REVIEW - SCHOOLGIRLS

Tidak ada komentar

Di sebuah konven, beberapa gadis remaja berbaris di tengah kelas paduan suara. Sang suster menginstruksikan beberapa dari mereka untuk berlatih lip sync. Salah satunya protagonis kita, Celia (Andrea Fandos). Beberapa waktu berselang, tim paduan suara itu tampil di atas panggung, bernyanyi dengan baik sesuai perintah. Kecuali Celia. Dia melakukan suatu hal yang mungkin bakal memancing kekesalan susternya. 

Dua momen di atas merupakan adegan pembuka dan penutup Schoolgirls, pemenang lima kategori Goya Awards 2021 termasuk Best Film. Dua momen yang mewakili inti cerita filmnya, yakni tentang proses seorang remaja menemukan keberanian menampik kepalsuan, lalu membiarkan dirinya bersinar apa adanya. 

Celia berusia 11 tahun. Masa di mana rasa penasaran akan banyak hal mulai tumbuh. Tapi Celia terpaksa memendamnya demi menjadi siswi berprestasi, sekaligus puteri yang patuh bagi ibunya, Adela (Natalia de Molina). Sampai kehadiran murid baru bernama Brisa (Zoe Arnao), pula perkenalannya dengan beberapa senior, membawa Celia memasuki dunia baru. 

"Shush" jadi salah satu kata yang paling sering terdengar dalam film ini. Schoolgirls dipenuhi aktivitas "mendiamkan". Sedikit saja siswa bersuara, para suster segera membungkam mereka. Ketika Celia bertanya, "How do you know if God exist?", ibunya menjawab "Just because". Jawaban serupa diberikan bagi pertanyaan-pertanyaan lain. Tiada penjelasan, tiada dialog. Celia, dan remaja lain, dipaksa menurut, tanpa diberi kesempataan memahami alasannya. 

Apa yang terjadi bila penolakan terjadi? Rupanya masih sama. Celia pernah mendatangi kelab malam bersama teman-temannya. Dia tidak melakukan apa pun. Tidak menenggak alkohol, pun ia menolak halus saat ada pria mendekatinya. Di perjalanan pulang, Celia menumpang motor sepupu sahabatnya, Cristina (Julia Sierra), yang kebetulan adalah pria berusia lebih tua. Tapi sekali lagi, tidak terjadi apa-apa. Sialnya, salah satu suster menyaksikan itu, lalu melapor pada Adela. Esoknya, Adela mendiamkan Celia, sedangkan di kelas, sang suster menyuruh Celia mengerjakan soal di depan kelas. Bukan agar ia paham, namun hanya untuk memarahi. 

Pilar Palomero selaku sutradara sekaligus penulis naskah (memenangkan Goya Awards di kategori Best New Director dan Best Original Screenplay), mengkritisi edukasi remaja, yang lebih banyak mengekang dan membatasi ketimbang menjelaskan. Salah satunya perihal seksualitas. Bagaimana cara aman berhubungan seks? Apa itu kondom? Pertanyaan-pertanyaan penting tersebut malah tak diajarkan, baik di sistem pendidikan resmi, maupun di rumah oleh orang tua. 

Di kelas, suster cuma mendikte "pelajaran" seks membosankan, yang mungkin sudah diketahui murid-murid lewat majalah (latarnya 1992, jadi belum ada internet) berisi artikel-artikel yang jauh lebih menarik. Pun beberapa kali kita mendengar televisi membahas pro-kontra edukasi kondom, yang oleh beberapa pihak, dianggap merusak moral remaja karena mendorong seks bebas. 

Tanpa edukasi yang bersifat merangkul, remaja akhirnya berinisiatif melakukan pencarian, begitu menemukan pintu yang membuka ruang eksperimen. Brisa menjadi pintu bagi Celia, walau seiring waktu, peran Brisa semakin tak signifikan, karena dari naskahnya muncul kesan bahwa Celia sanggup "membuka matanya" sendiri, tanpa perlu ada teman baru dari kota yang mengguncang zona nyaman. 

Palomero memakai rasio 1.37 : 11, mungkin supaya penonton dapat ikut merasakan perasaan terkurung sebagaimana karakternya. Pilihan artistik itu juga membantu tersampaikannya aktingAndrea Fandos, dalam debut layar lebarnya, membuktikan ia merupakan calon bintang. Senyumnya memiliki kemurnian khas bocah polos, juga jadi bentuk ekspresi malu-malu akibat rasa ragu. "I like this, but is this allowed?", mungkin demikian ucapnya dalam hati. Momen terkuat Fandos adalah tiap Celia berdiri diam, menatap tajam lawan bicaranya, jengah atas segala kekangan, sembari menekan amarah yang bisa meluap kapan saja. Sayang, aturan Goya Awards mengharuskan nominee berumur minimal 16 tahun, sehingga ia tak meraih nominasi (Fandos baru 12 tahun). Natalia de Molina tidak kalah mumpuni, memperlihatkan rasa bersalah seorang ibu yang kesulitan mempertahankan kehidupan agar tidak hancur berantakan. 

Walau masih berkutat di formula "remaja mencari identitas di tengah lingkungan konservatif dengan mendobrak norma", itu tidak mengurangi kekuatan penuturan Schoolgirls, yang tetap relevan, mengaduk-aduk emosi, sambil menjaga tone supaya tak terlalu kelam. Lagipula ini adalah sajian tentang aksi "coba-coba" para remaja, yang tentunya menggelitik. Ada kekesalan dan air mata, begitu pula senyum dan tawa.  


(EUROPE ON SCREEN 2021)

Tidak ada komentar :

Comment Page: