REVIEW - THE DISSIDENT

7 komentar

Ketika Public Invesment Fund yang diketuai oleh Mohammed bin Salman sang putera mahkota Arab Saudi membeli mayoritas saham Newcastle United, banyak aktivis HAM melayangkan protes. Jika ingin tahu salah satu alasan terbesarnya, silahkan tonton dokumenter garapan Bryan Fogel ini (karya sebelumnya, Icarus, memenangkan Oscar tahun 2018 di kategori Best Documentary Feature). 

Dahulu kala, para pujangga menuliskan puja-puji bagi raja lewat puisi, yang terus dibacakan hingga sampai ke telinga orang-orang. Kemasyhuran sang raja pun tersiar. Sekarang tidak jauh beda, tetapi peran pujangga digantikan oleh jurnalis. Puisi beralih ke media, yang di tangan pemegang kuasa jadi alat propaganda. 

Sebagai jurnalis, Jamal Khashoggi menentang praktek tersebut. Setelah bertahun-tahun menjadi "bagian" rezim (meski selalu kritis), Khashoggi dicekal oleh pemerintah, akibat dianggap sudah kelewat batas. Dia pun pindah ke Amerika Serikat. Khashoggi tetap vokal, rutin melempar kritik lewat kolom-kolom The Washington Post, namun tak kehilangan rasa cinta terhadap negerinya. Satu cita-citanya adalah "pulang".

Pada 2 Oktober 2018, Khashoggi mengunjungi konsulat Arab Saudi di Istanbul, guna mengurus dokumen pernikahannya dengan Hatice Cengiz. Tapi tak satu pun melihatnya keluar. CCTV menunjukkan hal serupa. Publik serta media, percaya bahwa Khashoggi dibunuh di dalam konsulat, dan The Dissident mengupas investigasi kasus tersebut. 

Penuturan Fogel cenderung konvensional, lewat format reportase berbasis wawancara. The Dissident mungkin bakal tampak biasa di depan deretan dokumenter yang belakangan makin jeli bermain-main dengan batasan genre, tapi bukan berarti daya tariknya lenyap. Pun format ini senada dengan subjek dan narasumber, yang terdiri atas jurnalis-jurnalis, baik dari media besar maupun independen.

Sebagaimana reportase berbobot, film ini tampil lengkap, informatif, juga membuka mata. The Dissident tidak hanya menyoroti pembunuhan Jamal Khashoggi. Seolah berusaha meneruskan semangat sang jurnalis, kritik tajam kepada pemerintah Arab Saudi, terutama Pangeran Salman, tak luput dilayangkan. Tentu anda familiar dengan ragam pemberitaan tentang betapa Arab Saudi kini semakin mengikuti perkembangan zaman. Isu pemberdayaan wanita diperhatikan, sementara budaya populernya, baik musik atau film, mulai menggeliat. Salman memimpin modernisasi itu, menampilkan citra progresif, namun di belakang, nyatanya kontrol atas media makin ketat, begitu pula persekusi bagi mereka yang nekat bicara.

Masuklah Omar Abdulaziz ke dalam lingkup cerita. Dia seorang aktivis yang menetap di Kanada, yang rajin mengunggah video satir untuk menyentil pemerintahan Saudi melalui kanal YouTube miliknya, sekaligus kawan Jamal Khashoggi. Serupa Khashoggi, dari sang aktivis muda, kita juga belajar mengenai propaganda media yang sudah menyasar Twitter. Bagaimana dua kubu ("tim lalat" milik pemerintah, melawan "tim lebah" milik aktivis) terlibat perang media sosial, yang melibatkan ribuan akun palsu serta adu tagar, jadi salah satu poin paling menarik film ini.

Walau melakukan eksplorasi secara luas, Fogel tak lupa menengok "ke dalam", menelaah sosok Jamal Khashoggi sendiri. The Dissident juga kisah soal pencerahan. Suatu ketika, Khashoggi pernah menyampaikan rasa kagetnya, perihal perubahan Osama bin Laden (keduanya pernah cukup dekat selama era 80-an hingga 90-an), dari figur yang dulu (menurutnya) pemberani menjadi teroris radikal. Di sini, kita menyaksikan Khashoggi berproses ke arah sebaliknya, dari bagian tubuh pemegang kuasa Saudi, menjadi pejuang yang tak gentar melawan mereka.

Walau cenderung subtil, The Dissident juga sebuah cerita cinta. Omar Abdulaziz bercerita bahwa Khashoggi pernah mewanti-wanti agar dia memilih ruang umum tatkala beberapa perwakilan Saudi mengajaknya bertemu. Tapi Khashoggi sendiri justru mendatangi konsulat. Semua atas nama cinta. Khashoggi mengambil risiko demi cintanya. Demi Hatice Cengiz yang mengentaskannya dari kesepian. 

Di berbagai kesempatan, alurnya memang terasa penuh sesak. Bukan berarti Fogel terlalu serakah, sebab kembali lagi, ini adalah upaya berbagi berita secara menyeluruh. Hanya saja, sang sutradara belum mampu menyusun setumpuk permasalahannya dengan rapi. 

Biarpun demikian, kekurangan di atas tak mengurangi fakta kalau The Dissident amat penting disimak. Apa yang disampaikan, amat membuka mata, mengejutkan, pun tak jarang mengerikan. Apalagi sewaktu nama Jeff Bezos ikut terlibat. Jika sosok pria terkaya di dunia saja mampu "dipermainkan", apa jadinya para rakyat jelata? Memang betul, kiblat umat Islam berada di Arab Saudi, namun bukan berarti kita juga harus berkiblat ke negara itu dalam segala hal.


(Tubi TV)

7 komentar :

Comment Page:
Icha Hairunnisa mengatakan...

Review dari Bang Rasyid selalu bikin film yang di permukaan tampak nggak menarik, jadi menarik (banget!) dan pengen aku selami ke dalamnya uwuuuu. Penasaran sama ini. Penasaran juga kalau Bang Rasyid ngereview House of Secrets: Burari Deaths. Kalau udah nonton pengen baca reviewnyaaaaaaa

Rasyidharry mengatakan...

Huehehe tenkyuu

Oh, bagus banget itu Burari. Tapi karena cuma ada waktu buat nulis malem, dan tuh doku seremnya bukan main, jadi cuma di twitter aja 😂

Chan hadinata mengatakan...

#Lalitgoblok

Erlanggahari88@gmail.com mengatakan...

Dokumenter yang menarik, relevan ke segala jenis pemerintahan, ideologi maupun negara

Ada juga fenomena menarik, pujangga bukan, jurnalis juga bukan tapi seolah paling mengerti soal keadaan

Kami menyebutnya "Buzzer"

Anonim mengatakan...

Review DUNE kemana bang? Diarsip kah?

Rasyidharry mengatakan...

Ada kok. Coba aja buka home terus refresh. Rada kacau indexing-nya emang 🙃

Anonim mengatakan...

Oh pantes, iya nih sudah muncul lg, kirain mana tahu bang Rasyid berubah pikiran atw yg lainnya wkwk