REVIEW - RIDERS OF JUSTICE

Tidak ada komentar

Berkaca pada judul dan premis, Riders of Justice tampak seperti satu lagi revenge movie dengan karakter anggota/mantan militer/agen rahasia, yang memburu sebuah organisasi kriminal, guna menuntut balas atas kematian anggota keluarganya. Tapi di tangan Anders Thomas Jensen selaku sutradara sekaligus penulis naskah, selain tampil segar lewat barisan humor gelap, filmnya pun menangani tema "menghadapi duka" secara lebih bermakna dibanding mayoritas judul berkonsep serupa. 

Duka tersebut dialami Markus (Mads Mikkelsen), tentara yang bertugas di Afganistan, saat mendengar kabar bahwa sang istri, Emma (Anne Birgitte Lind), tewas dalam kecelakaan kereta. Puterinya, Mathilde (Andrea Heick Gadeberg), selamat, namun amat terpukul, sehingga berusaha mencari alasan dan pemaknaan di balik bencana tersebut. Karena jarang pulang, Markus kesulitan menghadapi kesedihan Mathilde, di saat ia sendiri tak tahu bagaimana menyembuhkan dukanya. 

Sampai datanglah Otto (Nikolaj Lie Kaas), seorang ekspertis di bidang algoritma, yang juga korban kecelakaan kereta. Lewat kalkulasinya, Otto yakin peristiwa itu bukan kecelakaan sebagaimana dipercaya polisi, melainkan perbuatan geng Riders of Justice yang berniat menghabisi lawan mereka. Bersama dua rekannya, Lennart (Lars Brygmann) dan Emmenthaler (Nicolas Bro), Otto membantu Markus menyelidiki dalang kematian istrinya. 

Betul bahwa ada balas dendam di sini, namun Riders of Justice lebih dekat ke ranah komedi hitam ketimbang aksi (total cuma ada dua adegan aksi). Lebih mengingatkan ke karya Coen Brothers daripada judul-judul yang dibintangi Liam Neeson. Membawa seorang tentara tangguh yang tak pernah tersenyum, untuk bekerja sama dengan tiga socially awkward nerds, tentunya kerap melahirkan situasi menggelitik. 

Melalui humor gelapnya, yang tersaji lucu berkat timing yang acap kali tak terduga ditambah penghantaran sempurna para aktor, Jensen membawa Riders of Justice beberapa kali nyaris melewati batasan, kala menjadikan hal-hal seperti pelecehan sampai cacat tubuh sebagai materi. Tapi tidak pernah terasa ofensif, sebab Jensen bukan sedang mengolok-olok, namun menertawakan trauma secara getir, sembari membubuhkan simpati yang menghasilkan konklusi hangat mengenai "indahnya kebersamaan", pasca baku tembak seru dalam klimaks.

Ketika Markus melihat balas dendam sebagai "tali" yang menjaganya tetap hidup, sebagai rel yang memberi arah untuk terus melangkah, Mathilde berusaha melogiskan kehilangannya. Dia merunut seluruh peristiwa yang terjadi sebelum kecelakaan, mencari hubungan sebab-akibat dalam tiap hal, berharap menemukan alasan lebih dalam perihal kematian sang ibu. 

Tapi, walau ada kalanya hal-hal seperti kriminalitas dapat dicari polanya, lalu ditelusuri menggunakan data statistik sebagaimana dilakukan Otto, hidup tetaplah bukan ilmu pasti yang bisa dikalkulasi. Menjawab misteri kehidupan berbeda dengan menjawab soal ujian yang menuntut adanya alasan. 

Riders of Justice dibuka oleh permintaan seorang bocah agar dibelikan sepeda berwarna biru. Kejadian sederhana itu menciptakan efek domino yang berujung kematian Emma. Apakah permintaan si bocah merupakan penyebab? Ataukah perlu dirunut ke belakang lagi, sampai ke awal hubungan Markus dan Emma, saat mereka memutuskan mempunyai anak? Karena jika mengacu ke ilmu sebab-akibat, bukankah artinya jika Mathilde tidak lahir, kecelakaan itu pun takkan terjadi? 

Menurut Riders of Justice, pertanyaan-pertanyaan di atas tidaklah penting. Kita tidak perlu berandai-andai, "kalau saja kejadiannya berbeda". Kita tidak perlu (selalu) mencari pemaknaan lebih dalam atas peristiwa yang terlalu menyakitkan untuk diterima. Kita hanya harus belajar berdamai, kemudian menerimanya.

Seperti biasa, Mads Mikkelsen dapat diandalkan perihal memerankan sosok dengan kondisi batin kacau, yang dikuasai amarah, kesedihan, sehingga cenderung bersikap destruktif, termasuk pada diri sendiri. Markus adalah prajurit tangguh, namun yang film ini tekankan bukan betapa hebatnya si jagoan sampai berani menantang maut demi balas dendam, melainkan bagaimana machismo runtuh, dikuasai kerapuhan akibat duka.


(HULU)

Tidak ada komentar :

Comment Page: