REVIEW - HALLOWEEN KILLS

8 komentar

Halloween Kills bagi Halloween (2018), sama seperti Halloween II (1981) bagi Halloween (1978) buatan John Carpenter. Sebuah sekuel slasher unik, karena mengambil latar waktu tepat setelah peristiwa film sebelumnya. Setidaknya, demikian harapan David Gordon Green, yang kembali duduk di kursi sutradara, pula menulis naskah bersama Danny McBride dan Scott Teems. Terwujud atau tidaknya harapan tersebut, itu cerita lain.

Pasca mengalahkan Michael Myers, Laurie (Jamie Lee Curtis) dibawa ke rumah sakit bersama sang puteri, Karen (Judy Greer), dan sang cucu, Allyson (Andi Matichak). Tentu Michael belum mati. Berkat "bantuan" para pemadam kebakaran yang kemudian ia bantai, Michael melanjutkan teror di sudut-sudut Haddonfield. 

Serupa Halloween II, kisahnya mengetengahkan histeria massa, tatkala warga setempat memutuskan memburu Michael. Tommy Doyle (Anthony Michael Hall), bocah yang dijaga oleh Laurie pada peristiwa 1978, jadi pemimpin perburuan. 

Fun fact: Di tahun pertama karir layar lebarnya, Paul Rudd memerankan Tommy Doyle dalam Halloween: The Curse of Michael Myers (1995), film keenam (sekaligus yang terburuk sebelum Halloween: Resurrection dan dua produk salah arah karya Rob Zombie membawa franchise ini ke titik nadir) yang eksistensinya sudah tak dianggap lagi. 

Selain Tommy, empat karakter lain dari film 1978, yakni Lonnie Elam (Robert Longstreet), Leigh Brackett (Charles Cyphers), Lindsey Wallace (Kyle Richards), dan Marion Chambers (Nancy Stephens juga muncul di Halloween H20: 20 Years Later), turut kembali. Ditambah cameo Tom Jones, Jr. sang art director yang menghidupkan lagi Dr. Samuel Loomis lewat riasan meyakinkan sehingga amat mirip dengan mendiang Donald Pleasence, pula pemakaian footage Halloween II, film ini memang sarat kesan nostalgia bagi para penggemar. 

Sayangnya, tujuan "mereplikasi" Halloween II tidak berlangsung mulus. Masalah bukan terletak pada penulisan berantakan yang melompat-lompat tanpa struktur alur solid, akting buruk, maupun deretan kalimat cheesy yang hanya bisa ditangani oleh Jamie Lee Curtis (sementara sang aktris sendiri tak terlibat dalam pertempuran, karena "disimpan" untuk final di Halloween Ends tahun depan). Perlu diingat, ini adalah slasher, di mana hal-hal di atas bersifat sekunder. 

Masalah ada pada perbedaan cara Green-McBride-Teems menangani soal histeria massa, dengan pendekatan naskah Halloween II. John Carpenter dan Debra Hill begitu efektif menggambarkan kepanikan warga, yang berpencar ke segala penjuru Haddonfield untuk mencari keberadaan si pembunuh, sedangkan Michael sendiri justru berkeliaran di rumah sakit tempat Laurie dirawat. Alhasil, penonton dapat merasakan ketegangan seisi kota, kala merespon pembantaian yang baru terjadi.

Di sini sebaliknya. Kepanikan terpusat di rumah sakit, sementara Michael berburu dengan bebas di luar, dan hanya segelintir tokoh yang berpatroli. Ketegangan pun hilang. Halloween Kills terlalu ingin berinovasi, mengambil langkah berbeda guna menyampaikan bagaimana teror Michael membuat warga turut berubah menjadi iblis. Terkesan inkonsisten, sebab seperti saya tulis sebelumnya, film ini juga berusaha menghadirkan nostalgia.

Tapi urusan bunuh-membunuh, Halloween Kills tetap memuaskan. Meski kerap kelimpungan mengatur tone (humor yang muncul di saat kurang tepat, ketidakjelasan apakah sebuah adegan memang diniati lucu atau murni kebodohan yang tak disengaja), Green sukses menyuguhkan parade pembantaian brutal yang menunjukkan "kreativitas" Michael, yang tak cuma asal tusuk. Cukup over-the-top, dan mengingatkan ke Halloween 4: The Return of Michael Myers (1988). Diiringi musik tema ikonik gubahan John Carpenter, walau menyimpan banyak lubang, pun hanya berperan sebagai jembatan sebelum babak pamungkas, Halloween Kills masih suatu slasher yang berjalan sesuai hakikatnya.

8 komentar :

Comment Page:
Unknown mengatakan...

Masnya kalau ngereview gini nonton film sambil nulis atau nonton berulang2 kok bisa detail gitu
Maaf cuma nanya aja

Rasyidharry mengatakan...

Saya ini orangnya pelupa, jadi bikin "jembatan keledai" buat catatan. Jadi dalam 3-5 detik, tanpa harus ngalihin pandangan dari layar, tetep bisa nulis rangkuman salah satu pokok bahasan (brightness hp set paling low, taruh di tas, jadi penonton lain nggak keganggu)

Begitu kelar, sambil santai, baru deh catatan singkat itu diperjelas, jadi pas nulis review yang full, nggak kelupaan

Ribet sih awalnya, tapi setelah 10 tahun lebih ya kebiasaan 😁

Dading Limpang mengatakan...

Akhirnya terjawab, setelah mengikuti mas Rasyid dr dulu terima kasih penanya dan jawabannya

full of mind vomitting mengatakan...

Opinin pribadi. Suka sama filmnya apalagi slashernya yang mantep sih. Tapi kesel sama karakter Tommy aja wkwkw, sok jagoan untung mati diending jadi puas sama endingnya. Soalnya diakan yang mengompori warga sampe salah bunuh. Terima kasih sudah review

Unknown mengatakan...

Tapi mas nya ini pernah jadi jurnalis majalah atau apa gitu? Dari cara menulis dan penyampaiannya luar biasa, banyak perbendaharaan katanya. Mencerminkan isi kepalanya yg avant garde dan kemajemukan analogi.. Salam mas, sukses selalu..

Rasyidharry mengatakan...

Waduh, belum & nggak pernah ngerasa sekeren itu sih, tapi syukurlah kalo suka. Thanks a bunch!

Nggak kok, nggak pernah jadi jurnalis atau nulis di media lain. Murni learning by doing & rutin baca tulisan orang-orang yang jauh lebih hebat. Murni proses. Kalo dibandingin, tulisan di blog ini sekarang sama 11 tahun lalu pas baru mulai ya udah kayak surga & neraka 😂

Unknown mengatakan...

Review filmnya bagus, nya donk,, thanks,,

Magma Turmeric mengatakan...

Jujur saya lebih into ke prekuel dari film ini. Disaat karakter protagonis yang umumnya selalu menjadi korban teror dan pihak tak berdaya, justru di prekuel bisa melawan balik dengan segala pengalaman yang terbentuk selama ini.