REVIEW - HARD HIT

Tidak ada komentar

Dirilis 23 Juni lalu, Hard Hit jadi film Korea Selatan pertama tahun ini, yang memperoleh 500 ribu penonton (total ditonton 952 ribu orang di akhir masa penayangan), menandai bangkitnya geliat industri bioskop di sana. Berikutnya, Escape from Mogadishu (terlaris sejauh ini dengan lebih dari 3,4 juta penonton), Sinkhole, dan Hostage: Missing Celebrity sukses menembus angka enam digit. 

Hard Hit merupakan remake kedua dari film Spanyol berjudul Retribution (2015). Remake ketiganya yang diproduksi Hollywood (juga menggunakan judul Retribution) sedang melakukan pengambilan gambar, dengan Liam Neeson sebagai bintang utama. Ya, ini adalah tontonan yang menjual ketegangan sarat aksi, sehingga kesuksesan finansialnya bisa dipahami, pula mengapa hak pembuatan remake-nya laris manis.

Alurnya pun tidak buang-buang waktu, langsung memposisikan kita ke tengah aksi. Seong-gyu (Jo Woo-jin), kepala kantor pusat sebuah bank di Busan, sedang mengantar kedua anaknya, Hye-in (Lee Jae-in) dan Min-joon (Kim Tae-yool), saat sebuah ponsel tak dikenal berdering dari dalam dashboard. Terdengarlah suara pria misterius (Ji Chang-wook), yang mengaku telah memasang bom di bawah kursi mobil Seong-gyu. 

Pria itu meminta sejumlah uang. Bila tak dituruti, atau Seong-gyu lapor ke polisi, ia akan meledakkan bomnya. Pun karena bekerja seperti ranjau, alias diaktifkan oleh tekanan, bom juga akan meledak jika ada penumpang keluar dari mobil. 

Materi yang menarik, tapi sulit dieksekusi, karena baik naskah maupun penyutradaraan (sama-sama ditangani Kim Chang-ju, yang sebelumnya menjadi editor banyak judul besar seperti Snowpiercer, The Admiral: Roaring Currents, A Hard Day, dll.), mesti cerdik berkreasi, walau mayoritas kisah hanya berlatar di dalam mobil. 

Kunci film dengan konsep semacam ini berpusat pada satu pertanyaan, "Apa yang protagonisnya lakukan?". Protagonis Hard Hit bukan mantan militer atau agen rahasia. Seong-gyu cuma pegawai swasta biasa. Wajar ia hanya menurut, dan tidak memutar otak lebih keras guna mengakali perangkap si pelaku. Bukannya tidak cukup cerdas, namun mentalnya tak cukup terlatih menghadapi situasi genting (yang membuat ending-nya jadi terkesan dipaksakan).

Lalu apa yang Seong-gyu lakukan? Mengumpulkan uang dengan cara menelepon para klien VIP agar mau berinvestasi saat itu juga. "Proses mengumpulkan uang" memang terdengar membosankan dibandingkan "usaha menjikakkan bom". Bisa berhasil, selama disokong penyutradaraan mumpuni. Sewaktu pedal gas diinjak dan kita dibawa kebut-kebutan mengelilingi kota, atau tiap bom meledak secara tak terduga (ada bom selain yang terpasang di mobil Seong-gyu), Chang-ju mampu menciptakan aksi intens.

Ketika membawa aksinya ke luar mobil, dengan skala lebih besar, Hard Hit cukup menghibur. Sebaliknya, jika skala konflik mengecil, murni menaruh fokus pada dinamika antar manusia, Chang-ju seolah tidak tahu harus berbuat apa. Monoton. Membosankan. Bahkan performa habis-habisan Jo Woo-jin sebagai pria yang frustrasi di balik kemudi, juga talenta dramatik Lee Jae-in yang belakangan makin populer berkat drama Racket Boys, tak banyak membantu. Andai Jin Kyung tidak disia-siakan, dan karakternya, Yeong-hee si ketua tim penjinak bom diberi porsi lebih, mungkin film ini bakal mendapat tambahan dinamika.

Lubang terbesar Hard Hit memang ada di penulisan. Terselip subteks perihal bagaimana korporasi yang tanpa perasaan bisa menghancurkan siapa saja, bahkan termasuk internalnya, namun terlampau dangkal untuk bisa meninggalkan dampak emosional. Demikian pula usaha naskah menggiring penonton agar bersimpati pada si pelaku. Akibat penokohan dangkal yang gagal menerjemahkan duka (kemudian berkembang jadi dendam) karakternya, sulit menjustifikasi aksinya, yang tak mengasihani anak kecil. 

Selain dangkal dan monoton, Hard Hit juga terlalu bergantung pada blunder kepolisian. Sungguh, polisi di film ini sangat bodoh. Mereka tidak sadar bahwa Seong-gyu diancam dan mengira ia pelaku pengeboman, tidak melakukan verifikasi tatkala ada pria asing mengaku sebagai saudara Seong-gyu, dan kebodohan-kebodohan lain, yang hadir bukan selaku kritik atas ketidakbecusan aparat, tapi murni alat yang naskahnya pakai demi memunculkan konflik. 

Tidak ada komentar :

Comment Page: