabaran dalam pembangunan momen, terasa kurang menusuk dan cenderung ambigu.

Jika diterjemahkan, "sherni" berarti "harimau betina". Selain merujuk pada harimau yang diburu, kata ini turut menggambarkan sosok Vidya yang gigih berjuang. Aking Vidya Balan menjadikan karakternya lebih kompleks. Benar ia berani, tapi bukan berarti tak kenal takut. Beberapa kali Vidya ingin berhenti. 

Pada satu momen, Vidya berhadapan dengan politikus yang menentang para penjaga hutan. Vidya berani beradu argumen. Tapi cara bicaranya menyiratkan keraguan (meski tetap tegas). Gesturnya lebih mendekati defensif ketimbang agresif. Dia ragu, bahkan mungkin takut, namun menolak mundur. Di situlah letak kekuatan Vidya sebagai manusia.  


Available on PRIME VIDEO

1 komentar :

Comment Page:
agoesinema mengatakan...

Saya suka akting Vidya Balan di film ini, menonton film ini sampai selesai bikin kita trenyuh, betapa tamak dan kejamnya manusia melebihi binatang itu sendiri.
Endingnya mungkin bukan seperti yg orang awam harapkan. Cenderung menggantung, tapi ending yg seperti ini justru membuat orang menginstropeksi diri.