REVIEW - MOGUL MOWGLI
Serupa di Sound of Metal, Riz Ahmed kembali memerankan seorang musisi bertalenta, yang terancam kehilangan karirnya akibat keterbatasan fisik. Bukan cuma berakting di depan kamera, kali ini Ahmed turut melakoni debut penulisan naskah bersama sang sutradara, Bassam Tariq, yang telah ditunjuk untuk mengarahkan Blade versi MCU.
Karakter Ahmed adalah Zaheer, rapper British keturunan Pakistan dengan nama panggung Zed. Pelan tapi pasti karirnya menanjak. Tiket konsernya ludes terjual, di mana ratusan orang menyanyikan bait-bait ciptaannya, yang banyak menyuarakan isi hati imigran. Peluang emas datang, tatkala ia mendapat tawaran membuka tur musisi ternama.
Walau vokal mengangkat isu mengenai asalnya, Zed justru jarang berada di antara "orang-orangnya". Sudah sekitar dua tahun ia tidak pulang ke rumah. Bahkan ia memandang negatif hal-hal berbau tradisional, seperti musik Pakistan maupun ritual kepercayaan. Di atas panggung, Zed bangga atas identitasnya, namun ia cenderung menjauhkan diri dari hal-hal yang mendefinisikan identitas tersebut.
Sampai secara tiba-tiba, Zed menderita penyakit autoimun. Kekuatan ototnya terus menurun. Jangankan melakukan tur, berdiri saja ia sulit. Zed yang selama ini terus berlari, bahkan siap melompat untuk terbang, kini harus mulai belajar berjalan lagi.
Sadar atau tidak, mungkin kita pernah berada di posisi Zed. Menyuarakan soal keberagaman dengan membanggakan identitas diri (misal sebagai orang Asia yang menentang hegemoni dunia Barat), tetapi malah risih bila dihadapkan pada nilai-nilai yang dijunjung kultur kita sendiri. Terjadilah krisis identitas akibat benturan perpsektif modern dengan tradisional. Antara "mogul" dengan "mowgli".
Krisis identitas itulah sorotan utama Mogul Mowgli. "Tubuhmu tidak bisa mengenali dirinya, sehingga menyerang dirinya sendiri", begitu deskripsi dokter untuk kondisi Zed. Agak terkesan "on the nose", namun pemilihan penyakit tersebut memang metafora yang cocok mewakili pergulatan batin si protagonis. Tapi mengapa?
Mengapa Zed menampik jati dirinya? Apakah karena trauma penderitaan masa kecil? Atau pengaruh rasisme? Naskahnya memberi jawaban lewat sederet sekuen sureal, baik berupa mimpi maupun halusinasi yang Zed alami (termasuk kemunculan pria dengan wajah tertutup bunga yang disebut "Toba Tek Singh"). Penggunaan elemen surealisme itu, sayangnya cuma berhenti di ranah "visualisasi isi pikiran" ketimbang eksplorasi utuh terkait proses batin individu.
Apalagi ada begitu banyak gagasan dilempar oleh naskahnya. Beberapa hanya berakhir sebagai gagasan tanpa penelusuran lebih lanjut, baik guna menambah pemahaman penonton, atau menghadirkan dampak emosi. Contohnya informasi mengenai penyakit Zed, yang kemungkinan dipicu faktor keturunan. Apakah itu membuatnya semakin membenci sang ayah (Alyy Khan), yang oleh Zed dianggap kerap menghalangi impiannya? Lalu bagaimana Zed sampai pada titik di mana ia bisa berdamai? Proses-prosesnya bak hilang ditelan ambisi tampil beda sekaligus estetis. Alhasil, konklusi jadi kurang menggugah, gara-gara kisahnya seperti bergulir tanpa jembatan menuju ke sana.
Satu hal yang saya apresiasi dari naskahnya kesan adil dalam tuturannya tentang gesekan zaman. Sisi modern menyimpan tendensi memandang sebelah mata kaum tradisional, tapi beberapa kekolotan sisi tradisional sendiri, misalnya keengganan memercayai dokter, bukan berarti dapat dibenarkan.
Debut penulisan naskah Riz Ahmed memang belum berjalan mulus. Kisah relatable dengan relevansi tinggi miliknya masih digarap kurang matang. Tetapi Riz Ahmed sebagai aktor tidak demikian. Seperti biasa, aktingnya jadi elemen terbaik sebuah film. Kerapuhannya merupakan pondasi Mogul Mowgli. Begitu frustrasinya memuncak, ketika Zed mengalami breakdown, lalu "mengusir" kedua orang tuanya, rasanya sungguh heartbreaking.
(Klik Film)
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar