REVIEW - DON'T BREATHE 2

2 komentar

Don't Breathe 2 memberi contoh mengenai apa yang semestinya tidak dilakukan untuk merehabilitasi karakter. Bukan lewat penebusan dosa, melainkan komparasi. Menciptakan karakter lain, yang didesain seburuk mungkin, supaya penonton berujar, "Ah, dia memang lebih baik". Sama seperti tindakan menyangkal kesalahan memakai argumen "Banyak orang yang lebih buruk dari saya". 

Membuat sekuel pasca kesuksesan film pertamanya meraup pendapatan belasan kali lipat biaya produksi, merupakan keputusan masuk akal. Pun niatan Fede Álvarez dan Rodo Sayagues selaku penulis untuk menempuh jalur berbeda dibanding kebanyakan sekuel horor, patut diapresiasi. Tapi membuat Norman Nordstrom alias The Blind Man (Stephen Lang) menjadi jagoan seutuhnya, jelas bermasalah.

Sebelumnya, Hannibal (2001) dan Texas Chainsaw 3D (2013) pernah mengambil langkah serupa. Bedanya, kedua judul di atas tidak berusaha membuat penonton bersimpati pada si monster. Sementara Don't Breathe 2, menjadikan Norman, selaku penculik, pembunuh, dan pemerkosa, figur pria tua dengan hati. Problematik. Jika diibaratkan tim sepak bola, film ini mengawali musim dengan pengurangan poin cukup banyak. Sebaik apa pun performanya, gelar juara takkan bisa didapat.

Delapan tahun setelah Don't Breathe, Norman tinggal bersama Phoenix (Madelyn Grace), gadis 11 tahun yang ia temukan tergeletak di jalan. Norman merawat Phoenix, memberinya latihan kemampuan bertahan hidup, sembari menyembunyikan kebenaran dari sang bocah. Bukankah ini lebih dekat ke aksi penculikan alih-alih tindakan mulia merawat bocah terlantar? 

Lalu peristiwa film pertama terulang. Rumah Norman diserbu sekelompok orang. Mereka bukan remaja penasaran seperti sebelumnya, melainkan sepasukan prajurit bayaran bersenjata, yang dipimpin Raylan (Brendan Sexton III). Ya, ini bukan lagi home invasion tentang pertemuan manusia biasa dengan sesosok monster. Don't Breathe 2 adalah home invasion bernapaskan aksi, mengenai pertarungan dua sisi, yang sama-sama bisa disebut "monster".

Naskah menghalangi film berhasil secara utuh selaku sekuel, namun bila dipandang sebagai karya yang berdiri sendiri, Don't Breathe 2 sejatinya tidak buruk. Melakoni debut penyutradaraan menggantikan Fede Álvarez, Rodo Sayagues mampu membangun intensitas berbasis aksi kejar-kejaran dan petak umpet dalam gelap. Selain kebrutalan yang masih dipertahankan, sebuah long take brilian di paruh awal durasi (yang turut memantapkan penokohan Phoenix sebagai gadis cilik cerdik nan terlatih) juga contoh bagaimana Sayagues enggan mengandalkan trik murahan. Patut diingat, melahirkan tontonan yang "terlihat jelas" walau memiliki latar tempat remang (bahkan gelap gulita) bukan perkara gampang.

Norman tetap protagonis problematik. Menggambarkannya seolah lebih baik ketimbang Raylan tak serta merta menjustifikasi perbuatannya. Tapi bukan berarti apresiasi tidak bisa diberikan kepada Stephen Lang, yang mampu mempertahankan sisi brutal karakternya, sembari menyelipkan kerapuhan seorang pria buta yang (mungkin) berharap bisa menghapus segala kesalahan di masa lalu.

2 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Ketipu anjirrrrrrr
Gw kira pas yg bocah di bawa ama bapak aslinya itu ending nya ehhhh ternyata durasi masih panjang

Bayu Anggoro mengatakan...

Sama